Ku Tengok kanan kiri mencari keberadaan anakku, kok tidak ada
“Kemana anak Muid” batinku. Lagi lagi aku clingak clinguk hati mulai resah, mencari keberadaan anakku. Kemudian melempar jauh pandanganku sampai kedepan, kemudian berbalik pandangan ke belakang. Kusapu pandanganku ke semua sela2 hadirin yg berjubel.
Tak kutemukan sosok anak kecil berbaju biru kotak2 dan celana hitam.
“Muid, dimana kau Nak” aku baru menyadari Muid anakku tidak ada didekatku.
Aku langsung lompat keluar dari rombongan .
“Mbak aku keluar dulu mencari anakku”pamitku pada ketua rombongan , tidak peduli lagi entah jawaban apa yang dilontarkan padaku.Langkahku sudah terlanjur melesat ,tujuan utamaku adalah tukang balon yang ditarik anakku waktu Muid merengek minta balon.
Kuterobos lautan manusia yang berjubel, tak peduli laki2, Ibu2 atau anak2 . Tujuanku hanya satu ,menemukan anakku dengan selamat.
“Pak tadi ada anak kecil minta balon?” tanyaku sesampainya aku di depan tukang balon.
“Tidak Bu”jawab tukang balon. Mak blem, hatiku rasanya mau mencelos.
“Ya sudah, nanti kalau ada anak kecil memakai kemeja warna biru kotak2 dan celana hitam. Nanti kalau minta balon , tolong dikasih ya Pak, dan lagi agar anaknya ditahan, biarkan bersama Bapak, saya nanti kesini lagi” pesanku panjang lebar.
“Iya Bu”
Aku masih terus berlari menerobos lautan manusia,tak peduli banyak mulut yang membentak mungkin karena terinjak, marah bahkan mungkin sumpah serapah .
“Maaf Bu, Pak” hanya kalimat itu yang kuberikan , sebaiknya orang tersebut kutinggal begitu saja.
Alon2 yang sangat luas, kukelilingi dengan cara berlari sambil pandangan menyusuri, berharap mata ini ketemu anak kecil berbaju biru kotak2. Namun sia2.
“Ya Allah, dimana kau anakku” bibir ini tak pernah kering oleh sholawat. Badan mulai lelah , nafas terengah engah,kaki mulai kaku terlalu capek.
Ku Berhenti sejenak, ku selonjorkan kaki,sedikit kulakukan peregangan , sambil memohon. Air mata ini tak bisa dibendung, menetes deras namun cepat kubersihkan agar tak dilihat orang sekitar.Hatiku menjerit memohon keselamatan anakku sambil bersholawat.
Hati sedikit mulai tenang.
PENGUMUMAN 2.
Kepada para hadirin yang merasa kehilangan putranya, dimohon ke belakang podium, karena putranya belum bisa ditanyain” demikian suara bergema di penjuru salon.
“Anakku, anakku,…kau pasti Muid anakku”jerit hatiku. Kaki seperti melayang, melompat cepat untuk menemui panitia.
“Sa,…saya ibunya anak ini Pak” aku terengah engah menjelaskan kepada panitia.
“Nama anak Ibu siapa” tanya panitia
“Muid,….Muid Fauzi Pak” jawabku. Namun panitia memperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah, sampai matanya melebar , melototiku, menakutkan.
“Ibu jangan ngaku2 ya” bentaknya
“Tidak Pak,…Muid itu saya” jelasku pada panitia , namun panitia tetap tidak percaya. Aku diseret kasar ke belakang panggung disaksikan oleh banyak panitia lain juga petugas keamanan.”Sungguh aku malu” tapi aku tetap akan berjuang untuk mendapatkan anakku.
Aku belum dipertemukan dengan anakku . Andai aku dipertemukan langsung dengan Muid anakku, kupastikan Muid akan langsung berlari memelukku. Tapi dikemanakan anakku ini.
