Tragedi Hari Minggu
Minggu pagi yang cerah. Aku pulang dari bekerja shift dua jam 07.00. Sesampai di rumah aku mendapati A’ Asep sudah mandi dan berdandan rapi. Begitu pun Fitri sudah dimandikan dan sudah didandani. “Tumben,” batinku.
Aku masuk kamar melepas kaus kaki dan hijabku, hendak ke kamar mandi.
“Mi, minta uang dua puluh ribu,” ucap A’ Asep tiba-tiba.
“Buat apa uang sebanyak itu?” tanyaku. Ya, kala itu gajiku kalau lembur jam tujuh-tujuh masih Rp 100.000. Berarti kalau ia minta Rp 20.000, artinya seperlima dari gajiku.
“Ya, pokoknya minta, lah.” A’ Asep tak mau menjelaskan.
Aku pun tak bisa menolak dan memberikan uang sebanyak yang dimintanya. Setelah itu ia pergi bersama Fitri dengan mengendarai sepeda Feder*lnya.
“Iya, sana ajak anaknya main,” gumamku.
Setelah itu melanjutkan kegiatanku. Setelah membersihkan badan ke kamar mandi, aku merendam pakaian. Mencucinya nanti saja kalau sudah bangun tidur.
Setelah itu aku memasak. Selesai memasak menawari nenek dan kakek makan. Kebetulan kakek baru pulang dari pasar. Sudah menjadi kebiasaan bagi kakek setiap hari Minggu ia pergi ke pasar untuk berbelanja.
Biasanya ia membeli ayam, ikan asin kesukaannya, serta sayur-mayur. Nenek lah nanti yang memasak bahan-bahan itu. Mungkin cukup untuk beberapa hari.
Nenek sering juga membagi masakannya denganku. Kalau ia selesai masak, ia selalu menyuruhku makan. Begitulah nenek A’ Asep dan kakeknya begitu baik kepadaku. Mereka juga sangat menyayangi Fitri.
Kalau kakek sedang libur kerja, ia sering mengajak Fitri bermain. Terkadang diajak jajan di tempat tontonan. Biasanya setiap hari Minggu ada saja tetangga yang hajatan. Di tempat hajat sering ada tontonan, seperti dangdut, Si Tolay–kesenian Sunda–, wayang golek, dan banyak lagi tontonan yang lainnya.
Di tempat tontonan itu lah banyak pedagang makanan dan mainan. Biasanya kakek membelikan makanan kesukaan Fitri yaitu cilok. Terkadang juga memebelikan mainan.
Aku bersyukur walau tinggal dengan kakek dan nenek dari suami, tetapi mereka sangat baik walau A’ Asep sendiri masih belum punya rasa tanggung jawab terhadap keluarganya.
“Tadi udah makan nasi uduk,” Jawab nenek saat kutawari makan kemudian ia langsung membenahi barang belanjaan kakek.
“Engkong juga sudah sarapan tadi di pasar, Ria” jawab kakek. Ia langsung ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Setelah itu merebahkan tubuh rentanya di lantai beralaskan tikar. Mungkin ia lelah pulang dari pasar, ingin istirahat.
Aku makan sendiri karena Fitri tidak ada. Selesai makan aku masuk kamar hendak tidur. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Mendengar suara A’ Asep dan Fitri sudah pulang. “Dari mana mereka,” tanyaku dalam hati.
A’ Asep masuk kamar saat aku sedang menyisir rambut. Lalu ia berdiri di belakangku yang sedang bercermin. Aku membalikkan badan.
Ia mengukur tinggi badanku, sambil cengar-cengir, membandingkan dengan tinggi badan dia yang ternyata tinggi badanku hanya sepundaknya lebih sedikit.
“Ternyata tingginya hampir sama,” ucap A’ Asep masih dengan expresi cengar-cengir.
“Apa maksudnya?” tanyaku bingung.
“Tinggi badan Umi hampir sama dengan dia,” jawabnya.
“Dia siapa? Si Sri?” tanyaku penuh selidik.
“Iya,” jawabnya polos.
“Oh, jadi Abi barusan dari rumah Si Sri, ya? Katanya udah putus, kok, masih kesana?” tanyaku kesal.
“Baru semalam aku putusin dia. Baru semalam aku ceritain bahwa aku sudah punya anak dan istri. Terus dia nangis. Dia menyesal, kenapa baru sekarang bertemu denganku? Kenapa nggak dari dulu? Seandainya dari dulu mungkin udah bahagia denganku. Katanya, aku sangat dewasa, makanya dia suka banget denganku,” ucap A’ Asep jujur sekali tanpa tedeng aling-aling menceritakannya bahkan ada acara cium kening segala.
