Bab 7
Kambuh lagi
Aku bangun saat azan Subuh berkumandang. Seperti biasa langsung membersihkan diri dan salat Subuh. Setelah itu mulai beraktivitas dengan mengerjakan pekerjaan rumah.
Hari ini jatahnya aku shift 2. Masih belum ada lemburan. Jadi nanti masuk kerja jam 15.00 dan pulang jam 23.00.
Jam 14.00 aku bangun dari tidur siang dan segera mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Aku pun segera berangkat saat jam sudah menunjuk pukul 14.50.
Seperti biasa dengan sepeda miniku, mengayuhnya sampai ke pabrik.
Tak lama setelah sampai di ruang kerja, bel pun berbunyi. Pengawas segera mengatur anak buah untuk kerja. Alhamdulillah, aku masih mendapat bagian ‘Be-es’-an.
Saat jarum jam menunjuk pukul 16.00, aku dan Murni, sahabat dekatku, menuju ke mushalla untuk melaksanakan salat Asar. Namun, ketika hendak salat, tiba-tiba, sesak napasku kumat.
“Kamu, kenapa, Ria? Kumat, ya?” tanya Murni panik mendapatiku memegangi dada, susah bernapas.
Aku hanya menggeleng. Namun, dia pasti tahu kalau sesak napasku kumat. Ia segera memijit-mijit punggungku.
“Bawa obatnya enggak? Aku ambilin, di mana?”
“Lupa, nggak bawa, Mur,” jawabku lirih, menahan sakit.
“Ya, Allah. Terus gimana?”
“Tolong mintain air hangat ke kantin, ya,” pintaku pada Murni yang segera dilaksanakan. Kebetulan mushalla pabrik berdekatan dengan kantin.
Tak berapa lama, Murni pun datang membawa segelas air hangat. Langsung diberikan kepadaku. Segera aku meminumnya, langsung habis
Murni kembali memijit-mijit punggung karena sesak napasku belum sembuh juga.
“Mau dikerik?” tanya Murni.
“Iya, boleh,” jawabku.
“Aku minta minyak kayu putih dulu ke kantin, sambil balikin gelas,” ucap Murni, segera berlalu membawa gelas bekas minumku.
Tak lama ia pun datang membawa minyak kayu putih. Kami mengambil posisi di pojok mushalla. Di sini adalah mushalla wanita, jadi tak mungkin ada laki-laki ke sini. Aku menaikkan baju bagian belakang, dan Murni segera mengerik punggungku dengan uang logam. Ada beberapa teman yang bertanya aku kenapa?
Murni yang menjawab kalau aku sedang kumat sesak napasnya. Menurut kata dokter, sebenarnya aku baru gejala asma. Makanya kalau sedang kumat, minum air hangat sambil di pijit punggungnya, atau dioleskan minyak angin di punggung dan dada, biasanya bisa sembuh. Bahkan kadang-kadang kalau sedang kerja dan aku lupa bawa obat, tiba-tiba kumat, aku hanya minum air putih yang banyak, terus duduk diam beberapa saat, alhamdulillah bisa sembuh.
Namun, meskipun baru gejala, kalau sedang kumat, tentu rasanya sakit sekali. Tak bisa kubayangkan, bagaimana dengan orang yang sudah menderita asma akut? Pasti lebih sakit, makanya terkadang sampai ada yang dibantu dengan oksigen.
Tak lama setelah dikerik, sesaknya mulai berkurang. Setelah napas lega, baru aku dan Murni mengerjakan salat Asar.
Setelah selesai aku dan Murni segera kembali ke ruangan kerja.
“Ria, Murni, kalian lama banget salatnya?” tanya Mas Budi, pengawas.
Rupanya dia memperhatikan kami. Mungkin dia melihat jam saat aku dan Murni keluar dan sekarang saat masuk sudah lebih dari setengah jam. Jatah waktu salat hanya 20 menit.
“Maaf, Mas, tadi pas di mushalla, Ria kumat sesak napasnya, jadi saya harus ngerikin dia dulu, makanya kami lama di mushalla,” jawab Murni.
“Oh, kamu kumat, Ria? Terus sekarang udah sembuh?” tanya Mas Budi khawatir padaku.
“Alhamdulillah, udah, Mas,” jawabku pelan.
“Syukurlah,” jawab Mas Budi lagi.
Aku dan Murni kembali ke tempat kerja masing-masing.
Bel pun berbunyi saat jarum jam menunjuk pukul 18.00, tanda istirahat tiba.
