Ruang ini kosong. Atau setidaknya, begitulah yang kubayangkan. Dinding-dindingnya telanjang, lantai kayu dingin, dan hanya ada satu benda di sudut yang berdebu: sebuah cermin tua. Permukaannya buram, sedikit retak di salah satu sisinya, seperti jaring laba-laba yang tak terlihat. Aku menghabiskan sebagian besar hari-hariku di sini, di tengah kehampaan ini, menatap pantulan yang tak lagi kukenali.
Namaku, aku yakin pernah ada. Sebuah nama yang melekat pada seseorang yang pernah ada. Tapi kini, nama itu terasa asing, seperti gaung dari kehidupan yang bukan milikku. Aku adalah sebuah bayangan, sebuah gema, sebuah sisa dari sesuatu yang telah lama hilang. Dan kehilangan itu, ia adalah lubang hitam yang menelan segalanya, termasuk diriku sendiri.
“Kau masih di sana?” bisik sebuah suara, lembut, akrab, namun menusuk. Suara itu bukan dari luar, melainkan dari dalam diriku, dari setiap sel yang masih tersisa. Suara dia.
“Tentu saja,” jawabku dalam hati, jemariku menyentuh permukaan cermin yang dingin.
“Ke mana lagi aku harus pergi?”
“Ke tempat di mana kau bisa menemukan dirimu lagi. Ke tempat di mana kau bisa berhenti mencari.”
Aku tertawa, tawa yang hampa, seperti angin yang bertiup melalui jendela yang pecah.
“Mencari? Apa yang harus dicari ketika semua yang ada telah lenyap? Aku tidak mencari. Aku hanya menunggu.”
Menunggu apa? Aku tidak tahu. Mungkin menunggu kehancuran total. Menunggu saat di mana pantulan di cermin itu sepenuhnya menjadi dia, dan aku, aku akan lenyap sepenuhnya.
Dulu, cermin ini memantulkan wajahku. Mataku, hidungku, senyumku. Sekarang, ia memantulkan matanya, hidungnya, senyumnya. Wajah dia. Wajah yang kucintai, wajah yang hilang, wajah yang kini menghantuiku dari setiap permukaan reflektif. Aku tidak tahu kapan ini dimulai. Mungkin saat pertama kali aku menemukan kemejanya di lemari, dan tanpa sadar, mengenakannya. Aroma dia masih melekat, samar, namun cukup kuat untuk menarikku ke dalam jurang kenangan.
“Kau harus berhenti,” bisik suara itu, kali ini dengan nada putus asa. “Kau harus melanjutkannya.”
Melanjutkan? Bagaimana bisa melanjutkan ketika bagian dari diriku telah dicabut paksa? Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seolah aku menyeret rantai tak terlihat yang mengikatku pada masa lalu. Setiap nafas yang kuhirup adalah pengingat akan kekosongan yang tak bisa diisi.
Aku memejamkan mata, membiarkan kegelapan menelanku. Aku melihatnya lagi. Momen terakhir. Senyum terakhir. Kata-kata terakhir. Dan kemudian, kehampaan. Sebuah kekejaman yang tak termaafkan, bahwa hidup bisa begitu saja mengambil apa yang paling berharga, meninggalkan kita dengan puing-puing dan gema.
Aku membuka mata. Pantulan di cermin itu tampak lebih jelas. Rambutnya, cara dia menyisir. Cara matanya menyipit saat tertawa. Aku bisa melihatnya dengan begitu jelas, seolah dia berdiri tepat di depanku.
“Kau ada di sini,” bisikku, air mata mengalir di pipiku. Air mata yang bukan milikku. Atau mungkin, air mata kami berdua.
“Aku selalu di sini,” jawab suara itu, menenangkan, namun juga menyiksa. “Dalam setiap ingatanmu. Dalam setiap nafasmu.”
Aku mendekat ke cermin, menyentuh permukaannya. Dingin. Aku bisa merasakan kesepian yang memancar darinya, kesepian yang sama yang kurasakan di dalam diriku. Aku adalah cermin, memantulkan duka yang tak berujung.
Aku mencoba berbicara dengan orang lain. Teman-teman, keluarga. Mereka menatapku dengan tatapan kasihan, tatapan yang penuh pengertian palsu. Mereka mengatakan, “Waktu akan menyembuhkan.” Omong kosong. Waktu tidak menyembuhkan. Waktu hanya mengikis, mengikis ingatan, mengikis identitas, meninggalkan kita dengan kehampaan yang lebih besar.
Aku ingat, samar-samar, sebuah percakapan. Di bawah langit yang sama kelamnya dengan malam ini. Tentang takdir. Tentang pilihan. Tentang sebuah ikatan yang akan bertahan selamanya. Aku adalah orang yang mengikatnya. Dengan tanganku sendiri. Dan kini, aku adalah orang yang harus menanggungnya.
