Langkahku pergi meninggalkanmu….
Berawal dari hari itu yang ternyata menjadi penentu mimpi buruk akan benar terjadi atau tidak. Hari dimana muncul pesan di gawaiku untuk memintaku datang menemani makan malam setelah kehilangan selera makan akibat sakit beberapa hari sebelumnya. Aku datang dengan segenap hati membuka pintu yang sudah lama tertutup. Angan bertemu seseorang yang harapanku menjadi mata air di tengah sahara.
Tawaran menikah dan tinggal di apartemen dengan fasilitasnya, perlakuan yang meratukan, perhatian yang bak segelas minuman yang membasahi tenggorokan saat kehausan. Aku bahkan tidak berani bermimpi diperlakukan seperti itu karena aku tahu siapa aku. Aku bertanya apakah ini takdirku bertemu seseorang yang selama ini kutunggu yang bisa meratukan pasangannya?
Karena harapan terlalu tinggi inilah awal mula mimpi buruk itu berawal. Inilah kesalahanku sebagai seorang manusia yang terlalu berharap selain-Nya. Terlalu menaruh harapan besar akan kebahagian yang abadi bersamanya. Terlalu menaruh cinta seutuhnya, sedangkan dia hanya manusia biasa. Cinta dan harapan yang seharusnya terbesar disandarkan pada Sang Pemilik hati ini. Allah itu Maha Pencemburu, Karena cintaNya lah aku harus melepaskan dan meninggalkan dia.
Allah tiada henti mencintaiku. Dengan cara-Nya, Dia menunjukkan kuasa-Nya karena terlalu cinta kepada hamba-Nya. Ya, dengan cara-Nya, meskipun di awal aku merasa kenapa harus jatuh lagi dan lagi. Namun, perlahan Allah menunjukkan maksud semua yang telah terjadi bukan sebuah hukuman namun bentuk cintaNya. Allah menyelamatkanku dari seorang yang mempunyai karakteristik penyandang gangguan kejiwaan, NPD.
Aku terjatuh sejatuh-jatuhnya hingga aku kehilangan gairah hidup, semangat bekerja dan berkarya, anti sosial dan mengalami ketakutan jika bertemu dengan orang lain. Gangguan tidur yang kualami selama berbulan-bulan. Kehilangan fokus dan mengembalikannya menjadi normal tidak lah mudah. Kapan dan dimana saja, aku bisa menangis tersedu-sedu. Tidak peduli di stasiun, didalam kereta atau bahkan di tempat umum lainnya.
Di awal masa pernikahan sudah ada firasat buruk namun terlalu menaruh harapan yang terlalu tinggi bahwa dialah satu-satunya orang yang akan menemaniku hingga ajal memisahkan. Seseorang yang bisa memberikan kebahagian sehingga rasa penolakan terhadap firasat-firasat itu yang membuatku tidak lagi peka atas apa yang akan terjadi dan hal baik apa yang bisa aku lakukan untuk menghindari ini semua. Bodohnya aku yang tidak peka ini akhirnya aku mempertaruhkan banyak hal. Kehilangan banyak materi, rasa sakit yang terlalu dalam karena kebohongan-kebohongannya, mengalami trauma yang membuat kesehatan mentalku terganggu.
Dia yang kuharapkan menjadi obat setelah rasa sakit nyatanya dia juga yang membuatku jatuh berkeping-keping. Sudah menjadi kepingan pun masih tidak puas untuk terus menarikku dalam lingkaran permainannya sampai rasa itu mati dan tak bersisa. Bahkan mengingatnya pun aku sudah terlalu jijik. Sebegitu brengsek-nya perlakuannya tanpa ada hati nurani lagi. Walaupun aku berkali-kali menjelaskan sedang dalam proses pemulihan mental, tapi terornya terus saja muncul.
Bersyukurnya pernikahan tanpa legalitas dan aku tidak sedang hamil sehingga langkahku pergi pun tidak sesulit jika itu semua terjadi. Di awal perkenalan dan di minggu-minggu pertama masih tak ku pedulikan tentang nafkah materi karena menurutku semua tercukupi dan akupun masih bekerja. Namun kebohongan-kebohongan itu mulai muncul ketika pernikahan sudah menginjak hampir satu bulan. Tidak ada nafkah lahir dan batin sampai berangsur kaki ini menjauh pergi.
Dia berangkat kerja setiap hari, memakai seragamnya dan identitas bekerjanya. Dia pun mempunyai usaha sampingan yang sangat menyita keuangannya untuk modal. Apartemen yang dimilikinya tidak hanya satu, namun 10 unit di gedung yang sama. Apartemen penthouse di salah satu area kalangan atas di Jakarta Utara, rumah di beberapa kota lainnya. Beberapa mobil mewah, tanah yang luas, deposito puluhan milyar dan rumah yang tersebar di beberapa kota besar.
