KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bukan Jodoh Selamanya

    Bukan Jodoh Selamanya

    BY 29 Des 2022 Dilihat: 153 kali

    Oleh: Tri Lestari

    Tragedi Hari Minggu


    Minggu pagi yang cerah. Aku pulang dari bekerja shift dua jam 07.00. Sesampai di rumah aku mendapati A’ Asep sudah mandi dan berdandan rapi. Begitu pun Fitri sudah dimandikan dan sudah didandani. “Tumben,” batinku. 


    Aku masuk kamar melepas kaus kaki dan hijabku, hendak ke kamar mandi. 


    “Mi, minta uang dua puluh ribu,” ucap A’ Asep tiba-tiba. 


    “Buat apa uang sebanyak itu?” tanyaku. Ya, kala itu gajiku kalau lembur jam tujuh-tujuh masih Rp 100.000. Berarti kalau ia minta Rp 20.000, artinya seperlima dari gajiku. 


    “Ya, pokoknya minta, lah.” A’ Asep tak mau menjelaskan. 


    Aku pun tak bisa menolak dan memberikan uang sebanyak yang dimintanya. Setelah itu ia pergi bersama Fitri dengan mengendarai sepeda Feder*lnya.


    “Iya, sana ajak anaknya main,” gumamku. 


    Setelah itu melanjutkan kegiatanku. Setelah membersihkan badan ke kamar mandi, aku merendam pakaian. Mencucinya nanti saja kalau sudah bangun tidur. 


    Setelah itu aku memasak. Selesai memasak menawari nenek dan kakek makan. Kebetulan kakek baru pulang dari pasar. Sudah menjadi kebiasaan bagi kakek setiap hari Minggu ia pergi ke pasar untuk berbelanja. 


    Biasanya ia membeli ayam, ikan asin kesukaannya, serta sayur-mayur. Nenek lah nanti yang memasak bahan-bahan itu. Mungkin cukup untuk beberapa hari. 


    Nenek sering juga membagi masakannya denganku. Kalau ia selesai masak, ia selalu menyuruhku makan. Begitulah nenek A’ Asep dan kakeknya begitu baik kepadaku. Mereka juga sangat menyayangi Fitri. 


    Kalau kakek sedang libur kerja, ia sering mengajak Fitri bermain. Terkadang diajak jajan di tempat tontonan. Biasanya setiap hari Minggu ada saja tetangga yang hajatan. Di tempat hajat sering ada tontonan, seperti dangdut, Si Tolay–kesenian Sunda–, wayang golek, dan banyak lagi tontonan yang lainnya. 


    Di tempat tontonan itu lah banyak pedagang makanan dan mainan. Biasanya kakek membelikan makanan kesukaan Fitri yaitu cilok. Terkadang juga memebelikan mainan. 


    Aku bersyukur walau tinggal dengan kakek dan nenek dari suami, tetapi mereka sangat baik walau A’ Asep sendiri masih belum punya rasa tanggung jawab terhadap keluarganya. 


    “Tadi udah makan nasi uduk,” Jawab nenek saat kutawari makan kemudian ia langsung membenahi barang belanjaan kakek. 


    “Engkong juga sudah sarapan tadi di pasar, Ria” jawab kakek. Ia langsung ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Setelah itu merebahkan tubuh rentanya di lantai beralaskan tikar. Mungkin ia lelah pulang dari pasar, ingin istirahat. 


    Aku makan sendiri karena Fitri tidak ada. Selesai makan aku masuk kamar hendak tidur. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Mendengar suara A’ Asep dan Fitri sudah pulang. “Dari mana mereka,” tanyaku dalam hati. 


    A’ Asep masuk kamar saat aku sedang menyisir rambut. Lalu ia berdiri di belakangku yang sedang bercermin. Aku membalikkan badan. 


    Ia mengukur tinggi badanku, sambil cengar-cengir, membandingkan dengan tinggi badan dia yang ternyata tinggi badanku  hanya sepundaknya lebih sedikit. 


    “Ternyata tingginya hampir sama,” ucap A’ Asep masih dengan expresi cengar-cengir. 


    “Apa maksudnya?” tanyaku bingung. 


    “Tinggi badan Umi hampir sama dengan dia,” jawabnya. 


    “Dia siapa? Si Sri?” tanyaku penuh selidik. 


    “Iya,” jawabnya polos. 


    “Oh, jadi Abi barusan dari rumah Si Sri, ya? Katanya udah putus, kok, masih kesana?” tanyaku kesal. 


    “Baru semalam aku putusin dia. Baru semalam aku ceritain bahwa aku sudah punya anak dan istri. Terus dia nangis. Dia menyesal, kenapa baru sekarang bertemu denganku? Kenapa nggak dari dulu? Seandainya dari dulu mungkin udah bahagia denganku. Katanya, aku sangat dewasa, makanya dia suka banget denganku,” ucap A’ Asep jujur sekali tanpa tedeng aling-aling menceritakannya bahkan ada acara cium kening segala. 


