Bab 6
Ternyata Bukan ‘Prank’
Hari Minggu pagi yang cerah. Hari libur saatnya bersih-bersih rumah. Sejak bangun tidur aku sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, piring, memasak, menyapu dan mengepel lantai, menjemur kasur, lalu menyetrika pakaian.
Setengah hari sudah aku mengerjakan semua itu. Badan terasa lelah sekali. Usai salat Dzuhur, aku pun tidur bersama Fitri.
Saat membuka mata, jarum jam Sudah menunjuk pukul 15.00. Aku bangun lalu ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah itu melaksanakan salat Asar. Sementara Fitri masih terlelap.
Selesai salat, Fitri bangun, lalu segera memandikannya. Setelah itu membuatkan susu untuknya. Fitri minum susu sambil nonton televisi. Sementara aku duduk santai di ruang sound system A’ Asep.
Tadi pagi ia meminta uang padaku, katanya untuk membeli alat-alat bakal membuat amplifayer yang lebih bagus lagi.
Aku katakan kalau tak ada uang, karena sedang tidak ada lemburan. Memang kemarin gajian, tetapi kebutuhan banyak. Aku tak mau menurutinya terus. Biarlah ia cari sendiri uangnya. Akan tetapi, mau cari uang kemana dia kalau tidak kerja?
Saat ini entah kemana A’ Asep? Mungkin ke rumah tamannya itu untuk belajar membuat alat-alat itu. Biarkan saja.
Tak sengaja aku menemukan sebuah buku tulis tergeletak di meja kecil ruangan itu. Kubuka perlahan buku itu. Ternyata kosong.
Namun, saat terbuka bagian tengah, aku menemukan sebuah tulisan. Aku hapal kalau itu adalah tulisannya A’ Asep.
[Maafkan aku Dik Sri, karena aku tak mau kamu ajak pulang kampung. Bukan apa-apa, tapi aku merasa tak pantas untuk kamu ajak pulang. Aku ini orang yang banyak kekurangannya. Aku takut kamu tak bisa menerima segala kekuranganku itu.
Aku sangat mencintaimu. Tapi aku juga cinta kepada anak dan istriku.]
Tubuhku terasa lemas usai membaca tulisan itu. Dadaku terasa terbakar. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin A’ Asep mengatakan kalau semua itu hanya ‘prank’? Tetapi kenapa ada tulisan seperti ini? Apakah itu artinya semuanya itu benar bahwa A’ Asep pacaran dengan perempuan di foto yang bernama Sri itu?
Tak berapa lama A’ Asep pun pulang. Melihatku ada di ruangannya, ia pun mendekati.
“Tumben, ngapain di sini, Mi? Mau dengerin musik? Aku setelin, ya? Musik dangdut atau pop, atau lagu Malaysia?” tanyanya tanpa dosa.
“Ini apaan?” Aku menyodorkan buku yang baru saja kubaca.
Ia menerima lalu membaca tulisannya sendiri. Cengar-cengir tanpa dosa, itulah expresi wajahnya.
“Sebenernya Abi pacaran apa enggak sama dia?” tanyaku dengan suara tertahan karena tenggorokan mulai terasa sakit.
“Iya. Aku pacaran sama dia,” jawabnya polos.
Bagaikan petir menyambar di telinga.
“Terus, kenapa kemarin mengatakan kalau itu cuma ‘prank’? Suaraku mulai serak.
“Karena nggak tega sama Umi. Melihat Umi jadi pendiam karena kejujuranku,” jawabnya lalu duduk di sampingku, hendak merangkulku.
Aku bangkit lalu masuk ke kamar. Tangisku pecah. Tidak habis pikir dengan kelakuan A’ Asep. Mengapa ia membohongiku seperti ini? Hati sangat kecewa dibuatnya.
Rasanya ingin menangis terus saja di kamar, tapi itu tidak mungkin. Kehidupan harus tetap berjalan, walau apapun yang terjadi. Menangis terus tidak menyelesaikan masalah.
Kuhapus air mata. Berusaha tegar. Aku butuh refresing. Aku mengganti baju gamis dengan tunik dan bawahan celana kulot. Mengusap wajah dengan ‘baby powder’.
Lalu menggantikan baju Fitri dengan yang lebih bagus. Menggendong Fitri menuju pangkalan ojek.
“Mau kemana, Mbak?” Tanya salah seorang tukang ojek yang sudah mengenalku.
“Ke super market, Bang,” jawabku.
Lalu ia memutar motornya ke arah super market. Segera menaikkan Fitri di tengah, dan aku duduk dibelakangnya.
Kira-kira seperempat jam kami pun sampai di super marker yang kuingin. Setelah membayar ongkosnya, tukang ojek itu pun berlalu.
Segera menggendong Fitri masuk ke Toko tersebut. Toko ini adalah yang paling terkenal di daerah ini. Segera kuambil keranjang roda dan menaikkan Fitri di tempat duduk yang ada di keranjang tersebut.
Fitri tampak senang dan bernyanyi-nyanyi gembira, sampai-sampai ada sese-embak mengatakan, “Ih, lucunya si Dede?” Sambil mencubit pipi Fitri.
Aku pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Fitri tampak malu. Segera melanjutkan belanja, mengisi keranjang dengan kebutuhan sehari-hari. Setelah selesai, aku pun mengantri di kasir untuk membayar semua belanjaan.
Setelah itu, menitipkan barang belanjaan di tampat penitipan barang. Lalu mengajak Fitri ke lantai dua. Di sana ada beberapa permainan. Kuajak Fitri naik bom-bom car. Ia senang sekali.
Setelah puas bermain, kami pun pulang dengan naik ojek lagi.
Sesampai di rumah sudah Azan Maghrib. A’ Asep sedang berada di kamar saat aku masuk.
“Wih, dari mana ini? Habis belanja, ya? Balonnya bagus?” tanya A’ Asep pada Fitri yang sedang memegang balon. Tadi dibeli di depan toko.
Fitri tampak senang dengan balon yang dipegangnya.
“Tadi dimintain duit, katanya nggak ada. Sekarang belanja?” tanya A’ Asep tanpa kujawab.
“Belanja juga untuk kebutuhan, bukan foya-foya”, batinku. Setelah itu kuajak Fitri salat Maghrib lalu mengajari mengaji dan baca tulis.
Malamnya, kembali aku sulit untuk memejamkan mata.
“Tolong, besok putusin pacarmu itu, Bi! Bukannya aku udah berusaha jadi lebih baik? Lebih perhatian? Abi hanya ingin perhatian, kalau setiap malam aku harus melayani, kan? Bukankah sudah aku lakukan? Tapi kenapa malah bohongin aku terus?” ucapku saat A’ Asep merebahkan tubuh di sampingku. Sementara Fitri sudah terlelap.
“Ya, besok,” jawabnya singkat.
Lalu ia meminta jatah malamnya. Walau kesal, aku pun melayani.
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.