Bab 4
‘Prank’
Setelah salat Ied selesai, aku dan Fitri pulang. Sampai di rumah aku menyuapi Fitri sekaligus ikut makan.
Mataku masih terasa bengkak. Kepala juga masih cekut-cekut. Setelah selesai makan sambil menyuapi Fitri, aku ke warung untuk membeli obat sakit kepala.
“Mbak Ria sakit kepala, ya? Kok, matanya juga bengkak? Kenapa? Habis nangis, ya?” cecar Bu Surti empunya warung.
“I–iya, Bu. Saya, sakit kepala dari semalem. Sakit banget, saya enggak kuat, makanya sampai nangis,” jawabku gagap.
“Kenapa enggak dari semalem beli obatnya?”
“Soalnya udah tengah malem, pasti Ibu udah tutup warungnya,” jawabku berusaha cari alasan.
“Saya tutup jam dua belas malem, Mbak. Ketok aja, Mbak, kalau butuh apa-apa tengah malem. Enggak apa-apa, kok. Dari pada sakit ditahan,” kata Bu Surti lagi.
“Oh, iya, Bu, kalau begitu lain kali saya ketok.”
Aku segera pamit khawatir ditanya lebih jauh lagi.
Sesampai di rumah aku segera meminum obat yang tadi dibeli. Kulihat A’ Asep sedang makan.
“Minum obat apa, Mi?” tanya A’ Asep yang melihatku minum obat.
“Obat stres,” jawabku asal.
Ia nyengir.
“Aku mau ke masjid lagi, ya, bantuin potong hewan kurban. Aku jadi panitia kurban soalnya,” kata A’ Asep selesai makan.
Tumben pamit. Biasanya juga nyelonong aja. “Hem,” jawabku malas.
A’ Asep pun bergegas pergi.
“Umi, aku mau main boneka. Ambilin yang itu, Mi,” rengek Fitri sambil menarik lenganku menuju ke bufet lalu menunjuk sebuah boneka Barbie yang tersimpan di dalam bufet paling atas.
Aku segera mengambilkan.
“Fitri main sama mamang, ya. Umi mau istirahat dulu. Umi lagi sakit,” ucapku pada Fitri sambil memberikan boneka itu.
“Iya, Mi. Umi bobok aja, ya. Biar cepet sembuh,” jawab Fitri yang sudah bisa bicara dengan jelas. Seringkali anak kecil belum bisa mengucap “Er”. Biasanya akan menjadi “El”. Tetapi Fitri justru terbalik. Dia malah sulit untuk bilang “El”. Ketika ia bilang “lari-lari” malah menjadi “rari-rari”.
Fitri segera keluar menuju teras dan bermain boneka di teras. Ada nenek dan Toni yang sedang duduk di teras. Mereka pasti menjaga Fitri.
Usia nenek kutaksir sekitar 70 tahun. Ia sering bercerita kalau dulu saat menikah dengan kakek ia sudah janda anak satu. Sementara kakek masih perjaka, usianya jauh di bawah nenek.
Saat ini walau usia mereka sudah tua, namun masih sehat. Kakek masih kerja setiap hari. Jarang sekali ia ijin, kecuali memang sakit parah.
Sementara nenek juga masih sehat. Kadang-kadang ia membantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan menyapu. Mencuci baju pun ia bisa sendiri. Kadang-kadang juga masak sendiri. Begitu pun kakek, ia bisa mencuci baju sendiri.
Namun, kalau hari libur biasanya aku mencucikan baju nenek dan kakek. Kasihan mereka. Tetapi saat ini aku sedang sakit. Tadi hanya mencuci baju kami bertiga saja.
Kurebahkan tubuh di kasur, mencoba memejamkan mata walau sulit. Aku tak menyangka kalau akan mengalami masalah seberat ini. Dikhianati oleh suami. Sudah tidak diberi nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, dan malah dikhianati. Rasanya lengkap sudah penderitaanku.
Namun, sesungguhnya aku heran, kenapa A’ Asep selalu menyalahkanku? Aku yang menderita, kenapa aku yang disalahkan? Dalam hati masih bertanya-tanya, benarkah aku yang salah? Sesungguhnya hati tidak terima disalahkan. Tetapi, sudahlah. Lebih baik introspeksi dan memperbaiki diri. Semoga A’ Asep segera memutuskan pacarnya itu.
Mata mulai terasa berat. Mungkin pengaruh obat yang kuminum. Aku pun terlelap.
Saat bangun melihat jam dinding sudah menunjuk angka sebelas. Alhamdulillah rasa sakit di kepala sudah berkurang. Badan juga terasa lebih enteng.
Aku bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kulihat A’ Asep sedang membersihkan daging.
“Udah bangun, Mi?” tanya A’ Asep sambil memotong-motong daging.
“Hem,” jawabku singkat.
“Tumben, rajin,” gumamku dalam hati.
“Udah sembuh stresnya?” tanyanya sambil tertawa.
Aku diam saja.
Setelah itu aku ke dapur, membuat bumbu untuk memasak daging yang dibawa A’ Asep tadi.
“Nih, Mi, dapet dua bungkus. Satu daging kambing, satu lagi daging sapi,” ucapnya sambil menyodorkan dua baskom berisi daging yang sudah dicuci bersih.