Namun, aku seorang wanita yang tidak tergiur dengan cerita-cerita itu. Aku takut jika ini hanyalah mimpi belaka. Yang aku inginkan hanyalah mempunyai keluarga sederhana namun berkecukupan. Hidup bersama keluarga dan bermanfaat untuk orang lain. Sesederhana itu yang kuminta. Dia mengutarakan pada ibuku saat melakukan pernikahan secara agama kala itu, jika tujuan utamanya mencari pendamping adalah untuk mencari pewaris semua harta-hartanya.
Menginjak bulan kedua usia pernikahanku, aku bukan tidak mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi, namun selalu pembicaraan yang berawal biasa saja menjadi pemicu kemarahannya dan sumpah serapah termasuk menyuruhku untuk pergi ke rumahku sendiri. Hal ini terjadi berulang kali sampai akhirnya aku pun sudah pergi saat ini dan selamanya.
Terdampar di salah satu kota di Jawa Tengah selama hampir dua bulan menjadi petaka tersendiri bagiku. Berpindah dari satu hotel ke hotel lainnya. Dari hotel yang kelas murah sampai kelas mahal. Bukan karena untuk bulan madu atau ada pekerjaan namun memang kesengajaan yang tidak aku pahami maksudnya. Aku hanya disuruh menunggu dengan janji setelah menyelesaikan urusan-urusannya yang menurutku sangat mencurigakan. Seperti biasa pertanyaan biasa menjadi bumerang bagiku. Semua hal yang mestinya salahnya bisa diputar menjadi kesalahanku. Ini salah satu permainannya. Sepertinya muncul kebahagiaan tersendiri jika korbannya terintimidasi karena ulahnya namun malah seakan dialah yang menjadi korban.
Di minggu-minggu pertama usia pernikahan, aku selalu bermimpi buruk. Seakan itu firasat yang seharusnya menjadi pengingatku untuk lebih hati-hati dan segera mengambil tindakan jika sudah terlihat hal-hal yang patut dicurigai. Seperti aku pernah bermimpi jika dia pergi tiba-tiba dari apartemen itu tanpa kabar apapun dan ketika terbangun memang aku coba membuka semua lemari yang tidak satupun aku temukan dokumen-dokumennya. Konon katanya, semua dokumennya ada di apartemen penthouse yang ada di salah satu kawasan bergengsi di bilangan Jakarta Utara. Mimpi yang kedua ketika aku berada di salah satu hotel di Jawa Tengah, mimpiku itu memperlihatkan jika dia mempunyai seorang wanita yang sedang hamil besar. Sosoknya di mimpiku seorang yang pasrah akan nasibnya yang tidak pernah sekalipun ditengok ataupun diberi nafkah.
Karena tekadku untuk mempertahankan pernikahanku yang kedua ini, aku berusaha keras untuk tetap percaya dan mendukungnya, termasuk akhirnya aku harus berhutang. Sebagai istri yang melihat suaminya sedang berjuang untuk usahanya pasti akan mendukung semaksimal mungkin. Namun hal ini menjadi petaka berikutnya dan terbesar bagiku. Hutang satu ditutup hutang lainnya sampai akhirnya hutang semakin menumpuk dan aku sendiri kewalahan untuk menghadapi para debt collector.
Lantas, kemana gajinya, kemana hartanya yang banyak itu? Apakah tidak bisa dijual untuk menutupi semua hutang-hutang ini. Dalam hatiku selalu bergejolak untuk tentang dua hal itu. Jika aku sampaikan lantas amarah dan cacian kudapat bukan penyelesain. Sampai aku di titik merasakan konflik batin antara mencari jawabannya sendiri atau aku terima saja ketidaknyamanan ini. Selama tinggal di hotel hampir dua bulan itu, aku harus berjuang sendiri mencari bagaimana caranya agar setiap paginya bisa membayar untuk penambahan tinggal di sana.
Dalam kurun waktu itu, aku tinggal sendiri sudah tidak seperti layaknya hubungan pernikahan yang sehat. Hanya bertemu sekali sehari sebelum makan siang. Tidak ada obrolan masa depan yang jelas, hanya obrolan janji-janji mengurus ini itu. Sudah seperti burung dalam sangkar, aku tidak berdaya karena uang dan juga mobilku yang selalu dia pakai. Selama itu pula tidak pernah melihat kulihat mobilku lagi. Dia beralasan mobilku dititipkan ke salah satu pondok pesantren dan motornya sebagai gantinya dia pinjam untuk keseharian.
Singkat cerita, aku sudah tak tahan dengan situasi yang terjadi. Desakan dari debt collector, kata-kata culas dan menekan selalu aku dengar sudah hampir dua bulan. Karena aku sudah mulai terseok-seok mencicil dari uang tabungan dan gajiku. Hingga puncaknya aku mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi, apa yang dia tunggu-tunggu di kota itu sehingga rencana yang dijanjikan pergi ke Amerika untuk mengunjungi kantornya yang di sana tak kunjung tiba. Tiap pagi selalu kabar penundaan yang kuterima sampai rasanya setiap malam datang muncul rasa ketakutan untuk menutup mata supaya waktu tidak berganti pagi karena di saat pagi itulah kabar penundaan dengan alasan apalagi yang akan aku dengar. Rasanya sudah tak sanggup mendengar kata penundaan.
