Di balik kabut tebal yang menyelimuti lembah-lembah tinggi Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Stevinus Jikwa. Ia adalah anak Suku Dani, yang sehari-harinya membantu orang tuanya berkebun ubi dan merawat babi, hewan yang dianggap berharga dalam adat mereka. Kehidupan Stevinus sederhana, jauh dari hingar-bingar dunia modern. Namun, di balik ketenangan lembah itu, ada sebuah cahaya masa depan yang perlahan mulai menyinari jalan hidupnya.
Suatu hari, empat orang misionari datang ke desanya. Mereka adalah Tenaga Sukarela Pengembangan Masyarakat (TSPM) dari sebuah denominasi gereja yang belum pernah ada di daerah itu. Kehadiran mereka seperti angin segar yang membawa perubahan. Mereka bukan hanya membawa pesan spiritual, tetapi juga pengetahuan baru yang sebelumnya tak terbayangkan oleh Stevinus dan warga desa. Keempat misionari itu—Yohanes, Maria, Andreas, dan Debora—dengan sabar belajar bahasa daerah dan adat istiadat setempat. Mereka sering bertanya kepada Stevinus, yang dengan antusias menjelaskan tentang kebiasaan dan tradisi Suku Dani. Sebaliknya, Stevinus pun mulai menyerap banyak hal baru dari mereka.
Di sekolah, keempat misionari itu menjadi guru Stevinus. Mereka mengajarkannya membaca, menulis, dan berhitung. Namun, yang paling menarik bagi Stevinus adalah cerita-cerita tentang dunia luar. Melalui foto dan gambar di buku-buku yang dibawa oleh para misionari, Stevinus melihat ada dunia yang sama sekali berbeda dari yang ia ketahui. Ada gedung-gedung tinggi, kendaraan yang melaju kencang, dan laut biru yang luas. Ia pun mulai bermimpi untuk melihat dunia itu sendiri.
Suatu hari, Yohanes dan Maria menawarkan sesuatu yang mengubah hidup Stevinus selamanya. Mereka mengajaknya ke kota, ke provinsi yang berbeda, untuk melanjutkan sekolah. Stevinus, yang belum pernah keluar dari lembah Gome, merasa campur aduk antara senang dan takut. Namun, tekadnya untuk belajar lebih besar daripada ketakutannya.
Perjalanan pertama Stevinus naik pesawat adalah pengalaman yang tak terlupakan. Saat pesawat lepas landas, ia memeluk erat tubuh Yohanes yang jauh lebih kecil dari perawakannya, matanya terpejam rapat. Suara mesin yang menderu dan sensasi tubuhnya terangkat membuat jantungnya berdebar kencang. Namun, begitu ia membuka mata dan melihat awan-awan putih di bawahnya, rasa takutnya berubah menjadi kekaguman. “Ini seperti mimpi,” bisiknya pada Maria, yang tersenyum melihat antusiasme Stevinus.
Sesampainya di kota, Stevinus seperti bayi yang baru lahir. Segalanya terasa baru dan menakjubkan. Ia melihat orang-orang dengan warna kulit, rambut, dan pakaian yang berbeda-beda. Bahkan, sepatu yang ia pakai terasa aneh di kakinya, karena selama ini ia hanya mengenal kaki telanjang. Makanan kota yang bercita rasa kompleks membuat perutnya bergejolak. Ia yang hanya terbiasa makan ubi dan sayuran, kini mencicipi ikan, daging, dan berbagai bumbu yang sebelumnya tak ia kenal.
Tantangan demi tantangan ia hadapi dengan semangat belajar yang tinggi. Stevinus bersekolah dengan tekun, meski awalnya ia merasa tertinggal dari teman-temannya yang sudah terbiasa dengan kehidupan kota. Namun, berkat dukungan Yohanes, Maria, dan teman-teman barunya, ia perlahan mengejar ketertinggalan. Ia belajar bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membawa cahaya baru bagi desanya.
Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, Stevinus akhirnya lulus dengan gelar Sarjana Pendidikan. Ia memutuskan untuk kembali ke lembah Gome, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Kini, ia menjadi guru yang sangat berdedikasi di desanya. Ia mengajar anak-anak dengan penuh semangat, membagikan pengetahuan yang ia dapat dari para misionari dan pengalamannya di kota.
Para misionari telah lama meninggalkan desa itu, tetapi warisan mereka tetap hidup dalam diri Stevinus. Apa yang mereka ajarkan—tentang pendidikan, harapan, dan pentingnya membuka diri terhadap dunia—telah tertanam subur dalam jiwa Stevinus. Ia menjadi cahaya baru bagi generasi penerus di lembah Gome, membawa harapan bahwa suatu hari nanti, anak-anak di desanya akan bisa meraih potensi terbaik mereka, seperti yang ia lakukan.
Dan di balik kabut lembah Gome, cahaya masa depan terus bersinar, menyinari jalan bagi generasi emas berikutnya.
Kreator : Vidya D’CharV (dr. Olvina ML.L. Pangemanan, M.K.M.)
Comment Closed: Cahaya dari Lembah Gome
Sorry, comment are closed for this post.