“Tadi sudah ada Ibu2 yang mengaku orang tuanya dan anaknya juga langsung minta gendong” penjelasan panitia.
“Tapi saya orang tuanya yang asli Pak” jelasku.
“Sekarang Ibu ikut saya , Ibu akan saya laporkan , telah berusaha menculik anak orang, Ibu akan dipenjara”
“Tidak Pak, Muid adalah anak saya, saya tidak mau dipenjara” aku merengek.
“ Sekarang Ibu berani mengambil anak itu dari tangan orang tuanya?” aku ditantang panitia, tentu saja aku mau dan siap demi anakku.
Sempat terbesit sedikit dihati, apa benar yang dimaksud panitia ini adalah anakku. Sebab anakku adalah penakut dengan orang lain. Tidak sembarang orang bisa mengajak apalagi menggendong.
Kalau anak kecil itu telah mau digendong oleh perempuan, berarti ya memang perempuan itu adalah orang tuanya, tidak mungkin Muid anakku bergelayutan dengan sembarang perempuan.
Terus kemana anakku yang sebenarnya?.
“Berani Pak” tantangku.
“Ayo, Ibu ikut saya” ajak panitia.
Aku yang semula berada di belakang panggung besar, mulai melangkah ke depan panggung melalui samping, mengikuti langkah panitia. Tiba2 panitia berhenti, aku juga ikut berhenti.
“Lihat itu deretan kursi no 3” panitia menunjukkan deretan kursi yang sudah ditempati para tamu undangan.
Langsung ku ayunkan mata ini ke arah yang ditunjuk.oleh panitia.
“Benar itu anak saya Pak” tetiakku spontan lari mendekat.
“Eiiit, nanti dulu”tanganku dicengkram.kuat sekali
“Ibu jangan bikin onar di tempat ini”
“ Tidak Pak, saya hanya mau mengambil anak saya”
“Anak itu sudah bersama Ibunya”
“Saya Ibunya Pak, tolong saya tidak bohong” aku merengek memohon belas kasihannya.
“Ya sudah , kalau Ibu berani mengambil anak kecil itu dari pangkuan orang tuanya, silahkan, tapi ingat!,…jangan bikin onar. Kalau sampai Ibu bikin keributan, Ibu langsung saya masukkan penjara” ancam panitia.
Dari jauh kejauhan kuperhatikan wanita yang sedang duduk di kursi undangan sedang memangku anakku, Muid bergelayut manja.
Siapa wanita yang telah merebut hati anakku.
Bergetar tubuh ini sambil melangkah. Aku semakin maju mendekat hendak lari merebut anak dan melabrak wanita yang berani merayu anakku.
Tinggal 5m , aku akan menghadapi wanita yang mengaku sebagai orang tua anakku, wanita yang telah merebut perhatian anakku,wanita yang belum jelas siapa dia. Aku geram.
Tiba2 langkah kakiku terhenti, lemes,simpuh tak berdaya dengku jatuh di rerumputan.Aku menangis .
“”Ibu,….” lirih aku menyebut. Ternyata Ibu mertuaku yang sedang memangku anakku.
Segera kuraih tangan perempuan yang telah melahirkan suamiku.
“Maafkan saya Bu” kujabat tangan beliau dengan takzim, kuciumi telapak tangan wanita yang sudah lama memangku Muid anakku. Lama, lama sekali,…
“Maafkan saya Ibu”
“Lain kali jaga anak dengan baik”sambil di elus jilbab di kepalaku.
“Injih Bu” aku masih tersedu.
Aku baru menyadari bahwa Ibu mertua adalah hadir di acara tabligh akbar ini adalah sebagai undangan, sedang tempat tinggal kami beda kecamatan.
Kreator : Umi Nadhifah
Comment Closed: Cerita Masa Kecil Anak No 10 Part :2
Sorry, comment are closed for this post.