Kalau dia baru menceritakan tentang dia sebenarnya semalam, artinya selama ini mereka belum putus. Lantas surat putus yang diberikan A’ Asep padaku waktu itu sebenarnya untuk dan dari siapa? Apa A’ Asep menulis sendiri surat itu? Tapi dari tulisannya bukan tulisan A’ Asep. Ah, entahlah. Pusing.
“Barusan aku ke rumahnya lagi. Mengajaknya jalan-jalan ke Perum membelikan dia kaset pake uang dari umi tadi. Aku khawatir padanya, soalnya sepertinya dia stres banget semalam, makanya tadi aku ke rumahnya memastikan kalau dia baik-baik saja. Aku khawatir dia melakukan hal yang nekad, misalnya bunuh diri. Jika itu terjadi, tentu aku merasa bersalah,” sambungnya panjang lebar.
Apa? Dia membelikan kaset menggunakan uangku? Tega sekali!
Hatiku hancur lebur. Aku merasa tak berharga dihadapannya. Setiap hari aku bekerja demi keluarga, menjadi tulang punggung keluarga, tetapi semua itu tak dihargai oleh suami. Dia lebih menghargai dan memuja perempuan lain ketimbang aku istri yang selalu memasak, mencuci baju, dan melayaninya, serta menyediakan segala kebutuhan untuknya. Bolehkah aku bertanya, apakah kurangnya diri ini sehingga dia menghianati?
Lantas untuk apa pernikahan ini tetap dilanjutkan jika aku tak dianggapnya lagi?
Dengan suara serak karena tenggorokan mulai sakit, aku berkata, “Kalau begitu, lebih baik kita pisah saja. Silakan Abi dengan Si Sri saja.”
“Pikiran kamu itu sama pendeknya dengan tubuh kamu!” ucapnya kasar sekali. Rupanya ia marah dengan ucapanku barusan sehingga menyebutku dengan ‘kamu’ bukan ‘umi’.
Hatiku serasa ditusuk-tusuk saat ia menghina keadaan fisikku. Tinggi badanku memang hanya 150 cm. Bukankah dia sudah tahu itu dari dulu? Akan tetapi, mengapa dulu dia mau menikahiku kalau akhirnya dia menghinaku? Ini lah jawaban pertanyaanku tadi, bahwa kekuranganku ada pada tinggi badan yang tidak ideal.
Namun, bukankah tak ada manusia yang sempurna? Lantas siapakah dia mengharapkan aku sempurna? Apakah dia sudah sempurna?
Dia memang tak pernah berkaca kepada diri sendiri. Aku selalu dituntut sempurna, sementara dia sendiri semaunya saja. Tetapi saat aku ingin berpisah, ia malah mencaciku.
Ya Allah berilah kekuatan pada hamba agar mampu menghadapi masalah ini dengan baik. Apakah aku salah jika aku ingin berpisah dengannya? Selama menikah dengannya aku merasa hidup sendiri. Menanggung beban hidup sendiri.
Setelah itu ia keluar kamar dengan membanting pintu dan entah pergi ke mana? Mungkin saja kembali ke tempat Si Sri lagi.
Tinggallah aku sendiri di kamar dengan derai air mata. Aku heran, terus maunya dia itu apa? Tetap bersamaku dan terus berpacaran dengan Sri? Enak sekali!
Kudengar pintu kamar dibuka. Ternyata Fitri. Melihatku menangis, ia langsung memelukku. Tak berani bertanya. Tetapi ia tampak turut bersedih.
Lalu kubaringkan tubuh di kasur. “Fitri mau ikut tidur sama Umi?” tanyaku masih sesenggukan.
“Enggak, Mi. Fitri mau main aja kedepan,” jawabnya.
“Ya udah. Main jangan nakal, ya,” pesanku.
“Iya, Mi,” ucap Fitri langsung keluar kamar.
Setelah Fitri keluar, kecoba memejamkan mata walau terasa sangat perih. Namun, sulit sekali untuk bisa terlelap. Bayangan mengenai A’ Asep dengan Si Sri berputar-putar di kepala.
Akhirnya aku hanya bisa gulang-guling di atas kasur. Miring ke sana salah. Miring ke sini salah. Telentang salah, tengkurap juga salah.
Ya Allah, aku harus bagaimana menghadapi ini semua? Bagaimana caranya jika aku ingin berpisah saja dengan A’ Asep? Kepada siapa aku harus mengadukan dan bertanya tentang jalan keluar terbaik untuk masalahku ini?
Bersambung.
Comment Closed: Bukan Jodoh Selamanya
Sorry, comment are closed for this post.