Di sebuah pondok pesantren yang terletak di daerah Yogyakarta, tinggallah seorang santri bernama Fajar. Ia adalah seorang pemuda pendiam dan rajin. Setiap hari, rutinitasnya dipenuhi dengan kegiatan mengaji, belajar kitab kuning, dan shalat berjamaah. Kehidupan di pondok membuatnya terbiasa dengan kedisiplinan dan keteraturan. Namun, di balik kesederhanaan dan kedalaman ilmunya, hatinya mulai merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya—jatuh cinta.
Perasaan itu datang ketika ia bertemu dengan Zahra, seorang santri perempuan yang juga tinggal di pondok tersebut. Zahra adalah sosok yang lembut dan selalu tersenyum. Setiap kali mereka berpapasan di lorong pondok atau di halaman ketika acara pondok bersama, Fajar merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Dia mencoba mengalihkan pandangannya dan menundukkan kepalanya, seperti yang diajarkan oleh para Ustadz, tetapi perasaan itu tak kunjung hilang. Senyuman Zahra selalu terlintas di benaknya, dan tatapan matanya yang penuh ketulusan membuat Fajar merasa semakin sulit mengendalikan hatinya.
Namun, Fajar tahu betul bahwa peraturan di pondok sangat ketat. Santri laki-laki dan perempuan dilarang berinteraksi kecuali dalam kegiatan yang sudah diatur oleh pondok. Bahkan, menatap atau berbicara tanpa alasan yang jelas bisa dianggap melanggar adab. Fajar pun mengerti bahwa cinta yang ia rasakan ini tak seharusnya ada, setidaknya belum waktunya. Dia menyadari bahwa perasaan itu adalah sebuah ujian bagi dirinya, dan sebagai seorang santri yang baik, ia harus menahan diri dan menjaga kesucian hatinya.
Malam demi malam, Fajar bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Dalam sujud panjangnya, ia memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk mengendalikan perasaannya. Ia meminta petunjuk apakah perasaan ini adalah ujian yang harus ia atasi ataukah sebuah rahmat yang harus ia simpan dalam diam. Dalam doa dan munajatnya, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cinta sejati adalah yang diridhoi oleh Allah, dan jika memang Zahra adalah takdirnya, Allah pasti akan mempertemukan mereka pada waktu yang tepat.
Setiap hari, Fajar berusaha mengalihkan perasaannya dengan memperdalam ilmu agama. Ia memperbanyak hafalan Al-Quran, mempelajari kitab-kitab fiqih, dan mengikuti setiap kajian dengan sungguh-sungguh. Namun, di tengah-tengah kesibukannya, bayangan Zahra selalu muncul. Ketika Fajar membaca ayat tentang cinta dan pernikahan, hatinya tergerak dan ia membayangkan bahwa suatu hari nanti, mungkin saja ia dan Zahra akan dipertemukan dalam ikatan yang sah. Tetapi seketika itu pula, ia menepis pikirannya dan kembali fokus pada pelajarannya.
Waktu pun berlalu, dan Fajar semakin menyadari bahwa perasaannya kepada Zahra adalah sesuatu yang harus ia simpan rapat-rapat. Meskipun ia tahu Zahra mungkin tidak pernah menyadari perasaannya, ia merasa cukup bahagia bisa melihatnya dari kejauhan. Bagi Fajar, mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menjaga kesucian hati dan perasaan. Lagipula, ia percaya bahwa jika memang Zahra adalah jodohnya, Allah pasti akan memberikan jalan bagi mereka untuk bertemu kembali, bukan di pondok ini, tetapi di saat mereka sudah siap untuk menjalani kehidupan bersama dalam ikatan suci.
Pada akhirnya, Fajar memilih untuk menerima bahwa cinta yang ia rasakan saat ini adalah sebuah bentuk latihan bagi dirinya untuk bersabar. Ia percaya bahwa Allah selalu punya rencana terbaik, dan terkadang, rencana itu tidak bisa dipahami dengan segera. Dengan hati yang teguh dan doa yang tulus, Fajar melanjutkan hari-harinya di pondok, berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan jawaban atas perasaannya, jawaban yang penuh berkah dan kebahagiaan.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Cinta dalam Diam
Sorry, comment are closed for this post.