Lantunan lagu terus berputar dari sound radio tua yang ada di sebuah ruangan berukuran 65X40 m² yang hanya dibatasi menuju ruangan kafe. Ruangan ini menyatu dengan tempat tinggal pemiliknya.
Semerbak aroma kopi begitu memekakkan hidung memenuhi ruangan itu. Terlihat Daniel, Melody, dan Gavin sedang asyik membereskan meja serta kursi. Tentu saja sudah menjadi tugas mereka sebagai pegawai.
Mereka bertiga sudah sedari lulus SMA bekerja di kafe Love Story. Selain buat tambahan biaya kuliah, juga buat cari pengalaman. Serta mereka merasa pemilik kafe itu sangat baik dan sangat perhatian terhadap karyawannya sendiri. Juga memperbolehkan mereka kerja sambil kuliah. Apalagi kepada Daniel yang notabene adalah keponakan dari sang pemilik kafe. Makanya mereka merasa nyaman bekerja di tempat itu.
Walau Gavin terlahir dari keluarga yang berada, tapi ia sama sekali tidak pernah merasa malu bekerja sebagai pelayan kafe. Malah ia merasa bangga pada dirinya sendiri, bisa mandiri tanpa embel-embel nama keluarga besarnya. Juga ia ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia juga manusia berguna serta bisa diandalkan, tidak seperti apa yang mereka katakan.
Waktu baru menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh tujuh, di mana masih belum ada satupun pelanggan yang datang sekedar membeli makanan, minuman, atau bersantai. Kebetulan memang jam segini kafe baru buka dan masih beres-beres. Jadi, wajar saja kalau masih terlihat sepi pengunjung.
Biasanya, sekitar jam makan siang atau jam istirahat sekolah. Banyak sekali orang-orang yang nongkrong di sini. Menikmati kopi atau memesan makanan ringan, bercanda, serta ber-selfie ria.
Apalagi anak-anak SMA yang letak sekolahnya berseberangan dengan kafe. Sudah pasti mereka yang paling sering nongkrong di kafe itu. Juga itu SMA di mana dulu Daniel dan kedua sahabatnya bersekolah.
***
“Permisi, Kak.”
Terdengar nyaring suara sapaan dari balik pintu bersekat kaca. Terlihat berdiri seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu, dia sangat unyu-unyu, berkulit putih, berbadan tinggi, dan terlihat sangat menggemaskan. Anak itu mengembangkan senyum tipisnya, yang membuat meleleh siapapun yang melihatnya. Termasuk mata Melody yang tak berkedip beberapa detik melihat keberadaannya.
Melody merasa bingung, entah apa yang sedang dilakukannya berdiri di depan toko seperti itu. Apa mungkin dia mau memesan kopi latte atau sepotong roti bakar mozarella. Menu yang menjadi andalan di kafe Love Story. Dua menu yang sangat bersejarah dalam hidup sang pemilik. Cerita masa lalu yang sangat indah dan takkan bisa terulang kembali.
Awalnya Melody mendengus kesal, seperti karyawan pada umumnya. Tapi, apa boleh buat. Namanya juga pelanggan ia harus melayani dengan baik dan ramah. Serta harus memberikan senyuman, agar pelanggan merasa nyaman nongkrong di sini. Tapi, kini kekesalannya berubah menjadi rasa penasaran. Melody perlahan meninggalkan aktivitasnya, lalu ia melangkah ke arah pintu depan.
Gadis itu segera membuka pintu kafe, meski dari dalam juga terlihat namun hanya samar-samar. Makanya ia buru-buru membuka pintu serta menyapa balik anak laki-laki yang merupakan siswa SMA itu.
“Hai,” sapa Melody setengah terpaksa.
Sembari melambaikan tangan dan mengulas senyum tipis. Melody menatap wajah anak SMA itu dengan heran, karena anak SMA itu tubuhnya terlihat gemetar serta pipinya pun mulai dihiasi kemerahan.