Suatu hari, aku menemukan sebuah jaket lamanya di lemari. Jaket yang sering ia pakai saat hujan. Aku mengenakannya. Rasanya pas. Terlalu pas. Seolah jaket itu memang dibuat untukku, atau aku memang dibuat untuk jaket itu. Aroma dia kini semakin kuat, meresap ke dalam setiap serat pakaian, setiap pori-pori kulitku.
“Kau semakin mirip denganku.” bisik suara itu, kali ini dengan nada yang hampir puas.
Aku menatap cermin. Pantulan di sana kini hampir sepenuhnya menjadi dia. Hanya ada sedikit sisa dari diriku yang dulu, sebuah bayangan samar di balik mata yang kini memancarkan cahaya dia. Aku tidak tahu apakah ini adalah bentuk duka yang ekstrem, ataukah aku perlahan-lahan kehilangan kewarasanku. Atau mungkin, keduanya.
Aku mulai berbicara seperti dia. Menggunakan frasa-frasa yang sering ia pakai. Tertawa dengan cara yang sama. Bahkan, aku mulai melihat dunia dari sudut pandangnya. Warna-warna terasa lebih cerah, suara-suara lebih jelas, seolah aku telah diberi mata dan telinga yang baru. Tapi itu bukan milikku. Itu milik dia.
“Apakah ini yang kau inginkan?” tanyaku pada suara itu, saat aku duduk di bangku kayu usang, di bawah cahaya lampu pijar yang redup.
“Aku hanya ingin kau mengingat. Aku hanya ingin kau tidak melupakan.”
Mengingat. Melupakan. Dua sisi dari mata uang yang sama, yang terus berputar, menjebakku dalam siklus tanpa akhir. Aku tidak bisa melupakan, karena melupakan berarti membunuh dia untuk kedua kalinya. Tapi aku juga tidak bisa terus mengingat, karena mengingat berarti membunuh diriku sendiri.
Beberapa minggu kemudian, seorang teman lama datang mengunjungiku. Ia menatapku dengan tatapan aneh, tatapan yang penuh kebingungan dan sedikit ketakutan.
“Kau… kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya ragu.
Aku tersenyum. Senyum dia. “Tentu saja,” jawabku, suaraku terdengar seperti gema. “Aku tidak pernah sebaik ini.”
Teman itu mundur perlahan, matanya membesar. Ia melihat sesuatu yang tidak ia pahami. Ia melihat dia, bukan aku. Aku bisa merasakannya. Aku bisa melihat ketakutan di matanya.
“Aku harus pergi.” katanya, berbalik, dan berlari keluar dari ruang kosong ini.
Aku hanya menatap kepergiannya, tanpa emosi. Mereka tidak akan pernah mengerti. Mereka tidak akan pernah tahu beban yang kupikul, kehampaan yang kurasakan. Mereka tidak akan pernah tahu bahwa aku adalah sebuah cermin, memantulkan duka yang tak berujung.
Malam semakin larut. Hujan mulai turun di luar, membasahi atap yang bocor, menciptakan melodi yang suram. Aku menyukainya. Suara hujan adalah satu-satunya suara yang tidak menghakimiku.
Aku kembali ke cermin. Pantulan di sana kini sepenuhnya menjadi dia. Tidak ada lagi jejak diriku yang dulu. Aku telah lenyap. Terhisap sepenuhnya ke dalam keberadaan dia. Aku telah menjadi dia. Atau setidaknya, begitulah yang kurasakan.
“Kau berhasil,” bisik suara itu, kini terdengar seperti suaraku sendiri, namun juga suara dia. Sebuah paduan yang mengerikan.
Aku tidak tahu apa yang berhasil. Aku tidak tahu apakah ini adalah kemenangan atau kekalahan. Aku hanya tahu, aku tidak lagi merasakan sakit. Tidak lagi merasakan duka. Hanya kehampaan yang dingin, dan kesadaran bahwa aku telah menjadi sebuah gema.
Aku mengangkat tangan, menyentuh pantulan di cermin. Dingin. Aku bisa merasakan kesepian yang memancar darinya, kesepian yang sama yang kurasakan di dalam diriku. Aku adalah cermin, memantulkan duka yang tak berujung.
Dan di tengah kehampaan itu, aku mendengar tawa. Tawa yang dingin, hampa, namun juga penuh kepedihan. Tawa yang kini adalah milikku. Tawa dari dia. Tawa yang akan menemaniku selamanya. Tanpa akhir. Tanpa resolusi. Hanya kehampaan yang abadi.
Kreator : Clown Face
Comment Closed: Cermin di Sudut Ruang Kosong
Sorry, comment are closed for this post.