Hasan dan Fajar sudah bersahabat sejak awal masuk pesantren, saling mendukung, belajar, dan tumbuh bersama dalam suasana religius yang penuh kedamaian. Hasan adalah sosok yang pendiam dan bijaksana, sering merenung dan mempelajari kitab-kitab dengan penuh keseriusan. Sementara Fajar adalah kebalikannya; ia penuh semangat, ceria, dan selalu menjadi pusat perhatian di antara teman-teman.
Pesantren itu bukan hanya tempat mereka menuntut ilmu agama, tetapi juga tempat di mana mereka membangun kenangan dan ikatan yang erat. Hasan dan Fajar sering menghabiskan waktu belajar bersama di masjid pondok atau membantu Ustadz Ali, seorang Ustadz yang sangat mereka hormati. Kedekatan mereka membuat semua santri lain menganggap mereka seperti saudara.
Namun, ketika mereka menginjak tahun terakhir di pesantren, sebuah ujian yang tak terduga datang dalam bentuk seorang gadis bernama Nadira. Nadira adalah anak dari salah satu Ustadz terkenal di pondok itu, yang baru saja pindah dari kota lain. Ia menjadi pusat perhatian karena selain memiliki pengetahuan agama yang luas, ia juga ramah dan berwajah cantik. Banyak santri yang kagum padanya, termasuk Hasan dan Fajar. Meskipun peraturan di pondok pesantren melarang santri untuk berinteraksi dengan santriwati di luar jam pelajaran, kehadiran Nadira menjadi hal yang sulit untuk diabaikan.
Fajar, dengan keberaniannya yang biasa, adalah yang pertama menunjukkan ketertarikannya. Ia selalu berusaha menyapa Nadira dengan santai setiap kali ada kesempatan, entah di perpustakaan atau di halaman pondok. Nadira, yang memang ramah, sering membalas sapaan Fajar dengan senyum hangat. Sementara itu, Hasan, yang lebih pendiam, hanya mengamati dari kejauhan. Namun, diam-diam, ia juga merasakan getaran yang sama setiap kali melihat Nadira.
Pada suatu hari, saat mereka berdua sedang duduk di bawah pohon di halaman pesantren, Fajar bercerita dengan semangat.
“San, kamu tahu nggak? Aku rasa aku suka sama Nadira. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku pengen coba deketin dia setelah kita lulus nanti. Doain aku, ya!”
Hasan tersenyum tipis, tapi hatinya seolah terasa berat. Ia tidak bisa mengelak dari perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya terhadap Nadira, tapi ia juga tidak ingin menyakiti sahabatnya.
“Iya, aku doain, Jar. Semoga semua lancar,” jawab Hasan sambil menundukkan kepala, menyembunyikan rasa galau di dalam hatinya.
Sejak saat itu, hubungan mereka tidak lagi sama. Hasan semakin banyak menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan, sementara Fajar makin sering mencari cara untuk berada di dekat Nadira. Meski peraturan pondok ketat, Fajar selalu menemukan celah untuk bertemu Nadira dalam kegiatan-kegiatan pesantren, seperti kajian bersama atau diskusi kitab. Setiap kali Hasan melihat mereka berdua berbicara dan tertawa, ada rasa cemburu yang tak bisa ia hindari, tetapi ia tetap menahan perasaannya demi persahabatan.
Suatu hari, Hasan tidak bisa lagi menahan gejolak hatinya. Ia menemui Nadira di halaman belakang pesantren, tempat yang sepi dan jarang dilalui orang. Hasan mengungkapkan perasaannya dengan jujur, mengatakan bahwa ia menyukai Nadira dan sudah lama menahan perasaan itu karena sahabatnya, Fajar. Namun, apa yang terjadi justru menjadi titik balik bagi persahabatan mereka.
Nadira, dengan lembut, mengatakan bahwa ia menghargai perasaan Hasan, tetapi ia tidak bisa membalasnya.
“Aku… aku juga menyukai Fajar,” ucap Nadira pelan.
Kata-kata itu menusuk hati Hasan. Ia tersenyum pahit dan hanya mengangguk, berusaha menerima kenyataan.
Namun, kisah itu tidak berhenti di situ. Tanpa sepengetahuan Hasan, Nadira menceritakan pertemuan mereka kepada Fajar. Ketika Fajar mengetahui bahwa Hasan juga menyukai Nadira, ia merasa dikhianati. Malam itu, Fajar mendatangi Hasan dengan amarah yang membara.
“San, aku nggak nyangka kamu tega. Kamu tahu aku suka Nadira, tapi kamu malah coba ngedeketin dia di belakangku?”
Hasan mencoba menjelaskan bahwa ia tidak pernah bermaksud mengkhianati sahabatnya.
“Jar, aku hanya ingin jujur tentang perasaanku, dan aku juga tahu Nadira memilih kamu,” ucapnya dengan lirih.
Namun, bagi Fajar, rasa sakit itu terlalu dalam. Persahabatan mereka, yang sudah terjalin bertahun-tahun, seolah retak hanya karena perasaan pada satu gadis. Sejak saat itu, mereka berhenti berbicara satu sama lain. Hasan tenggelam dalam kesedihannya, sementara Fajar semakin sering menghabiskan waktu sendiri.
Setelah lulus dari pondok pesantren, keduanya memilih jalan masing-masing. Fajar melanjutkan studi ke sebuah universitas Islam di Yogyakarta, sementara Hasan memilih kuliah di Jakarta. Meski berjauhan, luka di hati mereka masih terasa. Bertahun-tahun berlalu, mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing, namun rasa penyesalan itu selalu menghantui.
Suatu hari, di tahun ketiga perkuliahan mereka, Hasan menghadiri sebuah seminar di Jakarta tentang dakwah dan pendidikan. Di tengah kerumunan, ia tak sengaja bertemu Fajar. Ada keheningan yang canggung saat pandangan mereka bertemu, seolah kenangan masa lalu kembali membanjiri pikiran keduanya. Namun, Fajar yang pertama kali memecah keheningan.
“San, apa kabar? Sudah lama ya, kita nggak ketemu.”
Hasan tersenyum tipis.
“Iya, lama sekali. Aku baik, bagaimana denganmu?”
Fajar menghela napas, kemudian berkata.
“San, aku minta maaf. Aku sudah lama menyesal karena bersikap seperti itu. Harusnya aku lebih paham, perasaan itu hal yang wajar. Aku nggak seharusnya marah padamu.”
Mendengar itu, Hasan merasa beban di hatinya terangkat.
“Aku juga minta maaf, Jar. Harusnya aku jujur sejak awal dan nggak sembunyi-sembunyi. Aku menyesal kita harus terpisah karena hal sepele seperti ini.”
Keduanya berpelukan, menghapus jarak dan sakit hati yang selama ini memisahkan mereka. Hasan dan Fajar menyadari bahwa persahabatan mereka jauh lebih berharga daripada sebuah perasaan sesaat. Mereka berbincang panjang lebar malam itu, mengenang masa-masa di pesantren dan saling bertukar cerita tentang pengalaman kuliah.
Meskipun Nadira kini hanya menjadi bagian dari masa lalu mereka, pertemuan itu menjadi awal yang baru bagi persahabatan mereka. Mereka sepakat untuk kembali saling mendukung, seperti dulu. Hasan dan Fajar membuktikan bahwa dalam hidup, meskipun cinta bisa melukai, persahabatan sejati akan selalu menemukan jalan untuk kembali.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Cahaya di Ujung Jalan Persahabatan
Sorry, comment are closed for this post.