Ketika Usaha Tak Dihargai
Ananta duduk di depan meja belajarnya, ditemani oleh lampu meja kecil yang sudah mulai berkedip, pertanda usianya yang tidak lagi muda. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam, namun ia masih asyik menatap buku Bahasa Indonesia yang terbuka di depannya. Kertas-kertas penuh coretan memenuhi meja, sebagian terlipat rapi, sebagian lainnya berserakan.
Ia memutar-mutar pensil di jarinya, sesekali mengerutkan dahi sambil memikirkan soal tentang menganalisis puisi yang ada di halaman terakhir buku latihan. Di sisi lain meja, secangkir teh hangat mengepulkan aroma harum, namun isinya belum tersentuh.
“Oke, fokus. Aku bisa menyelesaikan ini,” gumamnya pada dirinya sendiri.
Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritnya, bukan hanya karena ia merasa nyaman mempelajari teks dan karya sastra, tetapi juga karena di sanalah ia merasa percaya diri. Setiap kali ia berhasil memahami makna tersembunyi dari sebuah puisi atau menyusun paragraf argumentasi yang kuat, ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Malam itu, ia menghabiskan hampir dua jam untuk memastikan ia memahami semua materi yang akan keluar di ulangan esok hari. Tangannya gemetar sedikit karena lelah, tetapi senyumnya muncul saat ia berhasil menyelesaikan soal latihan yang semula tampak rumit.
“Aku siap,” katanya yakin, sebelum menutup buku dan beranjak ke tempat tidur.
—
Pagi harinya, Ananta tiba di kelas dengan semangat yang berbeda. Tasnya terasa ringan meski dipenuhi buku, dan langkahnya lebih mantap dari biasanya. Ia sudah membayangkan dirinya duduk di bangku kelas, menatap soal ulangan dengan percaya diri, dan menyelesaikannya dengan mudah.
Begitu Bu Inrani memasuki kelas, suasana menjadi lebih serius. Guru Bahasa Indonesia itu adalah sosok yang disegani. Ia dikenal sebagai pengajar yang tegas, tetapi kadang sulit ditebak. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya ia pikirkan.
“Keluarkan alat tulis kalian,” perintah Bu Inrani. Ia membagikan lembar soal dengan ekspresi datar, seperti biasanya.
Ananta memandangi lembar soal di hadapannya. Ia menghela nafas lega. Semua yang tertulis di sana adalah materi yang ia pelajari semalam. Dalam hitungan menit, ia mulai menulis dengan kecepatan yang membuat suara pensilnya terdengar jelas di kelas yang hening.
Soal demi soal ia selesaikan dengan yakin. Tidak ada keraguan, tidak ada kebingungan. Bahkan soal terakhir yang paling sulit, menganalisis puisi Chairil Anwar, yang sering menjadi momok bagi teman-temannya, terasa seperti teka-teki yang menyenangkan baginya.
Ketika bel berbunyi, Ananta menyerahkan kertas jawabannya dengan senyuman kecil. Ia yakin hari itu akan menjadi hari yang baik baginya.
—
Dua hari kemudian, Bu Inrani datang dengan tumpukan kertas hasil ulangan.
“Hari ini, kita akan membahas hasil ulangan kalian,” katanya, menatap seisi kelas dengan pandangan yang sulit diartikan.
Ananta duduk tegak di bangkunya, menunggu dengan cemas namun antusias. Ia ingin tahu sejauh mana usahanya terbayar.
Satu per satu, nama siswa dipanggil. Ketika giliran Ananta tiba, ia maju ke depan dan menerima kertasnya. Di sudut atas kertas itu tertulis angka 100, dilingkari dengan tinta merah. Nilai sempurna.
Namun, yang membuatnya terkejut adalah cara Bu Inrani memberikan kertas itu. Tanpa senyuman, tanpa pujian. Hanya komentar singkat.
“Bagus, Ananta.”
