KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bukan Jodoh Selamanya

    Bukan Jodoh Selamanya

    BY 27 Des 2022 Dilihat: 117 kali

    Oleh: Tri Lestari

    Bab 7


    Kambuh lagi



    Aku bangun saat azan Subuh berkumandang. Seperti biasa langsung membersihkan diri dan salat Subuh. Setelah itu mulai beraktivitas dengan mengerjakan pekerjaan rumah. 


    Hari ini jatahnya aku shift 2. Masih belum ada lemburan. Jadi nanti masuk kerja jam 15.00 dan pulang jam 23.00. 


    Jam 14.00 aku bangun dari tidur siang dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Aku pun segera berangkat saat jam sudah menunjuk pukul 14.50.

    Seperti biasa dengan sepeda miniku, mengayuhnya sampai ke pabrik. 


    Tak lama setelah sampai di ruang kerja, bel pun berbunyi. Pengawas segera mengatur anak buah untuk kerja. Alhamdulillah, aku masih mendapat bagian ‘Be-es’-an. 


    Saat jarum jam menunjuk pukul 16.00, aku dan Murni, sahabat dekatku, menuju ke mushalla untuk melaksanakan salat Asar. Namun, ketika hendak salat, tiba-tiba, sesak napasku kumat. 


    “Kamu, kenapa, Ria? Kumat, ya?” tanya Murni panik mendapatiku memegangi dada, susah bernapas. 


    Aku hanya menggeleng. Namun, dia pasti tahu kalau sesak napasku kumat. Ia segera memijit-mijit punggungku. 


    “Bawa obatnya enggak? Aku ambilin, di mana?” 


    “Lupa, nggak bawa, Mur,” jawabku lirih, menahan sakit. 


    “Ya, Allah. Terus gimana?”


    “Tolong mintain air hangat ke kantin, ya,” pintaku pada Murni yang segera dilaksanakan. Kebetulan mushalla pabrik berdekatan dengan kantin. 


    Tak berapa lama, Murni pun datang membawa segelas air hangat. Langsung diberikan kepadaku. Segera aku meminumnya, langsung habis 


    Murni kembali memijit-mijit punggung karena sesak napasku belum sembuh juga. 


    “Mau dikerik?” tanya Murni. 


    “Iya, boleh,” jawabku. 


    “Aku minta minyak kayu putih dulu ke kantin, sambil balikin gelas,” ucap Murni, segera berlalu membawa gelas bekas minumku. 


    Tak lama ia pun datang membawa minyak kayu putih. Kami mengambil posisi di pojok mushalla. Di sini adalah mushalla wanita, jadi tak mungkin ada laki-laki ke sini. Aku menaikkan baju bagian belakang, dan Murni segera mengerik punggungku dengan uang logam. Ada beberapa teman yang bertanya aku kenapa?


    Murni yang menjawab kalau aku sedang kumat sesak napasnya. Menurut kata dokter, sebenarnya aku baru gejala asma. Makanya kalau sedang kumat, minum air hangat sambil di pijit punggungnya, atau dioleskan minyak angin di punggung dan dada, biasanya bisa sembuh. Bahkan kadang-kadang kalau sedang kerja dan aku lupa bawa obat, tiba-tiba kumat, aku hanya minum air putih yang banyak, terus duduk diam beberapa saat, alhamdulillah bisa sembuh. 


    Namun, meskipun baru gejala, kalau sedang kumat, tentu rasanya sakit sekali. Tak bisa kubayangkan, bagaimana dengan orang yang sudah menderita asma akut? Pasti lebih sakit, makanya terkadang sampai ada yang dibantu dengan oksigen. 


    Tak lama setelah dikerik, sesaknya mulai berkurang. Setelah napas lega, baru aku dan Murni mengerjakan salat Asar. 


    Setelah selesai aku dan Murni segera kembali ke ruangan kerja. 


    “Ria, Murni, kalian lama banget salatnya?” tanya Mas Budi, pengawas. 


    Rupanya dia memperhatikan kami. Mungkin dia melihat jam saat aku dan Murni keluar dan sekarang saat masuk sudah lebih dari setengah jam. Jatah waktu salat hanya 20 menit.


    “Maaf, Mas, tadi pas di mushalla, Ria kumat sesak napasnya, jadi saya harus ngerikin dia dulu, makanya kami lama di mushalla,” jawab Murni. 


    “Oh, kamu kumat, Ria? Terus sekarang udah sembuh?” tanya Mas Budi khawatir padaku. 


    “Alhamdulillah, udah, Mas,” jawabku pelan. 


    “Syukurlah,” jawab Mas Budi lagi. 


    Aku dan Murni kembali ke tempat kerja masing-masing. 