“Ya, taruh meja aja, entar dimasak,” jawabku dengan nada ketus.
“Umi masih marah?” tanyanya tanpa dosa sambil meletakkan dua baskom berisi daging di meja.
Lagi, aku diam.
“Jangan marah, dong. Nggak asik kalau Umi marah. Aku jadi sering dikacangin,” ucap A’ Asep sambil mendekati dan ikut mengupas bawang merah.
Aku masih diam.
“Senyum, dong, Mi,” godanya.
Benar-benar tak punya pikiran. Emang dipikir aku tidak punya perasaan sehingga begitu mudah untuk tersenyum? Walau aku mungkin merasa bersalah dan sudah meminta maaf, tetapi tak semudah itu mengembalikan perasaan yang sudah hancur karena dikhianati.
“Ah, Umi, mah nggak asik. Aku pergi aja, lah,” kata A’ Asep kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku melanjutkan membuat bumbu kemudian mulai memasak daging sapi terlebih dulu. Lumayan banyak dapat daging sapinya. Mungkin ada kira-kira sekilo. Mungkin karena A’ Asep panitia jadi mendapat bagian lebih banyak.
Daging sapi dibumbu kecap saja, sedangkan daging kambing nanti akan dibuat gulai. Kebetulan di kulkas masih ada santan kelapa praktis tinggal tuang.
Selesai memasak sudah hampir jam satu siang. Aku segera melaksanakan ibadah salat Dhuhur. Tak lupa kuajak Fitri. Tak lupa pula kuingatkan A’ Asep agar salat Dhuhur. Namun, ia malah tidur. Katanya, capai. Aneh, kalau salat Ied rajin, berangkat ke masjid pagi-pagi sekali, tapi giliran salat wajib malah tak dikerjakan. Terserah, yang penting sudah mengingatkan.
Setelah salat, aku menyuapi Fitri. Tak lupa selalu menawari nenek dan kakek untuk makan. Juga Toni. Mereka pun segera makan. Kakek tampak lahap makan gulai kambing. Sementara nenek makan dengan daging sapi yang dibumbu kecap. Ia tak suka daging kambing. Katanya bau.
Selesai makan, kuajak Fitri bermain di depan rumah. Tak lama kemudian Fitri tampak mengantuk, lalu kuajak ke kamar dan meninabokokkannya.
“Udah mateng masaknya, Mi?” tanya A’ Asep yang sudah membuka mata saat aku masuk kamar.
“Udah,” Jawabku singkat.
“Kok, Umi jadi berubah gitu, sih?”
Aku diam.
A’ Asep bangkit dari tidur kemudian keluar kamar. Mungkin ia mau makan. Ternyata benar, kudengar dentingan sendok dan piring.
Waktu pun berjalan. Hari sudah malam. Fitri sudah tidur. Sementara A’ Asep entah kemana? Memang sudah menjadi kebiasaaan, kalau akan pergi ke mana selalu tidak pamit. Tahu-tahu sudah tidak ada.
Kudengar televisi masih bersuara. Aku keluar kamar. Rupanya kakek dan Toni masih menonton. Aku ikut duduk di antara mereka sambil menunggu A’ Asep pulang.
Kulihat jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Dalam hati bertanya-tanya, ke mana A’ Asep pergi? Jangan-jangan ia ke tempat pacarnya itu? Tapi tak apa ke sana kalau tujuannya untuk memutuskannya.
Terdengar suara salam. Itu suara A’ Asep. Lalu pintu dibuka. A’ Asep pun masuk. Lalu ia langsung ke kamar.
Aku bangkit dan mengikutinya ke kamar.
“Dari mana?” tanyaku datar lalu duduk di sisi kasur, di samping A’ Asep. “Dari tempat pacarmu itu, ya?” sambungku.
Tangan kirinya merangkulku.
” Mi, sebenernya aku semalam itu bohong,” ucapnya lalu mengecup pucuk kepalaku.
“Maksudnya, bohong bagaimana?” tanyaku bingung.
“Sebenernya aku nggak pacaran. Foto yang semalam aku tunjukkan itu adalah foto pacarnya Danang. Tahu, kan, Danang? Itu, temenku yang rumahnya di pojok sana. Kan, sering main ke sini juga,” ucap A’ Asep membuatku bingung.
“Jadi, maksudnya, Abi cuma nge-‘prank’ Umi?”
“Iya. Aku cuma ingin tahu, apakah Umi masih cinta sama Abi atau enggak? Soalnya selama ini Umi selalu cuek dan seakan sudah tak cinta sama Abi. Tapi ternyata Umi masih cinta sama Abi, buktinya, Umi cemburu, kan?”
“Beneran, Bi? Cuma prank?” tanyaku sambil tersipu.
“Iya. Udah, jangan marah lagi, ya. Nggak enak kalau Umi marah. Ngomongnya jadi ngirit dan sering dikacangin. Emangnya enak dikacangin? Nggak enak tahu?” katanya sambil mencubit hidungku.
Aku tersenyum simpul. Alhamdulillah. Ternyata A’ Asep tidak pacaran.
Bersambung.
1 Komentar Pada Bukan Jodoh Selamanya
Lumayan bagus. Ditunggu deh kelanjutannya.