Para karyawan segera berhamburan keluar ruangan kerja. Aku dan Murni juga pulang. Murni dijemput oleh suaminya, biasanya sudah menunggu di depan pabrik.
Sementara aku seperti biasa mengayuh sepedaku sampai ke rumah. Setelah makan, salat Maghrib, dan bermain sebentar dengan Fitri, aku kembali lagi ke pabrik.
Tak lupa aku mengambil obat sesak napas di laci untuk dibawa ke pabrik, takut nanti kumat lagi.
“Umi kumat, ya?” tanya A’ Asep saat melihatku membuka laci dan mengambil obat sesak napas.
“Iya,” jawabku singkat.
“Ya udah, nggak usah balik lagi kerjanya,” pinta A’ Asep.
“Biarin, udah sembuh, kok,” jawabku sambil lalu. Hati masih kesal kepada A’ Asep. Entah dia sudah memutuskan Si Sri, pacarnya itu atau belum? Aku belum menanyakannya lagi.
“Ya udah, tapi nanti pulang jam delapan, ya,” perintahnya seperti bos. Memangnya pabrik neneknya, seenaknya saja pulang jam delapan? Pada shift dua minggu lalu, aku sudah pernah pulang jam delapan, atas perintahnya juga.
Namun, sepertinya, kali ini aku juga harus menuruti perintahnya. Kalau tidak, nanti dia marah.
Bel pun berbunyi saat aku baru saja masuk ruangan kerja. Hati rasanya tak karuan saat jarum jam sebentar lagi menunjuk angka delapan malam. Apakah aku harus pulang ataukah kerja saja? Sebenarnya sesak napasku sudah sembuh. Akan tetapi, kalau tidak pulang, nanti A’ Asep pasti marah karena aku tak menuruti perintahnya. Ia pasti akan mengatakan kalau aku istri durhaka.
Akhirnya setelah jam 20.00, aku menghadap ke Mas Budi, minta izin untuk pulang karena sakit.
Mas Budi pun mengizinkan, karena mengetahui kalau tadi asmaku kumat.
“Ya udah, kamu boleh pulang. Langsung berobat, ya, Ria,” perintah Mas Budi sambil menyodorkan surat izin untuk satpam.
“Iya, Mas. Makasih, Mas,” ucapku menerima surat izin dari Mas Budi.
Lalu aku segera keluar ruangan kerja. Sampai pos satpam, aku langsung memberikan surat izin itu. Aku segera pulang. Tidak berobat seperti saran Mas Budi, karena obat sesaknya masih ada.
Sesampai di rumah mengucap salam dan segera memasukkan sepeda. Kakek, nenek, dan Toni sedang menonton televisi.
“Kok, udah pulang, Teh?” tanya Toni saat melihatku memasukkan sepeda.
“Iya, lagi kumat,” jawabku singkat.
“Oh. Fitri, mah, udah tidur, teh,” laporan Toni padaku.
Aku mengangguk lalu masuk kamar. Kulihat Fitri sudah terlelap. Tapi tak melihat A’ Asep. Di mana dia? Apa ke rumah pacarnya itu untuk memutuskannya? Entah.
Aku segera mengganti seragam kerja dengan baju tidur. Lalu melaksanakan salat Isya. Setelah itu merebahkan tubuh di sebelah Fitri. Aku pun terlelap.
Saat terdengar pintu kamar dibuka, mataku pun terbuka. Kulihat A’ Asep masuk kamar dan mendekatiku.
“Dari mana?” tanyaku lirih. Melihat jam dinding menunjuk pukul 23.00.
Namun ia tak menjawab.
“Dari rumah pacar, ya? Udah diputusin belum?” tanyaku penasaran.
Lagi, ia tak menjawab malah meminta jatah malamnya. Aku mencoba menolak, dengan alasan sedang sakit.
“Katanya tadi udah sembuh?” protesnya.
“Kalau sembuh aku nggak pulang jam delapan. Tadi disuruh pulang jam delapan, ternyata di rumah Abi nggak ada,” kilahku kesal. “Cepat katakan, Abi habis dari rumah Si Sri, kan?”
“Iya,” jawabnya jujur.
“Udah diputusin?”
“Belum,” jawabnya menyakitkan.
“Kenapa belum? Katanya mau diputusin?” tanyaku dengan suara mulai serak.
“Besok, lah,” jawabnya menyepelekan.
Tangisku pecah.
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.