Begini rasanya, usia sudah umur baru belajar digital. Umurku 60 tahun, setahun yang lalu, aku dibelikan ponsel oleh anakku. Alasannya agar aku lebih mudah dihubungi. Aku hanya berdua tinggal di rumah bersama suami yang sama gaptek-nya.
Tentu saja aku senang, sebab teman-temanku yang sepuh juga punya ponsel. Aku ingin lah seperti mereka, ber ha ha hi hi dengan teman-teman dan video call dengan anak cucu. Aku tidak mau gaptek. Alhamdulillah, anakku pengertian. Aku sekarang sudah punya benda canggihyang berbentuk pipih tipis itu.
“Ini benda mahal, Bu. Bisa ditukar beras 30 karung.” ucap anakku.
“Iya, tak simpene di dalam karung beras, biar awet.” jawabku.
“Ya jangan di karung beras lah, Bu.”
“Lha dimana?” tanyaku.
“Ya di mana saja, yang penting tidak di karung beras. Paling penting lagi, dibelikan casing, biar awet.” saran anakku.
“ Apa itu casing? Ada-ada saja.” tanyaku.
“Casing itu pelindung ponsel, Bu.” ajwab anakku sabar.
“Ibu dibelikan sekalian. Ibu nggak ngerti. Takut salah.”
“Ibu tinggal bilang ke penjual, beli pelindung ponsel biar tidak kena bumbu dapur kalau lagi masak, dan tidak kena pipis kalau lagi dalam kamar mandi.”
“Ih, kok dibawa ke kamar mandi? Memang sepenting itukah benda pipih ini?” tanyaku heran.
“Iya, Bu. Sangat penting. Bisa dibawa ke kamar, dapur, kamar mandi, kebun, masjid, hutan, dan kemana saja Ibu suka.”
“Ya sudah, bawa sini benda seperti jimat itu. Ibu pingin coba, biar canggih seperti teman-teman Ibu.” ucapku.
Hari itu juga aku mulai diajari cara tal tul pencet pencet huruf dan angka. Aku setengah cerdas, dalam waktu setengah jam, aku sudah bisa mengoperasikan ponsel. Pertama cara menghubungi anak2ku baik melalui chat atau bila ingin teleponan. Kemudian cara masukkan nomor teman atau saudara.
“Kamu punya nomor Bu RT, le” tanyaku pada anak lakiku.
“Punya, Bu. Saya masukkan sekalian, ya.” tawar anakku.
“Iya, biar nomor Ibu dimasukkan Bu RT ke grup pengajian.” langsung saat itu pula aku sama Bu RT.
“Bu Andin, apa betul ini nomor Ibu sendiri?” tanya Bu RT.
“Iya, Bu. Ini nomor WA saya. Kemarin saya baru dibelikan anak saya ponsel.” balas chat ku
“Syukurlah.” balas Bu RT.
Bermain benda pipih ternyata membuat duniaku telah berubah, aku jadi tal tul, tal tul, pencet sana sini, coba-coba, kadang ada kalanya berhasil, namun ada kalanya malah hilang. Kalau membuat aplikasi aku masih belum bisa. Maka, aku minta dibuatkan Rani, pembantunya Bu RT. Jadilah aku punya aplikasi Facebook. Alhamdulillah, berkat jasa pembantu Bu RT, aku jadi hobi berselancar dengan dunia maya.
“Makasih ya, Ran. Sudah dibantu.” ucapku selesai dibuatkan aplikasi Facebook.
“Sama-sama, Bu. Lain kali kalau butuh bantuan lagi, Insya Allah saya bantu.” jawab Rani.
Walaupun dia pembantu tapi jago kalau dalam dunia sosial media.
Aku baru mengerti, ternyata di aplikasi itu macam-macam orang memperkenalkan dagangan dan produk-produk jualan, ada juga yang sekedar iseng pengen mencurahkan hati. Ada juga yang suka mejeng sana, mejeng sini, pamer masakan, ada pula yang jualan novel.
Aku paling seneng kalau ada novel, bisa berjam-jam aku duduk membaca novel di aplikasi itu. Tak mengapa walau harus bayar dengan koin. Aku sudah bisa bagaimana cara membeli koin.
Ratusan novel telah aku habiskan kubaca, dari novel yang kacangan sampai yang gorila. Dari yang lucu2 sampai drama rumah tangga, semua ku lahap habis. Aku jadi hobi membaca novel dan mengamati gaya ceritanya, struktur bahasanya, kocak serunya dan jadi mengenal banyak nama pengarangnya.
Aku berpikir, sepertinya membuat novel itu mudah. Di beranda Facebook-ku ada tawaran cara menulis gratis. Tantangan menulis hanya 30 hari bisa terbit. Ah, andai aku bisa ikut, andai aku bisa nulis, andai aku punya karya, andai aku bisa menuangkan mimpi-mimpiku, berandai-andai, banyak andai yang di dalam otakku berseliweran.
Apa mungkin aku bisa, apa mungkin usiaku tidak mempengaruhi, apa hanya bermodal hp itu cukup, dan banyak kendala yang harus kulewati. Sedang aku gaptek. Nammun hati meronta ronta ingin mencoba.Antara ragu kemampuan dan keinginan berperang saling berbenturan.
Tiba-tiba jari ini bergerak untuk mengklik “ pelajari lebih jauh”. Mataku tak henti pantengin terus layar benda pipih. Kubaca dan aku scroll sampai terakhir. Aku akhirnya minat mengikuti dengan menghubungi admin.
Kalau mau mengikuti dengan telaten ternyata gampang gampang susah. Tapi aku yakin harus bisa. Aku ikuti langkah demi langkah, tutorial yang diajarkan admin, aku bisa memahami walau hanya sedikit yang masuk ke otak. Gak papa.
“Pantang menyerah!”
“Harus bisa!”
“Nulis, nulis dan nulis!” begitu admin memberi semangat.
Jangan berpikir cerita kurang bagus, jangan berpikir tentang typo, jangan berpikir tentang edit, jangan berpikir ceritaku disuka pembaca atau tidak. Fokuslah pada menulis dan jangan berhenti.Berikan waktu khusus secara rutin walau 30 menit.Biarkan tulisan berantakan, soal edit itu belakangan, yang penting tercurah semua yang ada di pikiran kita dalam bentuk tulisan .
Begitulah cara admin memberi semangat membimbing anggota grup dalam kepenulisan.
Memang benar, apa yang diajarkan ku terapkan dalam keseharianku. Kata demi kata mengalir tak terkendali. Ngelantur setelah setengah jam, aku stop menulis dan ku koreksi hasil nyerocos batinku lewat tulisan.
“Wah, benar.”
“Tinggal ambil yang penting dan buang yang kurang sesuai.”
“Tambahkan kata-kata yang memperindah.”
“Letakkan tanda baca yang kamu bisa.”
“Kirim.naskah, kemudian dikoreksi oleh admin.”
Butuh waktu tidak lama untuk belajar menulis, asal konsisten dan mau belajar terus, maka hasil akan menghampiri.
Kreator : Umi Nadhifah
Comment Closed: CERITA SELINGAN
Sorry, comment are closed for this post.