Bab 5
Kambuh
Minggu sudah berganti. Hari ini aku kerja shif dua. Masuk jam tujuh malam, pulang jam tujuh pagi.
Syukur alhamdulillah, malam ini kerjaku bukan menuang lagi, melainkan di ‘Be-es’-an, Yaitu mengupas permen-permen yang rijek.
Setelah semalaman begadang, bergelut dengan permen- permen karet, akhirnya pagi pun datang. Teman-teman tampak bahagia karena sebentar lagi bel tanda pulang akan berbunyi. Namun, merupakan bel tanda masuk bagi karyawan shift satu.
Baru saja Mas Budi, pengawasku mengumumkan kalau nanti masuk jam tiga sore. Artinya tidak ada lembur.
Teman-teman bersorak gembira. Mungkin karena sudah kurang lebih tiga bulan selalu lembur alias shift panjang, sehingga mereka mungkin ingin sementara istirahat, sebelum nanti lembur lagi.
Aku pun ikut gembira. Namun, sedih juga. Sedihku karena sebentar lagi pulang. Padahal seharusnya pulang kerja itu senang, karena akan beristirahat.
Bel pun berbunyi. Para karyawan shift dua berhamburan keluar dari ruangan kerja. Ada yang menuju ke parkiran mengambil kendaraannya. Ada pula yang menunggu atau sudah ditunggu jemputan. Ada pula yang berjalan kaki bagi yang rumahnya dekat.
Sementara aku sendiri berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepeda. Lalu menaiki dan mengayuhnya hingga sampai rumah.
Terdengar suara musik dangdut membahana. Rupanya A’ Asep sedang berkaraoke ria. Aku menghentikan sepeda dan meletakkannya di depan rumah.
Fitri segera menyongsongku. Aku memeluk lalu menggendongnya. Setelah itu mengajak ke kamar mandi untuk dimandikan. Setelah selesai mendandani Fitri, segera melanjutkan pekerjaan yang lain. Mengumpulkan celana bekas ompol Fitri yang tercecer di sembarang tempat, memasukakkannya ke dalam keranjang.
Waktu itu masih jarang pampers. Kalau tidur, Fitri masih menggunakan karpet yang di atasnya dialasi kain. Sehingga kalau ngompol harus mengganti celana dan kainnya. Biasanya A’ Asep saat menggantikan celana dan kainnya diletakkan sembarang, tidak pada keranjang yang sudah disediakan.
Setelah itu membawa ke kamar mandi, dibilas dua kali biar bau pesingnya hilang. Lalu direndam dengan deterjen. Sementara baju kotorku dan A’ Asep direndam terpisah.
Setelah itu aku memasak. Walau sesungguhnya kesal dengan A’ Asep yang sedang berkaraoke ria, tetapi aku tetap melanjutkan pekerjaanmu. Hal ini lah yang membuat sedih setiap kali akan pulang kerja, karena di rumah telah menanti sederet pekerjaan rumah untuk mendapat uluran tangan lelahku.
Selesai masak, aku makan sekaligus menyuapi Fitri. Melihat nenek juga sedang makan. Rupanya tadi dia sudah masak sendiri. Syukurlah.
Setelah itu aku membersihkan badan ke kamar mandi. Tidak mandi, yang penting badan di lap, karena habis begadang katanya tidak boleh mandi. Setelah itu aku mulai merebahkan tubuh di kasur, ingin segera istirahat. Tetapi A’ Asep masih berisik berkaraoke.
Aku bangkit, lalu menuju ke ruangan di mana A’ Asep sedang berkaraoke. “Bi, aku mau tidur. Tolong berhenti dulu karaokenya,” ucapku di depan pintu kamar depan, khusus tempat alat-alat sound sistem yang ia miliki.
Sesungguhnya A’ Asep mempunyai keterampilan, bisa membuat dan memgoperasikan sound sistem. Sebenarnya selama ini ia sedang belajar dari temannya untuk membuat amplifayer dan alat lainnya.
Namun, seharusnya saat ini bukan lagi waktunya belajar karena ia sudah punya anak dan istri untuk dinafkahi. Kalau hanya sekedar sampingan itu tidak apa-apa, tapi harus punya pekerjaan tetap. Namun, A’ Asep tidak punya pekerjaan tetap. Jadi, setiap kali ia ingin membeli alat-alat untuk sound systemya, akulah yang harus mengeluarkan uang.