Setelah menguatkan diri mencari tahu walau sebenarnya sudah ada jawaban dari firasat-firasat namun pencarianku ini hanyalah menguatkan tekadku untuk segera mengakhiri dan keluar dari permainannya. Kenyataan yang kutemukan persis dengan firasatku. Pekerjaan, usaha sampingan, apartemen, rumah, tanah, rencana pergi ke Amerika, pembelian tanah, memulai usaha ternak ayam, harta lainnya seperti deposito semuanya hanyalah imajinasi belaka.
Rasanya sakit melihat kenyataan pernikahanku harus kandas dan kepercayaanku dirusaknya. Aku terpaksa melarikan diri pulang ke rumahku diam-diam untuk menyelamatkan kehidupanku berikutnya. Kukubur dalam-dalam rasa malu yang luar biasa ini atas omongan orang-orang. Kondisiku sudah tidak ada uang kuceritakan ke ibuku. Bersyukurnya aku, Allah berikan jalan melalui tetanggaku. Melaluinya juga, aku pun bisa membayar sebagian besar hutangku yang di hari yang intimidasi dari debt collector sungguh luar biasa. Sebagian uang hasil meminjam ku gunakan untuk membayar uang sekolah anak-anakku. Sebelumnya, uang deposito untuk daftar sekolah dibawanya dengan alasan meminjam sebentar dengan janji dia yang akan mengurus semuanya.
Setelah kepulanganku itu, tidak ada kabar darinya beberapa waktu. Namun aku berdoa semoga dia diberi jalan untuk kembali mengingat Tuhannya. Masih berpikir akan ada kebaikan di hatinya walau sedikit. Aku meminta dia untuk memperbaiki hidupnya dan aku tidak akan menagih janjinya yang akan bertanggung jawab atas hutang-hutangnya termasuk apa yang dia ambil dari aku seperti perhiasan, mobil yang dia jual dan juga deposito semua hampir 700-an juta rupiah. Angka yang fantastis bagiku, seorang wanita yang harus membiayai ibu dan dua anakku.
Setelah hampir dua minggu, muncul kembali pesan di gawaiku. Dia mengaku mempunyai ibu angkat di Netherlands dan sudah meminta bantuannya untuk membayar hutang-hutangnya dengan syarat dia harus kembali menemani ibu angkatnya itu di sana. Entah apa yang merasukiku lagi atau masih berharap ada kebaikan di dirinya. Dengan kemasan ceritanya yang harus mengurus tiket dan dokumen keberangkatannya, kembali lagi aku ditipunya. Lagi-lagi aku harus menelan kebohongannya. Setelah belasan juta kembali melayang. Uang yang sebagian untuk keperluan anakku, ku korbankan untuknya dengan harapan dia segera berangkat sehingga dapat menepati janjinya untuk melunasi hutang-hutangnya. Hingga aku benar-benar menutup komunikasi dengannya karena sudah layaknya pengemis yang meminta-minta untuk dibantu seikhlasnya.
Kata-kata tidak ikhlas lagi untuk membantu itu yang terakhir aku kirim melalui gawaiku. Setelah satu bulan tetangga bercerita jika ada yang datang mencarinya yang mengaku istrinya. Luka yang terlalu dalam kembali terkoyak lagi. Tidak cukup satu wanita yang mencari, setelah beberapa bulan kemudian, ada panggilan di gawaiku yang mengaku pacarnya dan dalam proses pengurusan surat untuk pernikahan. Namun dia juga sudah dua minggu di gantung saja dan tinggal di hotel tanpa uang dan cerita imajinasinya pun sama dengan apa yang kurasakan.
Seakan luka yang hampir menutup ini tersayat-sayat pisau kembali. Aku kembali lagi kehilangan fokusku. Tiap malam tiada henti menangis. Sajadahku tempatku mengadu pada Allah. Penguatku adalah zikir dan doa-doa orang yang menyayangiku. Keluargaku, ibu dan anakku termasuk tetangga dan teman-temanku. Meskipun terseok-seok, aku berusaha bangkit sekuat tenaga. Allah menguatkanku melalui postingan-postingan di media sosial dari beberapa ustadz yang memberikan tausiyah jika luka ini adalah karena Allah sayang dan akan diberikan kebahagiaan setelahnya. Tugasku hanyalah menerima ujianku sebagai takdir jalaku dan menunggu waktu untuk bahagia. Tidak peduli siapa yang telah menyakitiku namun aku hanya fokus pada siapa yang bisa membersamaiku dalam kebahagian. Baik buruk semua datang dari Allah dan Allah pula yang akan menyelesaikan tiap lembar ujian itu.
Dengan tidak memberikan ruang komunikasi dan keluar dari permainan seorang penderita NPD adalah jalan yang terbaik yang sudah aku ambil untuk mengembalikan depresi dan trauma. Kini aku sudah mulai membaik dan terus membaik tanpamu, tanpa permainanmu dan jauh dari kehidupan toxic-mu.
Kreator : Utari Ningsih
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Candramawa
Sorry, comment are closed for this post.