Anak SMA yang sedang berdiri di hadapan Melody hanya senyum-senyum malu sembari memainkan jari-jemarinya. Tak ada kata sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Hal ini membuat Melody menghembuskan napas gusar. Tak lama setelahnya, anak SMA itu memberanikan diri untuk meminta sesuatu kepada wanita yang ada di hadapannya. Masih dengan senyuman malunya, juga masih dengan jari-jemarinya yang dimainkan.
“Hai, Kak, aku nge-fans banget loh sama Kakak. Aku boleh minta foto nggak?” pinta si anak SMA itu.
Mendengar ucapannya yang tanpa basa-basi, Melody tersentak kaget. Bisa-bisanya anak SMA itu meminta berfoto bersamanya, padahal ia bukan seorang artis atau pun selebgram. Melody belum mengeluarkan suara sedikitpun, tapi anak SMA itu sudah mengulurkan ponsel miliknya, yang dia ambil dari saku celananya. Lagi-lagi hal itu membuat Melody tersentak.
“Arghhhhh … gue, kan belum ngomong apa-apa, masa dia udah main nyodorin hp aja!” batin Melody merasa tak mengerti.
Baru aja mau membuka mulutnya, tiba-tiba datang Gavin kayak jelangkung yang tak diundang kehadirannya. Laki-laki itu dengan cepat menyambar benda pipih dari genggaman anak laki-laki berseragam putih abu-abu itu. Sampai-sampai sang pemilik ponsel dan Melody terkejut secara bersamaan. Lalu menoleh kompak ke arah laki-laki yang baru saja datang di tengah percakapan mereka.
“Boleh, boleh banget. Asal, dengan satu syarat?” ucap Gavin.
“Kamu boleh berfoto dengan Kak Melody,” matanya melirik wanita di sebelahnya.
“Asal, kamu beli salah satu minuman atau apapun yang kamu suka di sini. Sebagai tiket untuk berfoto sama idola kamu. Gimana, mau?”
Ucapan Gavin membuat Melody kesal. Terlihat beberapa kali mengangkat bahunya dan memainkan bola matanya. Menunjukkan kalau gadis itu tidak suka atas apa yang dilakukan Gavin. Hal ini yang selalu Melody hindari. Berkali-kali Melody menghembuskan napas dengan kasar. Tapi hal itu tak membuat Gavin mengurungkan niatnya. Walaupun ia tahu setelahnya akan terjadi sesuatu.
“Dih, apa-apaan sih, lo!” ringis Melody. Seraya meletakkan tanganya di depan dada dengan menunjukkan mimik muka kesal. Setelah diam saja kali ini Melody bersuara.
Sangat antusias dan tidak pikir panjang, anak SMA itu segera mengambil uang yang ada di saku celananya dengan penuh semangat.
“Nih, kopi latte dingin satu.”
Terlihat uang berwarna biru disodorkan ke arah barista laki-laki yang berdiri di sebelah Melody. Dengan sigap, Gavin langsung mencomot uang itu tanpa basa-basi lagi.
“Lumayan, penglaris di pagi hari ini.” Gavin berseru pelan namun masih bisa terdengar oleh Melody.
Laki-laki berperawakan tinggi itu bergegas masuk ke dalam kafe dan segera membuat satu gelas kopi pesanan pembuka pagi ini. Bagi Gavin ini penglaris, tapi bagi Melody ini hal yang konyol. Dan, hal ini tentu saja mengundang amarah Melody membuncah.
“Lihat aja. Tunggu setelah bocah ini pergi dari hadapan gue!” Suara batin Melody bernada sebuah ancaman.
Anak SMA itu berdehem, menarik napas, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ingin bersuara, tapi ada kecanggungan yang menguasai. Jadinya ia hanya bisa menunduk, serta sesekali tersenyum ke arah wanita di hadapannya. Tapi, detik berikutnya anak laki-laki SMA itu memberanikan diri untuk bersuara.
“Makasih, ya, Kak.”
“Iya, sama-sama,” balas Melody sekenanya. Tanpa menatap anak SMA yang ada di hadapannya.
Kreator : Suryana
Comment Closed: Cherry Blossom in the Sky Bab 1
Sorry, comment are closed for this post.