    Bel pun berbunyi saat jarum jam menunjuk pukul 18.00, tanda istirahat tiba. 


    Para karyawan segera berhamburan keluar ruangan kerja. Aku dan Murni juga pulang. Murni dijemput oleh suaminya, biasanya sudah menunggu di depan pabrik. 


    Sementara aku seperti biasa mengayuh sepedaku sampai ke rumah. Setelah makan, salat Maghrib, dan bermain sebentar dengan Fitri, aku kembali lagi ke pabrik. 


    Tak lupa aku mengambil obat sesak napas di laci untuk dibawa ke pabrik, takut nanti kumat lagi. 


    “Umi kumat, ya?” tanya A’ Asep saat melihatku membuka laci dan mengambil obat sesak napas. 


    “Iya,” jawabku singkat. 


    “Ya udah, nggak usah balik lagi kerjanya,” pinta A’ Asep. 


    “Biarin, udah sembuh, kok,” jawabku sambil lalu. Hati masih kesal kepada A’ Asep. Entah dia sudah memutuskan Si Sri, pacarnya itu atau belum? Aku belum menanyakannya lagi.


    “Ya udah, tapi nanti pulang jam delapan, ya,” perintahnya seperti bos. Memangnya pabrik neneknya, seenaknya saja pulang jam delapan? Pada shift dua minggu lalu, aku sudah pernah pulang jam delapan, atas perintahnya juga. 


    Namun, sepertinya, kali ini aku juga harus menuruti perintahnya. Kalau tidak, nanti dia marah. 


    Bel pun berbunyi saat aku baru saja masuk ruangan kerja. Hati rasanya tak karuan saat jarum jam sebentar lagi menunjuk angka delapan malam. Apakah aku harus pulang ataukah kerja saja? Sebenarnya sesak napasku sudah sembuh. Akan tetapi, kalau tidak pulang, nanti A’ Asep pasti marah karena aku tak menuruti perintahnya. Ia pasti akan mengatakan kalau aku istri durhaka. 


    Akhirnya setelah jam 20.00, aku menghadap ke Mas Budi, minta izin untuk pulang karena sakit. 


    Mas Budi pun mengizinkan, karena mengetahui kalau tadi asmaku kumat. 


    “Ya udah, kamu boleh pulang. Langsung berobat, ya, Ria,” perintah Mas Budi sambil menyodorkan surat izin untuk satpam. 


    “Iya, Mas. Makasih, Mas,” ucapku menerima surat izin dari Mas Budi. 


    Lalu aku segera keluar ruangan kerja. Sampai pos satpam, aku langsung memberikan surat izin itu. Aku segera pulang. Tidak berobat seperti saran Mas Budi, karena obat sesaknya masih ada. 


    Sesampai di rumah mengucap salam dan segera memasukkan sepeda. Kakek, nenek, dan Toni sedang menonton televisi. 


    “Kok, udah pulang, Teh?” tanya Toni saat melihatku memasukkan sepeda. 


    “Iya, lagi kumat,” jawabku singkat. 


    “Oh. Fitri, mah, udah tidur, teh,” laporan Toni padaku. 


    Aku mengangguk lalu masuk kamar. Kulihat Fitri sudah terlelap. Tapi tak melihat A’ Asep. Di mana dia? Apa ke rumah pacarnya itu untuk memutuskannya? Entah. 


    Aku segera mengganti seragam kerja dengan baju tidur. Lalu melaksanakan salat Isya. Setelah itu merebahkan tubuh di sebelah Fitri. Aku pun terlelap. 


    Saat terdengar pintu kamar dibuka, mataku pun terbuka. Kulihat A’ Asep masuk kamar dan mendekatiku. 


    “Dari mana?” tanyaku lirih. Melihat jam dinding menunjuk pukul 23.00.


    Namun ia tak menjawab. 


    “Dari rumah pacar, ya? Udah diputusin belum?” tanyaku penasaran. 


    Lagi, ia tak menjawab malah meminta jatah malamnya. Aku mencoba menolak, dengan alasan sedang sakit. 


    “Katanya tadi udah sembuh?” protesnya. 


    “Kalau sembuh aku nggak pulang jam delapan. Tadi disuruh pulang jam delapan, ternyata di rumah Abi nggak ada,” kilahku kesal. “Cepat katakan, Abi habis dari rumah Si Sri, kan?”


    “Iya,” jawabnya jujur. 


    “Udah diputusin?”


    “Belum,” jawabnya menyakitkan. 


    “Kenapa belum? Katanya mau diputusin?” tanyaku dengan suara mulai serak. 


    “Besok, lah,” jawabnya menyepelekan. 


    Tangisku pecah. 

     

    Bersambung.


    Bagikan ke

    Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021