Ananta kembali ke tempat duduknya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu nilainya sempurna, tetapi mengapa itu terasa hambar? Ia menginginkan sesuatu yang lebih, mungkin ucapan seperti “Kamu hebat!” atau “Kerja kerasmu luar biasa.” Tetapi tidak ada apapun selain kalimat singkat itu.
Saat ia merenungi hal itu, ia mendengar nama Hazara dipanggil. Gadis itu maju dengan langkah anggun seperti biasa. Ketika menerima kertasnya, ia tersenyum kecil. Nilainya hanya 75, tetapi yang membuat hati Ananta tercekat adalah bagaimana Bu Inrani bereaksi.
“Hazara, saya tahu ini bukan nilai sempurna, tetapi saya sangat menghargai usahamu. Kamu sudah berusaha keras, dan itu yang terpenting,” kata Bu Inrani dengan suara yang lembut, nyaris penuh kasih.
Ananta memandang pemandangan itu dengan hati yang terasa berat. Ia tahu bahwa Hazara memang tidak sebaik dirinya dalam Bahasa Indonesia. Tetapi mengapa usahanya sendiri, yang jelas-jelas membuahkan hasil sempurna, tidak mendapatkan perhatian yang sama?
Ia menggenggam kertas ulangannya erat-erat, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
“Apakah usahaku tidak cukup berarti?” pikirnya.
—
Saat bel pulang berbunyi, Ananta berjalan perlahan keluar kelas. Biasanya ia langsung menuju rumah, tetapi hari itu kakinya membawanya ke taman sekolah. Ia duduk di salah satu bangku kayu, memandangi langit yang mulai berwarna jingga.
“Ananta!!”
Suara lembut memanggilnya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Hazara berdiri di sana, membawa buku catatan berwarna pink yang sama seperti sebelumnya.
“Oh, hai,” jawab Ananta dengan suara pelan.
Hazara duduk di sampingnya tanpa diminta. “Kamu kelihatan murung. Ada apa?”
Ananta ragu sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada. Hanya lelah saja.”
Hazara tersenyum kecil. “Aku tahu kamu mendapatkan nilai sempurna di ulangan tadi. Selamat, Ananta. Kamu memang pintar.”
“Terima kasih,” jawab Ananta, meski suaranya terdengar hambar.
Mereka terdiam sejenak. Hazara memandangi kertas ulangannya sendiri, yang nilai 75-nya masih jelas terlihat.
“Tahu tidak? Aku sebenarnya iri padamu.”
“Iri? Kenapa?” Ananta menatapnya dengan bingung.
“Kamu selalu bisa menjawab semua soal dengan benar. Aku tahu kamu belajar keras, dan aku mengagumi itu. Sementara aku… aku hanya mencoba bertahan.”
Ananta terkejut mendengar pengakuan itu. Selama ini, ia mengira Hazara selalu memiliki segalanya—kecantikan, popularitas, perhatian guru. Tetapi ternyata, Hazara juga memiliki kelemahan.
“Tapi kamu tetap mendapatkan pujian,” gumam Ananta tanpa sadar.
Hazara menoleh, menatapnya.
“Pujian itu kadang membuatku merasa lebih buruk, tahu? Seolah-olah aku harus terus berusaha untuk sesuatu yang mungkin tidak pernah aku capai.”
Ananta terdiam. Kata-kata Hazara memberinya perspektif baru. Mungkin, masalahnya bukan pada siapa yang lebih baik atau siapa yang lebih dihargai, tetapi pada bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri.
—
Saat matahari tenggelam, Ananta bangkit dari bangkunya. Ia menatap Hazara dan berkata, “Terima kasih, Hazara. Aku rasa… aku mengerti sesuatu hari ini.”
Hazara tersenyum lembut. “Sama-sama, Ananta. Kita semua sedang belajar, kan?”
Malam itu, Ananta kembali ke rumah dengan hati yang lebih tenang. Ia menyadari bahwa meskipun usahanya mungkin tidak selalu dihargai seperti yang ia harapkan, itu tidak berarti usahanya sia-sia. Terkadang, penghargaan terbesar adalah yang ia berikan pada dirinya sendiri.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 9)
Sorry, comment are closed for this post.