Bab 1 Balada Patah Hati (1)
“Huaaa!”
Jeritan putus asa berusaha memecah suara ombak pantai Pecal, pagi minggu ini. Di dalam gazebo yang disediakan untuk pengunjung di salah satu pantai favorit di Kabupaten Ketapang ini, aku memperhatikan Bela sedang tersedu-sedu. Dia memeluk Mawar yang berusaha menenangkan. Menepuk-nepuk punggung itu tanpa mengatakan apapun.
Mawar menoleh padaku. Meminta pertolongan lewat lirikan mata.
Bingung, aku hanya bergeser mendekat pada mereka. Lalu, membantu Mawar menepuk-nepuk punggung Bela. Tindakan yang sukses membuat netra Mawar membola.
Aku meringis. Mengangkat kedua bahu sedikit tanda tak tahu menentukan sikap. Susah payah kupaksa diri menumbuhkan empati pada awan kelabu Bela, namun hampa. Kami seakan-akan berada di dimensi berbeda.
“Sembilan taon…,” gugunya menggunakan Bahasa Melayu Ketapang yang kental di sela tangis, meratapi sembilan tahun yang terbuang. “Jahatnye die!”
Kuratakan bibir, rapat, supaya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Khawatir malah menyiram air garam di atas luka. Sementara itu, tenggorokan terasa gatal ingin mengeluarkan petuah-petuah.
Aku menghibur diri dengan mengucapkan ‘tahan-tahan-tahan’, dalam hati. Sebelah tanganku masih menepuk punggung Bela. Sebelahnya menjadi sasaran empuk cubitan berbisa Mawar yang meradang dengan sikap engganku. Terlalu tidak tulus untuk sekelas orang yang dianggap ‘sahabat’.
Huh! Harus bagaimana? Aku tidak pernah mengalami hubungan percintaan. Apalagi pacaran selama hampir satu dekade.
Aku tidak tahu rasanya patah hati. Terlebih patah hati ditambah kecewa akibat diselingkuhi. Terutama, tidak juga memahami mengapa harus buang waktu bertahun-tahun menjalin ikatan haram dengan orang yang belum pasti jodoh tertulis di hidup ini? Bukankah jika takdir bersama pasti bertamu?
Hanya satu hal yang paling kusadari dengan pasti. Hari ini, aku harus membuang kesempatan berada di rumah yang jarang didapat demi memberi dukungan moral pada Bela. Padahal sebuah buku nonfiksi telah siap untuk dilahap sampai habis. Se ember cucian pun telah menunggu giliran digiling dalam mesin cuci.
“Sie-sie jak semue,” lirih Bela, pedih.
Pelukannya pada Mawar semakin erat. Mawar kewalahan tetapi berusaha menahan diri. Bisikan kata ‘sabar’ berkali-kali meluncur dari mulutnya. Sesekali ditambah kalimat ‘ini ujian’.
“Mengapa ini terjadi padaku, Ya Allah?”
Kugigit bagian dalam pipi kuat-kuat. Hampir saja kalimat, ‘Kamu nenye? Kamu bertenye-tenye?’, melompat keluar dengan sembrono. Bisa-bisa malah menambah drama pagi ini menjadi tiga babak.
Aku melirik Mawar. Dia menggeleng pelan dengan air muka waspada.
Aku meringis kecil. Mawar sangat mengerti tabiatku.
Mengantisipasi perang kata-kata, aku kembali mengatup bibir, rapat. Mulutku sudah gatal ingin menyerang dengan kalimat, ‘Waktu milih pacaran emang kamu nanya sama Allah boleh apa enggak? Kenapa sekarang malah nyalahin Allah seolah-olah nggak adil bikin kamu menderita? Bukannya kamu sendiri memilih penderitaan itu dari awal?’.
“Pasti ada hikmahnya, Bel,” kataku menggunakan bahasa ibu yang sama setelah berhasil mengendalikan diri. “Mungkin Allah pengen kamu belajar dari masalah ini.”
“Kamu pikir ini sekolah?” sewot Bela setelah menarik air hidungnya.
Aku menghela nafas pelan. Iya Bel, dunia ini sekolah kehidupan. Sayangnya kamu belum sadar.
“Trus…” Ucapan Bela terputus karena kembali menarik air hidung. “Patah hatiku ini ujiannya, begituk?”
Menurutku bukan Bel, ini teguran dari Allah. Ujian itu untuk umat yang beriman, bertakwa, dan beramal solih.
“Mengapa sekarang?” tanyanya meninggi, mulai meracau. “Mengapa ketika kami udah sepakat untuk nikah?”
“Untung berarti, Bel, Allah nunjukin buroknya Fendi sebelum kalian nikah.” Jawaban yang sukses membuat Bela melotot marah dan Mawar melotot panik.
Aku tersadar, segera merapatkan mulut lagi. Mengukung ego diri yang ingin menggurui orang lain.
“Maksud Vista, berarti Allah sayang ama kamu, Bel.” Mawar berusaha menengahi.
Aku mengangguk-angguk, membenarkan. Maksudku baik meski terdengar kasar. Hanya kalimatnya saja belum lengkap.
“Kamu harus kuat, Bel,” lanjut Mawar yang lagi-lagi membuatku mengangguk setuju. “Kalau kamu sengsare gini, dia ntar kesenangan merasa paling dicintai sejagat raya.”
Omongan Mawar tidaklah salah. Aku otomatis kembali mengangguk.
“Ayo make over, Bel. Tunjukin kalau kamu kuat.”
Aku terus mengangguk. Cara terhebat membalas luka dari orang lain adalah berubah menjadi lebih baik dan bahagia.
“Abis itu cari cowok baru. Kasih tau kalo cowok tuh banyak, nggak cuma dia doang!”
Ehhh!?
Cepat aku menoleh pada Mawar. Senyumnya sinis laksana iblis yang hendak menjalankan rencana jahat. Seketika aku merasa masalah ini akan semakin rumit.
Astagfirullah!
***
Kreator : Mutiah Rahadi
Comment Closed: Caper Goal Vista Bab 1
Sorry, comment are closed for this post.