Bab 10
Kondangan
Azan Asar berkumandang saat aku bangun dari tidur yang tak lelap. Siang tadi hanya bangun salat Dhuhur, lalu tidur kembali dengan Fitri walau sesungguhnya mata ini sulit terpejam.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan, lalu mencuci baju yang sudah direndam tadi pagi. Setelah itu salat Asar bersama Fitri yang juga sudah terbangun dan langsung kumandikan.
Sore ini ada teman yang sedang menikah dan aku diundang. Setelah salat Asar aku mengganti baju untuk kondangan. Fitri juga dipakaiakan baju yang pantas. Tetapi alangkah terkejutnya saat sedang bercermin, melihat mataku bengkak, tampak sekali bekas menangis dalam waktu lama.
Bagaimana nanti jika bertemu banyak orang di tempat hajatan dalam keadaan seperti ini? Pasti banyak yang bertanya. Mungkin aku akan menunduk terus saja, karena kalau tidak datang kondangan, tak enak rasanya dengan teman satu bagian kerja.
Akhirnya aku dan Fitri berangkat kondangan dengan berjalan kaki karena rumah temanku itu tidak jauh hanya beberapa meter saja.
Saat sampai di tempat hajatan, aku berusaha menunduk terus. Berusaha tak peduli dengan banyak orang yang ada di hajatan tersebut.
“Hei, Ria! Kamu sama siapa?” Tiba-tiba seseorang sudah berada di samping saat aku sudah mengambil tempat duduk untuk makan bersama Fitri.
“Eh, Murni. I– Ini sama Fitri,” jawabku agak gugup.
“Oh, nggak sama suami?”
“Enggak. Suamiku lagi ada perlu,” jawabku sekenanya. Padahal aku tak tahu A’ Asep ke mana? Sejak tadi belum pulang.
Aku mulai memakan nasi di piring yang sudah diambil sambil menyuapi Fitri.
“Hei, matamu kenapa?” tanya Murni kontan saat mata kami tak sengaja beradu.
“Eh, eng–enggak kenapa- kenapa. Cuma, tadi aku sakit kepala jadi nggak bisa tidur habis shift malam.
“Oh, beneran begitu? Jangan-jangan kamu habis nagis, ya? Kenapa atuh?” tanya Murni dengan logat Sundanya, tampak khawatir kepadaku.
Aku cuma menggeleng, malah jadi ingin menangis lagi ditanya Murni seperti itu.
“Kalau punya masalah jangan dipendam sendiri,” ucapnya sambil makan.
Aku tersenyum getir.
Setelah selesai makan, aku dan Murni pulang bersama. Kami berbelok di persimpangan, karena rumah kontrakan Murni beda arah. Kami mengucap salam perpisahan.
Jam sudah menunjuk pukul lima sore saat aku sampai di rumah. Melihat A’ Asep sudah pulang. Fitri langsung menghambur ke pelukannya.
“Fitri dari mana, Sayang?” tanya A’ Asep sambil mencium pipi Fitri kiri dan kanan.
“Kondangan, Bi. Tadi pengantinnya cantik sekali seperti putri,” ucap Fitri yang memang sejak melihat temanku yang didandani pengantin itu mengatakan cantik sekali. Ia baru melihat sepertti di televisi, katanya.
“Oh, masa’? Cantikan siapa sama Umi?” tanya A’ Asep menggoda putrinya.
“Umi kalau didandani juga pasti cantik, Bi,” ucap Fitri polos.
“Oh, begitu, ya?”
“Iya. Nanti kalau Fitri sudah besar, ingin jadi perias pengantin aja, Bi. Fitri ingin dandani Umi biar cantik terus seperti putri, biar abi sayang terus sama umi,” ucap Fitri membuat kami terpana.
“Oh, begitu. Umi itu nggak didandani juga sudah cantik, kok,” tutur A’ Asep.
“Tapi kalau umi sudah cantik, kenapa abi bikin nangis umi? Tadi Fitri lihat umi nangis pas abi keluar dari kamar. Pasti abi yang bikin nangis umi, kan?” tanya Fitri polos.
Aku langsung masuk ke kamar, meninggalkan anak dan bapak itu. Meletakkan tas ke cantolan, lalu merebahkan tubuh.
Lelah sekali rasanya hari ini. Terutama pikiranku.
***
“Ria, emang kamu bisa jahit, ya?” tanya Mas Budi tiba-tiba saat aku sedang mengoperasikan mesin. Yah, hari ini aku shift satu dan mendapat bagian kerja mengoperasikan mesin.
“Sedikit-sedikit, Mas,” jawabku masih mengoperasikan mesin.
“Aku ada beberapa baju yang kegedean, pengin dikecilin. Juga celana yang resletingnya rusak. Kamu bisa betulkan?” tanya Mas Budi sambil mengontrol mesin yang sedang kuoperasikan.
“Inshaa Allah, bisa, Mas. Bawa aja besok,” jawabku.
“Ya udah besok saya bawa, ya.”
Setelah itu Mas Budi pergi untuk mengecek mesin-mesin yang lain.
Alhamdulillah. Lumayan kalau ada yang permak baju, uangnya bisa buat tambah-tambah beli sayuran. Biasanya kalau sedang shift satu aku mengerjakan permakan malam hari kadang sampai jam sebelas malam.
***
Terdengar seseorang mengucap salam saat aku hendak ke dapur untuk mengambil makan malam. Segera kujawab salam dan bergegas menuju ke pintu depan rumah.
Ternyata Mas Budi bersama seorang perempuan yang lebih muda. Mungkin adiknya.
“Oh, Mas, Budi. Mari masuk, Mas,” ucapku mempersilakan.
“Iya, Ria. Ini yang tadi saya bilang mau permak. Saya anterin sekalian lewat mau nganterin adik pulang ke kontrakannya,” ucap Mas Budi lalu masuk ke rumah.
Kupersilakan ia dan adiknya duduk. Lalu ia menjelaskan baju dan celana yang harus dipermak. Aku pun paham.
“Emang adiknya tinggal di kontrakan siapa, Mas?” tanyaku basa-basi sambil melipat kembali baju dan celana Mas Budi yang baru saja dijelaskan bagian permaknya.
“Itu, di Haji Udin,” jawab Mas Budi.
“Oh. Kerja di mana, Mbak?” tanyaku pada adiknya Mas Budi.
“Di Hanchang,” jawabnya membuatku terkejut. Berarti mungkin dia kenal dengan Si Sri?
“Di Hanchang? Kenal dengan yang namanya Sri, enggak?” tanyaku antusias.
“Sri? Kenal, Mbak. Yang orang Sebrang, kan? “
“Iya, betul,” jawabku semangat.
“Kenal, Mbak. Dia, kan satu line sama saya, Mbak. Bahkan dulu pernah ngontrak bareng saya. Emang Embak kenal sama Si Sri?”
“Em, iy–iya, kenal. Dia, temannya temenku,” jawabku agak gugup. “Jadi dulu dia pernah ngontrak bareng sama Embak?” tanyaku memastikan.
“Iya, Mbak, dulu tapi nggak lama cuma beberapa bulan,” jawab adiknya Mas Budi.
“Salam saja, ya Buat dia. Dari Ria, istrinya Kak Asep, gitu,” ucapku.
” Iya, Mbak, inshaa Allah nanti saya sampaikan,” jawabnya.
Setelah itu mereka pulang. Aku segera kembali melanjutkan aktivitasku yang tertunda. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana respon Si Sri saat mendapat salam dariku? Jadi penasaran? Sabar dulu. Kita tunggu besok.
Bersambung
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.