KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • basedonmyrealitylife
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bukan Jodoh Selamanya

    Bukan Jodoh Selamanya

    BY 22 Des 2022 Dilihat: 211 kali

    Oleh: Tri Lestari

    Bab 4


    ‘Prank’


    Setelah salat Ied selesai, aku dan Fitri pulang. Sampai di rumah aku menyuapi Fitri sekaligus ikut makan. 


    Mataku masih terasa bengkak. Kepala juga masih cekut-cekut. Setelah selesai makan sambil menyuapi Fitri, aku ke warung untuk membeli obat sakit kepala. 


    “Mbak Ria sakit kepala, ya? Kok, matanya juga bengkak? Kenapa? Habis nangis, ya?” cecar Bu Surti empunya warung. 


    “I–iya, Bu. Saya, sakit kepala dari semalem. Sakit banget, saya enggak kuat, makanya sampai nangis,” jawabku gagap. 


    “Kenapa enggak dari semalem beli obatnya?”


    “Soalnya udah tengah malem, pasti Ibu udah tutup warungnya,” jawabku berusaha cari alasan. 


    “Saya tutup jam dua belas malem, Mbak. Ketok aja, Mbak, kalau butuh apa-apa tengah malem. Enggak apa-apa, kok. Dari pada sakit ditahan,” kata Bu Surti lagi. 


    “Oh, iya, Bu, kalau begitu lain kali saya ketok.” 


    Aku segera pamit khawatir ditanya lebih jauh lagi. 


    Sesampai di rumah aku segera meminum obat yang tadi dibeli. Kulihat A’ Asep sedang makan. 


    “Minum obat apa, Mi?” tanya A’ Asep yang melihatku minum obat. 


    “Obat stres,” jawabku asal. 


    Ia nyengir. 


    “Aku mau ke masjid lagi, ya, bantuin potong hewan kurban. Aku jadi panitia kurban soalnya,” kata A’ Asep selesai makan. 


    Tumben pamit. Biasanya juga nyelonong aja. “Hem,” jawabku malas. 


    A’ Asep pun bergegas pergi. 


    “Umi, aku mau main boneka. Ambilin yang itu, Mi,” rengek Fitri sambil menarik lenganku menuju ke bufet lalu menunjuk sebuah boneka Barbie yang tersimpan di dalam bufet paling atas. 


    Aku segera mengambilkan. 


    “Fitri main sama mamang, ya. Umi mau istirahat dulu. Umi lagi sakit,” ucapku pada Fitri sambil memberikan boneka itu. 


    “Iya, Mi. Umi bobok aja, ya. Biar cepet sembuh,” jawab Fitri yang sudah bisa bicara dengan jelas. Seringkali anak kecil belum bisa mengucap “Er”. Biasanya akan menjadi “El”. Tetapi Fitri justru terbalik. Dia malah sulit untuk bilang “El”. Ketika ia bilang “lari-lari” malah menjadi “rari-rari”.


    Fitri segera keluar menuju teras dan bermain boneka di teras. Ada nenek dan Toni yang sedang duduk di teras. Mereka pasti menjaga Fitri. 


    Usia nenek kutaksir sekitar 70 tahun. Ia sering bercerita kalau dulu saat menikah dengan kakek ia sudah janda anak satu. Sementara kakek masih perjaka, usianya jauh di bawah nenek. 


    Saat ini walau usia mereka sudah tua, namun masih sehat. Kakek masih kerja setiap hari. Jarang sekali ia ijin, kecuali memang sakit parah. 


    Sementara nenek juga masih sehat. Kadang-kadang ia membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan menyapu. Mencuci baju pun ia bisa sendiri. Kadang-kadang juga masak sendiri. Begitu pun kakek, ia bisa mencuci baju sendiri. 


    Namun, kalau hari libur biasanya aku mencucikan baju nenek dan kakek. Kasihan mereka. Tetapi saat ini aku sedang sakit. Tadi hanya mencuci baju kami bertiga saja. 


    Kurebahkan tubuh di kasur, mencoba memejamkan mata walau sulit. Aku tak menyangka kalau akan mengalami masalah seberat ini. Dikhianati oleh suami. Sudah tidak diberi nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, dan malah dikhianati. Rasanya lengkap sudah penderitaanku. 


    Namun, sesungguhnya aku heran, kenapa A’ Asep selalu menyalahkanku? Aku yang menderita, kenapa aku yang disalahkan? Dalam hati masih bertanya-tanya, benarkah aku yang salah? Sesungguhnya hati tidak terima disalahkan. Tetapi, sudahlah. Lebih baik introspeksi dan memperbaiki diri. Semoga A’ Asep segera memutuskan pacarnya itu. 


    Mata mulai terasa berat. Mungkin pengaruh obat yang kuminum. Aku pun terlelap. 


    Saat bangun melihat jam dinding sudah menunjuk angka sebelas. Alhamdulillah rasa sakit di kepala sudah berkurang. Badan juga terasa lebih enteng. 


    Aku bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kulihat A’ Asep sedang membersihkan daging.


    “Udah bangun, Mi?” tanya A’ Asep sambil memotong-motong daging. 


    “Hem,” jawabku singkat. 


    “Tumben, rajin,” gumamku dalam hati. 


    “Udah sembuh stresnya?” tanyanya sambil tertawa. 


    Aku diam saja. 


    Setelah itu aku ke dapur, membuat bumbu untuk memasak daging yang dibawa A’ Asep tadi. 


    “Nih, Mi, dapet dua bungkus. Satu daging kambing, satu lagi daging sapi,” ucapnya sambil menyodorkan dua baskom berisi daging yang sudah dicuci bersih. 


