Bel tanda pulang kerja berbunyi. Hari ini seluruh karyawan dipulangkan jam 5 sore karena besok merupakan hari besar Islam yaitu Hari Raya Idul Adha. Sementara karyawan yang shit 2 tetap masuk jam tujuh malam dan pulangnya jam 5 pagi supaya bisa mengikuti salat Ied. Biasanya seperti itu karena Idul Adha tahun lalu kebetulan aku shift 2.
Bergegas aku menuju parkiran untuk mengambil sepeda. Lalu mengayuh perlahan keluar dari parkiran menuju pintu gerbang yang macet. Akhirnya keluar juga dari gerbang pabrik.
Tampak di pinggir jalan,tak jauh dari pabrik, ada seorang pedagang ayam potong. Mungkin, karena besok adalah Hari Raya Idul Adha, makanya ada penjual ayam potong. Padahal biasanya tidak ada.
Aku menghentikan sepedaku tepat di depannya. Sudah ada beberapa pembeli yang memilih-milih ayam. Aku pun turun dari sepeda dan ikut memilih-milih ayam. Setelah mendapat yang aku ingin, segera dimasukkan ke plastik oleh pedagangnya. Lalu aku membayarnya. Kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
Sesampai di rumah, putri kecilku menyambut dengan senang hati. Aku memeluk dan menciumnya.
“Hmm, bau acem. Mandi yuk!” ajakku pada Fitri.
Sudah menjadi hal biasa, setiap kali pulang kerja, Fitri masih belum dimandikan. Wajahnya cemong-cemong dan bau asem. Walau sesungguhnya kecewa pada suami. Apa susahnya dan seberapa lama hanya memandikan anak? Namun, aku hanya bisa memendamnya. Percuma bicara, nanti malah ujungnya bertengkar dan pasti ia akan mengatakan ‘Dunia Terbalik’.
Maka dari itu, biarlah aku berusaha sabar dalam masalah ini.
Aku meletakkan ayam dalam plastik yang kubeli tadi di meja. Setelah itu memandikan Fitri lalu membedaki dan memakaikan baju. Setelah Fitri selesai kudandani, ia langsung menonton televisi.
Aku mengambil ayam yang di atas meja lalu membersihkan dan memotong-motong sesuai selera. Setelah itu membuat bumbu opor, kemudian memasaknya.
Adzan Magrib berkumandang saat aku selesai memasak dan mencuci piring. Segera mandi dan melaksanakan salat Magrib. Aku mengajak Fitri salat. Dia tampak senang setiap kali kuajak salat walau belum punya mukenah. Aku memakaikan jilbab yang besar untuk ia salat. Setelah itu aku mengajari mengaji dan baca tulis.
Tak lupa mengingatkan A’ Asep agar salat Magrib. Akan tetapi ia cuek saja. Biarlah, yang penting sudah mengingatkan.
Selesai mengajari Fitri mengaji dan baca tulis, azan Isya pun berkumandang. Kulanjutkan salat Isya bersama Fitri. Selesai salat aku makan sambil menyuapi Fitri. Tak lupa menawari Kakek dan Nenek yang sedang duduk di depan televisi untuk makan. Mereka pun meng-iya-kan.
Entah A’ Asep kemana? Sejak kuingatkan salat tadi, tidak tampak lagi.
Tak berapa lama, Fitri mulai mengantuk. Aku mengajaknya ke kamar lalu menidurkannya. Mataku pun mulai ikut terpejam.
Terdengar pintu kamar dibuka. Mata kembali terbuka. Melihat jam dinding menunjuk angka sembilan.
A’ Asep duduk di sisi ranjang. “Udah tidur, Mi?” tanyanya.
Dari mana dia? Tiba-tiba menghilang, tiba-tiba muncul.
“Belum,” jawabku. “Kenapa?” sambungku masih tertidur di samping Fitri.
“Kapan berhenti kerja?”
“Ya, nanti kalau udah beli mesin obras,” jawabku.
“Umi itu, nggak pernah ada setiap kali aku butuhkan,” ucapnya.
Aku bangkit dari tidur dan duduk di samping A’ Asep.
“Maksudnya apa, sih, Bi?”
“Ya, Umi selau nggak ada setiap aku butuhkan. Umi itu kerja terus.”
Aku diam saja walau kesal. Bagaimana lagi harus menjelaskannya?