Ia pun mematikan suara musiknya. Aku kembali ke kamar dan segera tidur. Entah apa yang dilakukan A’ Asep selanjutnya aku tidak tahu.
Aku bangun saat jarum jam menunjuk angka satu siang. Segera ke kamar mandi mengambil air wudhu dan segera melaksanakan salat Dhuhur. Fitri dan A’ Asep entah ke mana.
Setelah salat aku makan siang. Selesai makan, kembali ke kamar mandi untuk mencuci baju yang sudah ku rendam tadi pagi. Setelah itu aku mandi.
Jam menunjuk ke angka 14. 30 saat selesai mandi. Segera memakai baju seragam kerja. Kulihat A’ Asep dan Fitri sudah pulang.
Namun, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Mungkin asmaku kumat.
“Kenapa, Mi?” tanya A’ Asep saat masuk kamar dan mendapatiku susah bernapas. “Kumat asmanya? Udah nggak usah kerja,” perintahnya.
Aku mengambil obat sesak napas di dalam laci dan segera meminumnya. Beberapa menit kemudian sesaknya sudah hilang. Alhamdulillah.
Memang aku mempunyai penyakit asma karena faktor keturunan. Dulu kakekku yang punya penyakit itu. Sebenarnya penyakit itu sudah lama sembuh. Hanya saat aku masih kecil saja dulu sering kumat. Tetapi setelah aku sekolah dan mulai bekerja, penyakit itu sudah tak pernah kambuh lagi.
Namun, semenjak menikah dengan A’ Asep, entah mengapa penyakit itu datang lagi. Aku masih ingat saat itu baru sebulan menikah. Tiba-tiba aku batuk dan sesak napas. Saat itu tidak berobat ke dokter karena tidak punya uang. Jadi hanya membiarkan penyakit itu menyiksaku. Setelah seminggu tersiksa dengan batuk dan sesak napas, baru penyakit itu pergi sendiri.
Namun, sekarang, setiap kali kambuh, aku langsung berobat ke klinik menggunakan kartu berobat dari pabrik sehingga biaya pengobatan ditanggung oleh perusahaan. Untuk persediaan obat sesak napas, aku membeli di apotek, sehingga saat kambuh, langsung bisa diminum. Tetapi, seandainya beberapa hari tidak sembuh, barulah aku pergi berobat.
“Mau kerja aja, Mi?” tanya A’ Asep yang melihatku sudah siap berangkat.
“Iya, udah sembuh, kok,” jawabku.
“Nanti kalau kumat lagi pulang aja, ya,” pesannya.
“Ya,” jawabku lalu mencium punggung tangannya. Tak lupa Fitri juga aku pamiti.
Sementata emak sedang tidur di kamar, jadi aku tak pamitan padanya.
“Umi berangkat, ya. Nanti Fitri jangan lupa disuapin. Tadi, kan, belum makan siang,” ucapku mengingatkan pada A’ Asep.
“Ya,” jawab A’ Asep.
Aku segera berlalu setelah mengucap salam.
Sesampai di pabrik langsung bekerja seperti kemarin di bagian ‘Be-es’-an.
Jarum jam pun berputar. Tak terasa sudah pukul 18.00, waktu istirahat. Saat bel istirahat berbunyi, aku segera pulang, mengayuh sepeda mini.
Sesampai di rumah aku segera makan, lalu salat Maghrib bersama Fitri. Setelah selesai aku istirahat sebentar, lalu berangkat lagi ke pabrik dengan diantar A’ Asep menggunakan sepedanya. Mungkin dia kasihan karena aku sedang sakit.
“Mi, nanti pulang jam delapan aja, ya. Takutnya Umi kumat lagi,” pesan A’ Asep padaku.
Kalau masuk jam tiga sore, maka pulang kerja jam sebelas malam. Istirahat jam 18.00–19.00
Aku meng-iya-kan saja. Bagaimana nanti. Namun, aku merasa perintahnya itu harus dituruti, khawatir dia marah kalau tak dituruti. Nanti aku pasti dikata istri yang membangkang.
Maka saat pukul 20.00, aku pun minta izin kepada Mas Budi, pengawas, untuk pulang karena sakit dan akan berobat.
Mas Budi pun memberikan izin. Aku segera meninggalkan ruangan kerja menuju ke gerbang pabrik. Saat melewati pos satpam, aku memberikan surat izin dari Mas Budi ke satpam yang ada di pos. Setelah itu aku langsung naik ojek dan pergi ke klinik untuk berobat dengan menggunakan surat pengantar dari Mas Budi.
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.