KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 9)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 9)

    BY 13 Feb 2025 Dilihat: 111 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 9)_alineaku

    Ketika Usaha Tak Dihargai

    Ananta duduk di depan meja belajarnya, ditemani oleh lampu meja kecil yang sudah mulai berkedip, pertanda usianya yang tidak lagi muda. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam, namun ia masih asyik menatap buku Bahasa Indonesia yang terbuka di depannya. Kertas-kertas penuh coretan memenuhi meja, sebagian terlipat rapi, sebagian lainnya berserakan.

     

    Ia memutar-mutar pensil di jarinya, sesekali mengerutkan dahi sambil memikirkan soal tentang menganalisis puisi yang ada di halaman terakhir buku latihan. Di sisi lain meja, secangkir teh hangat mengepulkan aroma harum, namun isinya belum tersentuh. 

     

    “Oke, fokus. Aku bisa menyelesaikan ini,” gumamnya pada dirinya sendiri.

     

    Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritnya, bukan hanya karena ia merasa nyaman mempelajari teks dan karya sastra, tetapi juga karena di sanalah ia merasa percaya diri. Setiap kali ia berhasil memahami makna tersembunyi dari sebuah puisi atau menyusun paragraf argumentasi yang kuat, ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

     

    Malam itu, ia menghabiskan hampir dua jam untuk memastikan ia memahami semua materi yang akan keluar di ulangan esok hari. Tangannya gemetar sedikit karena lelah, tetapi senyumnya muncul saat ia berhasil menyelesaikan soal latihan yang semula tampak rumit.

     

    “Aku siap,” katanya yakin, sebelum menutup buku dan beranjak ke tempat tidur.

     

     

    Pagi harinya, Ananta tiba di kelas dengan semangat yang berbeda. Tasnya terasa ringan meski dipenuhi buku, dan langkahnya lebih mantap dari biasanya. Ia sudah membayangkan dirinya duduk di bangku kelas, menatap soal ulangan dengan percaya diri, dan menyelesaikannya dengan mudah.

     

    Begitu Bu Inrani memasuki kelas, suasana menjadi lebih serius. Guru Bahasa Indonesia itu adalah sosok yang disegani. Ia dikenal sebagai pengajar yang tegas, tetapi kadang sulit ditebak. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya ia pikirkan.

     

    “Keluarkan alat tulis kalian,” perintah Bu Inrani. Ia membagikan lembar soal dengan ekspresi datar, seperti biasanya.

     

    Ananta memandangi lembar soal di hadapannya. Ia menghela nafas lega. Semua yang tertulis di sana adalah materi yang ia pelajari semalam. Dalam hitungan menit, ia mulai menulis dengan kecepatan yang membuat suara pensilnya terdengar jelas di kelas yang hening.

     

    Soal demi soal ia selesaikan dengan yakin. Tidak ada keraguan, tidak ada kebingungan. Bahkan soal terakhir yang paling sulit, menganalisis puisi Chairil Anwar, yang sering menjadi momok bagi teman-temannya, terasa seperti teka-teki yang menyenangkan baginya.

     

    Ketika bel berbunyi, Ananta menyerahkan kertas jawabannya dengan senyuman kecil. Ia yakin hari itu akan menjadi hari yang baik baginya.

     

     

    Dua hari kemudian, Bu Inrani datang dengan tumpukan kertas hasil ulangan. 

     

    “Hari ini, kita akan membahas hasil ulangan kalian,” katanya, menatap seisi kelas dengan pandangan yang sulit diartikan.

     

    Ananta duduk tegak di bangkunya, menunggu dengan cemas namun antusias. Ia ingin tahu sejauh mana usahanya terbayar.

     

    Satu per satu, nama siswa dipanggil. Ketika giliran Ananta tiba, ia maju ke depan dan menerima kertasnya. Di sudut atas kertas itu tertulis angka 100, dilingkari dengan tinta merah. Nilai sempurna.

     

    Namun, yang membuatnya terkejut adalah cara Bu Inrani memberikan kertas itu. Tanpa senyuman, tanpa pujian. Hanya komentar singkat.

     

     “Bagus, Ananta.”