    “Ya, taruh meja aja, entar dimasak,” jawabku dengan nada ketus. 


    “Umi masih marah?” tanyanya tanpa dosa sambil meletakkan dua baskom berisi daging di meja. 


    Lagi, aku diam. 


    “Jangan marah, dong. Nggak asik kalau Umi marah. Aku jadi sering dikacangin,” ucap A’ Asep sambil mendekati dan ikut mengupas bawang merah. 


    Aku masih diam. 


    “Senyum, dong, Mi,” godanya. 


    Benar-benar tak punya pikiran. Emang dipikir aku tidak punya perasaan sehingga begitu mudah untuk tersenyum? Walau aku mungkin merasa bersalah dan sudah meminta maaf, tetapi tak semudah itu mengembalikan perasaan yang sudah hancur karena dikhianati. 


    “Ah, Umi, mah nggak asik. Aku pergi aja, lah,” kata A’ Asep kemudian berlalu dari hadapanku. 


    Aku melanjutkan membuat bumbu kemudian mulai memasak daging sapi terlebih dulu. Lumayan banyak dapat daging sapinya. Mungkin ada kira-kira sekilo. Mungkin karena A’ Asep panitia jadi mendapat bagian lebih banyak. 


    Daging sapi dibumbu kecap saja, sedangkan daging kambing nanti akan dibuat gulai. Kebetulan di kulkas masih ada santan kelapa praktis tinggal tuang. 


    Selesai memasak sudah hampir jam satu siang. Aku segera melaksanakan ibadah salat Dhuhur. Tak lupa kuajak Fitri. Tak lupa pula kuingatkan A’ Asep agar salat Dhuhur. Namun, ia malah tidur. Katanya, capai. Aneh, kalau salat Ied rajin, berangkat ke masjid pagi-pagi sekali, tapi giliran salat wajib malah tak dikerjakan. Terserah, yang penting sudah mengingatkan. 


    Setelah salat, aku menyuapi Fitri. Tak lupa selalu menawari nenek dan kakek untuk makan. Juga Toni. Mereka pun segera makan. Kakek tampak lahap makan gulai kambing. Sementara nenek makan dengan daging sapi yang dibumbu kecap. Ia tak suka daging kambing. Katanya bau. 


    Selesai makan, kuajak Fitri bermain di depan rumah. Tak lama kemudian Fitri tampak mengantuk, lalu kuajak ke kamar dan meninabokokkannya. 


    “Udah mateng masaknya, Mi?” tanya A’ Asep yang sudah membuka mata saat aku masuk kamar. 


    “Udah,” Jawabku singkat. 


    “Kok, Umi jadi berubah gitu, sih?”


    Aku diam. 


    A’ Asep bangkit dari tidur kemudian keluar kamar. Mungkin ia mau makan. Ternyata benar, kudengar dentingan sendok  dan piring. 


    Waktu pun berjalan. Hari sudah malam. Fitri sudah tidur. Sementara A’ Asep entah kemana? Memang sudah menjadi kebiasaaan, kalau akan pergi ke mana selalu tidak pamit. Tahu-tahu sudah tidak ada. 


    Kudengar televisi masih bersuara. Aku keluar kamar. Rupanya kakek dan Toni masih menonton. Aku ikut duduk di antara mereka sambil menunggu A’ Asep pulang. 


    Kulihat jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Dalam hati bertanya-tanya, ke mana A’ Asep pergi? Jangan-jangan ia ke tempat pacarnya itu? Tapi tak apa ke sana kalau tujuannya untuk memutuskannya. 


    Terdengar suara salam. Itu suara A’ Asep. Lalu pintu dibuka. A’ Asep pun masuk. Lalu ia langsung ke kamar. 


    Aku bangkit dan mengikutinya ke kamar. 


    “Dari mana?” tanyaku datar lalu duduk di sisi kasur, di samping A’ Asep. “Dari tempat pacarmu itu, ya?” sambungku. 


    Tangan kirinya merangkulku. 


    ” Mi, sebenernya aku semalam itu bohong,” ucapnya lalu mengecup pucuk kepalaku. 


    “Maksudnya, bohong bagaimana?” tanyaku bingung. 


    “Sebenernya aku nggak pacaran. Foto yang semalam aku tunjukkan itu adalah foto pacarnya Danang. Tahu, kan, Danang? Itu, temenku yang rumahnya di pojok sana. Kan, sering main ke sini juga,” ucap A’ Asep membuatku bingung. 


    “Jadi, maksudnya, Abi cuma nge-‘prank’ Umi?”


    “Iya. Aku cuma ingin tahu, apakah Umi masih cinta sama Abi atau enggak? Soalnya selama ini Umi selalu cuek dan seakan sudah tak cinta sama Abi. Tapi ternyata Umi masih cinta sama Abi, buktinya, Umi cemburu, kan?” 


    “Beneran, Bi? Cuma prank?” tanyaku sambil tersipu. 


    “Iya. Udah, jangan marah lagi, ya. Nggak enak kalau Umi marah. Ngomongnya jadi ngirit dan sering dikacangin. Emangnya enak dikacangin? Nggak enak tahu?” katanya sambil mencubit hidungku. 


    Aku tersenyum simpul. Alhamdulillah. Ternyata A’ Asep tidak pacaran. 


    Bersambung.

    Bagikan ke

    1 Komentar Pada Bukan Jodoh Selamanya

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Di balik perumusan lima sila yang menjadi pondasi bangsa ini, ada pemikiran mendalam dari para tokoh pendiri bangsa, salah satunya adalah Soekarno. Pemikiran Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Lalu, apa saja pemikiran Soekarno tentang dasar negara […]

      Des 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021