    Kalau dia baru menceritakan tentang dia sebenarnya semalam, artinya selama ini mereka belum putus. Lantas surat putus yang diberikan A’ Asep padaku waktu itu sebenarnya untuk dan dari siapa? Apa A’ Asep menulis sendiri surat itu? Tapi dari tulisannya bukan tulisan A’ Asep. Ah, entahlah. Pusing. 


    “Barusan aku ke rumahnya lagi. Mengajaknya jalan-jalan ke Perum membelikan dia kaset pake uang dari umi tadi. Aku khawatir padanya, soalnya sepertinya dia stres banget semalam, makanya tadi aku ke rumahnya memastikan kalau dia baik-baik saja. Aku khawatir dia melakukan hal yang nekad, misalnya bunuh diri. Jika itu terjadi, tentu aku merasa bersalah,” sambungnya panjang lebar. 


    Apa? Dia membelikan kaset menggunakan uangku? Tega sekali! 


    Hatiku hancur lebur. Aku merasa tak berharga dihadapannya. Setiap hari aku bekerja demi keluarga, menjadi tulang punggung keluarga, tetapi semua itu tak dihargai oleh suami. Dia lebih menghargai dan memuja perempuan lain ketimbang aku istri yang selalu memasak, mencuci baju, dan melayaninya, serta menyediakan segala kebutuhan untuknya. Bolehkah aku bertanya, apakah kurangnya diri ini sehingga dia menghianati? 


    Lantas untuk apa pernikahan ini tetap dilanjutkan jika aku tak dianggapnya lagi? 


    Dengan suara serak karena tenggorokan mulai sakit, aku berkata, “Kalau begitu, lebih baik kita pisah saja. Silakan Abi dengan Si Sri saja.”


    “Pikiran kamu itu sama pendeknya dengan tubuh kamu!” ucapnya kasar sekali. Rupanya ia marah dengan ucapanku barusan sehingga menyebutku dengan ‘kamu’ bukan ‘umi’. 


    Hatiku serasa ditusuk-tusuk saat ia menghina keadaan fisikku. Tinggi badanku memang hanya 150 cm. Bukankah dia sudah tahu itu dari dulu? Akan tetapi, mengapa dulu dia mau menikahiku kalau akhirnya dia menghinaku? Ini lah jawaban pertanyaanku tadi, bahwa kekuranganku ada pada tinggi badan yang tidak ideal. 


    Namun, bukankah tak ada manusia yang sempurna? Lantas siapakah dia mengharapkan aku sempurna? Apakah dia sudah sempurna? 


    Dia memang tak pernah berkaca kepada diri sendiri. Aku selalu dituntut sempurna, sementara dia sendiri semaunya saja. Tetapi saat aku ingin berpisah, ia malah mencaciku. 


    Ya Allah berilah kekuatan pada hamba agar mampu menghadapi masalah ini dengan baik. Apakah aku salah jika aku ingin berpisah dengannya? Selama menikah dengannya aku merasa hidup sendiri. Menanggung beban hidup sendiri. 


    Setelah itu ia keluar kamar dengan membanting pintu dan entah pergi ke mana? Mungkin saja kembali ke tempat Si Sri lagi. 


    Tinggallah aku sendiri di kamar dengan derai air mata. Aku heran, terus maunya dia itu apa? Tetap bersamaku dan terus berpacaran dengan Sri? Enak sekali! 


    Kudengar pintu kamar dibuka. Ternyata Fitri. Melihatku menangis, ia langsung memelukku. Tak berani bertanya. Tetapi ia tampak turut bersedih. 


    Lalu kubaringkan tubuh di kasur. “Fitri mau ikut tidur sama Umi?” tanyaku masih sesenggukan. 


    “Enggak, Mi. Fitri mau main aja kedepan,” jawabnya. 


    “Ya udah. Main jangan nakal, ya,” pesanku. 


    “Iya, Mi,” ucap Fitri langsung keluar kamar. 


    Setelah Fitri keluar, kecoba memejamkan mata walau terasa sangat perih. Namun, sulit sekali untuk bisa terlelap. Bayangan mengenai A’ Asep dengan Si Sri berputar-putar di kepala. 


    Akhirnya aku hanya bisa gulang-guling di atas kasur. Miring ke sana salah. Miring ke sini salah. Telentang salah, tengkurap juga salah. 


    Ya Allah, aku harus bagaimana menghadapi ini semua? Bagaimana caranya jika aku ingin berpisah saja dengan A’ Asep? Kepada siapa aku harus mengadukan dan bertanya tentang jalan keluar terbaik untuk masalahku ini? 


    Bersambung.

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021