     

    Ananta kembali ke tempat duduknya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu nilainya sempurna, tetapi mengapa itu terasa hambar? Ia menginginkan sesuatu yang lebih, mungkin ucapan seperti “Kamu hebat!” atau “Kerja kerasmu luar biasa.” Tetapi tidak ada apapun selain kalimat singkat itu.

     

    Saat ia merenungi hal itu, ia mendengar nama Hazara dipanggil. Gadis itu maju dengan langkah anggun seperti biasa. Ketika menerima kertasnya, ia tersenyum kecil. Nilainya hanya 75, tetapi yang membuat hati Ananta tercekat adalah bagaimana Bu Inrani bereaksi.

     

    “Hazara, saya tahu ini bukan nilai sempurna, tetapi saya sangat menghargai usahamu. Kamu sudah berusaha keras, dan itu yang terpenting,” kata Bu Inrani dengan suara yang lembut, nyaris penuh kasih.

     

    Ananta memandang pemandangan itu dengan hati yang terasa berat. Ia tahu bahwa Hazara memang tidak sebaik dirinya dalam Bahasa Indonesia. Tetapi mengapa usahanya sendiri, yang jelas-jelas membuahkan hasil sempurna, tidak mendapatkan perhatian yang sama?

     

    Ia menggenggam kertas ulangannya erat-erat, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. 

     

    “Apakah usahaku tidak cukup berarti?” pikirnya.

     

     

    Saat bel pulang berbunyi, Ananta berjalan perlahan keluar kelas. Biasanya ia langsung menuju rumah, tetapi hari itu kakinya membawanya ke taman sekolah. Ia duduk di salah satu bangku kayu, memandangi langit yang mulai berwarna jingga.

     

    “Ananta!!” 

     

    Suara lembut memanggilnya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Hazara berdiri di sana, membawa buku catatan berwarna pink yang sama seperti sebelumnya.

     

    “Oh, hai,” jawab Ananta dengan suara pelan.

     

    Hazara duduk di sampingnya tanpa diminta. “Kamu kelihatan murung. Ada apa?”

     

    Ananta ragu sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada. Hanya lelah saja.”

     

    Hazara tersenyum kecil. “Aku tahu kamu mendapatkan nilai sempurna di ulangan tadi. Selamat, Ananta. Kamu memang pintar.”

     

    “Terima kasih,” jawab Ananta, meski suaranya terdengar hambar.

     

    Mereka terdiam sejenak. Hazara memandangi kertas ulangannya sendiri, yang nilai 75-nya masih jelas terlihat. 

     

    “Tahu tidak? Aku sebenarnya iri padamu.”

     

    “Iri? Kenapa?” Ananta menatapnya dengan bingung.

     

    “Kamu selalu bisa menjawab semua soal dengan benar. Aku tahu kamu belajar keras, dan aku mengagumi itu. Sementara aku… aku hanya mencoba bertahan.”

     

    Ananta terkejut mendengar pengakuan itu. Selama ini, ia mengira Hazara selalu memiliki segalanya—kecantikan, popularitas, perhatian guru. Tetapi ternyata, Hazara juga memiliki kelemahan.

     

    “Tapi kamu tetap mendapatkan pujian,” gumam Ananta tanpa sadar.

     

    Hazara menoleh, menatapnya. 

     

    “Pujian itu kadang membuatku merasa lebih buruk, tahu? Seolah-olah aku harus terus berusaha untuk sesuatu yang mungkin tidak pernah aku capai.”

     

    Ananta terdiam. Kata-kata Hazara memberinya perspektif baru. Mungkin, masalahnya bukan pada siapa yang lebih baik atau siapa yang lebih dihargai, tetapi pada bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri.

     

     

    Saat matahari tenggelam, Ananta bangkit dari bangkunya. Ia menatap Hazara dan berkata, “Terima kasih, Hazara. Aku rasa… aku mengerti sesuatu hari ini.”

     

    Hazara tersenyum lembut. “Sama-sama, Ananta. Kita semua sedang belajar, kan?”

     

    Malam itu, Ananta kembali ke rumah dengan hati yang lebih tenang. Ia menyadari bahwa meskipun usahanya mungkin tidak selalu dihargai seperti yang ia harapkan, itu tidak berarti usahanya sia-sia. Terkadang, penghargaan terbesar adalah yang ia berikan pada dirinya sendiri.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 9)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021