KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Caper Goal Vista Bab 1

    Caper Goal Vista Bab 1

    BY 26 Okt 2024 Dilihat: 233 kali
    Balada Patah Hati_alineaku

    Bab 1 Balada Patah Hati (1)

    “Huaaa!”

    Jeritan putus asa berusaha memecah suara ombak pantai Pecal, pagi minggu ini. Di dalam gazebo yang disediakan untuk pengunjung di salah satu pantai favorit di Kabupaten Ketapang ini, aku memperhatikan Bela sedang tersedu-sedu. Dia memeluk Mawar yang berusaha menenangkan. Menepuk-nepuk punggung itu tanpa mengatakan apapun.

    Mawar menoleh padaku. Meminta pertolongan lewat lirikan mata. 

    Bingung, aku hanya bergeser mendekat pada mereka. Lalu, membantu Mawar menepuk-nepuk punggung Bela. Tindakan yang sukses membuat netra Mawar membola.

    Aku meringis. Mengangkat kedua bahu sedikit tanda tak tahu menentukan sikap. Susah payah kupaksa diri menumbuhkan empati pada awan kelabu Bela, namun hampa. Kami seakan-akan berada di dimensi berbeda.

    “Sembilan taon…,” gugunya menggunakan Bahasa Melayu Ketapang yang kental di sela tangis, meratapi sembilan tahun yang terbuang. “Jahatnye die!”

    Kuratakan bibir, rapat, supaya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Khawatir malah menyiram air garam di atas luka. Sementara itu, tenggorokan terasa gatal ingin mengeluarkan petuah-petuah.

    Aku menghibur diri dengan mengucapkan ‘tahan-tahan-tahan’, dalam hati. Sebelah tanganku masih menepuk punggung Bela. Sebelahnya menjadi sasaran empuk cubitan berbisa Mawar yang meradang dengan sikap engganku. Terlalu tidak tulus untuk sekelas orang yang dianggap ‘sahabat’.

    Huh! Harus bagaimana? Aku tidak pernah mengalami hubungan percintaan. Apalagi pacaran selama hampir satu dekade. 

    Aku tidak tahu rasanya patah hati. Terlebih patah hati ditambah kecewa akibat diselingkuhi. Terutama, tidak juga memahami mengapa harus buang waktu bertahun-tahun menjalin ikatan haram dengan orang yang belum pasti jodoh tertulis di hidup ini? Bukankah jika takdir bersama pasti bertamu?

    Hanya satu hal yang paling kusadari dengan pasti. Hari ini, aku harus membuang kesempatan berada di rumah yang jarang didapat demi memberi dukungan moral pada Bela. Padahal sebuah buku nonfiksi telah siap untuk dilahap sampai habis. Se ember cucian pun telah menunggu giliran digiling dalam mesin cuci.

    “Sie-sie jak semue,” lirih Bela, pedih. 

    Pelukannya pada Mawar semakin erat. Mawar kewalahan tetapi berusaha menahan diri. Bisikan kata ‘sabar’ berkali-kali meluncur dari mulutnya. Sesekali ditambah kalimat ‘ini ujian’.

    “Mengapa ini terjadi padaku, Ya Allah?”

    Kugigit bagian dalam pipi kuat-kuat. Hampir saja kalimat, ‘Kamu nenye? Kamu bertenye-tenye?’, melompat keluar dengan sembrono. Bisa-bisa malah menambah drama pagi ini menjadi tiga babak.

    Aku melirik Mawar. Dia menggeleng pelan dengan air muka waspada.

    Aku meringis kecil. Mawar sangat mengerti tabiatku.

    Mengantisipasi perang kata-kata, aku kembali mengatup bibir, rapat. Mulutku sudah gatal ingin menyerang dengan kalimat, ‘Waktu milih pacaran emang kamu nanya sama Allah boleh apa enggak? Kenapa sekarang malah nyalahin Allah seolah-olah nggak adil bikin kamu menderita? Bukannya kamu sendiri memilih penderitaan itu dari awal?’.

    “Pasti ada hikmahnya, Bel,” kataku menggunakan bahasa ibu yang sama setelah berhasil mengendalikan diri. “Mungkin Allah pengen kamu belajar dari masalah ini.”

    “Kamu pikir ini sekolah?” sewot Bela setelah menarik air hidungnya. 

    Aku menghela nafas pelan. Iya Bel, dunia ini sekolah kehidupan. Sayangnya kamu belum sadar.

    “Trus…” Ucapan Bela terputus karena kembali menarik air hidung. “Patah hatiku ini ujiannya, begituk?” 

    Menurutku bukan Bel, ini teguran dari Allah. Ujian itu untuk umat yang beriman, bertakwa, dan beramal solih.

    “Mengapa sekarang?” tanyanya meninggi, mulai meracau. “Mengapa ketika kami udah sepakat untuk nikah?”

    “Untung berarti, Bel, Allah nunjukin buroknya Fendi sebelum kalian nikah.” Jawaban yang sukses membuat Bela melotot marah dan Mawar melotot panik.

    Aku tersadar, segera merapatkan mulut lagi. Mengukung ego diri yang ingin menggurui orang lain.

    “Maksud Vista, berarti Allah sayang ama kamu, Bel.” Mawar berusaha menengahi.

    Aku mengangguk-angguk, membenarkan. Maksudku baik meski terdengar kasar. Hanya kalimatnya saja belum lengkap.

    “Kamu harus kuat, Bel,” lanjut Mawar yang lagi-lagi membuatku mengangguk setuju. “Kalau kamu sengsare gini, dia ntar kesenangan merasa paling dicintai sejagat raya.”

    Omongan Mawar tidaklah salah. Aku otomatis kembali mengangguk.

    “Ayo make over, Bel. Tunjukin kalau kamu kuat.”

    Aku terus mengangguk. Cara terhebat membalas luka dari orang lain adalah berubah menjadi lebih baik dan bahagia.

    “Abis itu cari cowok baru. Kasih tau kalo cowok tuh banyak, nggak cuma dia doang!”

    Ehhh!?

    Cepat aku menoleh pada Mawar. Senyumnya sinis laksana iblis yang hendak menjalankan rencana jahat. Seketika aku merasa masalah ini akan semakin rumit.

     Astagfirullah!

    ***

     

     

    Kreator : Mutiah Rahadi

    Bagikan ke

    Comment Closed: Caper Goal Vista Bab 1

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021