Lalu kulihat ia merogoh saku kemeja. Mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelah itu ia menyodorkan selembar kertas kepadaku.
Ternyata sebuah foto ukuran 4R. Saat itu belum ada HP. Terpampang gambar perempuan di sana. Wajahnya tidak lebih cantik dariku.
“Siapa ini?” tanyaku sedikit curiga.
“Pacarku,” jawabnya ringan.
“Pacarmu? Beneran?” Aku berusaha sabar.
“Iya,” jawabnya.
“Sejak kapan pacaran?”
“Baru,” jawabnya.
“Kenapa Abi pacaran lagi?” Dadaku mulai panas.
“Ya, karena Umi nggak pernah ada setiap kali aku butuhkan. Umi kerja terus. Lagian, kemarin, kan, Umi udah nyuruh aku untuk nikah lagi?”
Tenggorokanku terasa sakit. Aku tak bisa bicara lagi. Perlahan air mata keluar membasahi pipi.
Benarkah aku salah karena aku bekerja sehingga membuat suami merasa terabaikan? Namun, bukankah aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bukan untuk sendiri?
Mungkin kemarin aku salah karena sudah terbawa emosi dengan menyuruh dia menikah lagi. Ucapan adalah doa. Makanya sekarang menjadi kenyataan kalau A’ Asep pacaran lagi.
Namun, bukankah kemarin perjanjian aku berhenti kerja kalau sudah membeli mesin obras? Mengapa belum terbeli dia sudah menagih janji dan menghianati?
Aku bingung dengan semua ini. Siapa sesungguhnya yang salah? Namun, A’ Asep tetap menuduh aku lah yang salah.
Akhirnya aku minta maaf kepadanya, dan berjanji akan lebih perhatian dan memperbaiki diri lagi. Namun, aku meminta agar ia memutuskan pacarnya itu.
A’ Asep pun setuju. Namun, ia tampak
merasa bangga bisa punya pacar lagi, seakan tidak punya perasaan. Setelah itu ia ke ruang tengah menonton televisi. Aku membiarkannya. Aku masih sibuk dengan air mata yang terus mengalir.
Gema takbir yang membahana tak mampu membuat hatiku damai. Ingin rasanya cepat tidur, tapi mata sulit terpejam memikirkan masalah yang sedang terjadi. Hati bertanya-tanya, benarkah aku salah dan A’ Asep yang benar?
Tak terasa jam menunjuk pukul sebelas malam. A’ Asep masuk kamar. Lalu merebahkan tubuhnya di sampingku. Setelah itu ia terlelap.
Sementara aku masih sulit sekali untuk tidur. Walau mata bisa terpejam, tapi hati masih tak karuan. Ingin mengadu, tapi pada siapa? Orang tua jauh di kampung. Saudara pun tidak ada di perantauan ini. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sementara adikku tinggal di kampung dan sudah menikah dengan tetangga.
Namun, aku yakin bisa mengatasi masalah ini sendiri. Tak perlu cerita kepada siapa-siapa.
Jarum jam perlahan mulai bergeser dan menunjuk angka dua. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu lalu mengerjakan salat malam. Kutumpahkan semua masalah hidup ini kepada Rabb, Tuhan Semesta Alam.
Hati sedikit lega setelah itu. Namun, mata tetap tak mau terpejam. Hingga adzan Subuh berkumandang. Badanku terasa meriang. Mungkin karena semalaman tidak bisa tidur. Kepala pun sakit sekali seperti mau pecah.
Kupaksa bangkit dari tidur lalu menuju cermin. Terlihat di sana mataku bengkak akibat menangis semalaman. Namun, aku harus tetap beraktivitas.
Aku pun memulai aktivitas harian. Setelah mandi dan salat Subuh, mengaji sebentar. Kulihat A’ Asep pun sudah bangun. Ia mandi lalu pergi ke masjid untuk salat Ied. Yah, setiap Hari Raya ia selalu datang ke masjid lebih awal, katanya takut tidak mendapat tempat karena jamaah salat Ied pasti penuh.
Setelah mengaji, aku ke dapur menghangatkan opor ayam kemarin. Setelah membangunkan Fitri lalu memandikannya. Kemudian mengajaknya ke masjid untuk salat Ied.
Sementara Kakek juga sudah mandi dan berangkat ke masjid. Begitu pun Toni, adiknya A’ Asep, juga sudah berangkat ke masjid. Sedangkan Nenek di rumah saja menunggu rumah.
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.