Bintang adalah seorang santri yang baru saja tiba di Yogyakarta. Ia memulai perjalanannya sebagai santri di salah satu pesantren besar dan terkenal di kota itu. Pondok ini sudah ratusan tahun berdiri, penuh dengan sejarah dan ajaran para ulama yang kharismatik. Bintang berasal dari desa kecil di Banyumas, sebuah daerah yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sana, bahasa Ngapak menjadi bahasa sehari-hari, dan kehidupan di desa membuatnya terbiasa dengan kesederhanaan dan keramahan yang khas.
Hari pertama di pondok, Bintang merasa sedikit gugup. Suasana pesantren sangat berbeda dari kehidupan di desanya. Meskipun ia sudah terbiasa dengan rutinitas mengaji dan shalat berjamaah, suasana di Yogyakarta terasa lebih dinamis. Santri-santri datang dari berbagai penjuru negeri, masing-masing membawa logat dan kebiasaan mereka sendiri. Namun, Bintang selalu berpegang teguh pada niat awalnya: belajar agama dengan sungguh-sungguh, memperdalam ilmu fiqh, tauhid, dan tafsir, serta mendekatkan diri pada Allah SWT.
Rutinitas pesantren dimulai setiap hari sebelum subuh. Santri harus bangun, mengambil wudhu, dan bersiap untuk shalat tahajud. Setelah itu, mereka akan berkumpul untuk shalat subuh berjamaah di masjid pondok. Bintang mengikuti semua ini dengan tekun. Usai subuh, para santri kembali ke kamar masing-masing, mempersiapkan diri untuk pelajaran hari itu.
Namun, di tengah rutinitasnya yang padat, Bintang mulai memperhatikan sesuatu yang membuat hatinya tak tenang. Pada suatu pagi, saat sedang duduk di serambi masjid setelah shalat subuh, ia berpapasan dengan seorang santriwati yang tampaknya juga berasal dari Banyumas. Ia mendengar logat khas Ngapak saat gadis itu berbicara dengan temannya. Ada rasa familiar yang tiba-tiba muncul di hati Bintang. Bahasa yang sama dengan bahasa ibu yang ia gunakan sehari-hari di kampung halaman, membuatnya merasa dekat, meski belum mengenal santriwati itu.
Beberapa hari berlalu, dan tanpa disadari, Bintang sering kali berpapasan dengan santriwati tersebut. Gadis itu bernama Decca, seorang santriwati cerdas dan ramah yang berasal dari desa sebelah kampung Bintang di Banyumas. Pertemuan mereka yang kebetulan berubah menjadi percakapan ringan. Awalnya, mereka berbicara tentang kehidupan di pondok dan suasana Yogyakarta yang sibuk. Namun, topik pembicaraan mereka dengan cepat beralih ke kampung halaman, makanan khas Banyumas, dan pengalaman masa kecil mereka yang penuh tawa. Bahasa Ngapak menjadi jembatan yang mempererat hubungan mereka, membuat mereka merasa seperti menemukan teman di tengah keramaian pondok.
Sejak pertemuan itu, Bintang merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Setiap kali ia berbicara dengan Decca, hatinya bergetar. Bintang menyukai keceriaan Decca, kehangatannya, serta cara Decca menghargai nilai-nilai agama. Tanpa dia sadari, perasaan suka itu berubah menjadi cinta. Ia sering kali berharap bisa terus berbicara dengannya, mendengar canda tawanya, dan merasakan ketenangan setiap kali mereka berbagi cerita. Namun, di pesantren, ada batas yang tidak boleh dilanggar.
Pesantren memiliki aturan yang sangat ketat terkait hubungan antara santri laki-laki dan perempuan. Meski mereka sering bertemu di area umum seperti serambi masjid atau kelas pengajian, tidak ada ruang untuk interaksi yang berlebihan. Para santri diajarkan untuk menjaga adab, baik dalam bicara maupun perilaku. Hubungan antar lawan jenis harus dibatasi pada hal-hal yang penting saja, apalagi soal perasaan.
Bintang sadar, perasaannya kepada Decca harus ia pendam. Cinta dalam dunia pesantren tidak sama dengan cinta di luar. Di sini, cinta harus disalurkan dengan cara yang benar dan pada waktu yang tepat. Namun, semakin Bintang mencoba mengabaikan perasaannya, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Setiap kali melihat Decca, hatinya bergetar, tapi ia juga tahu bahwa ia harus tetap fokus pada tujuan utamanya: menuntut ilmu.
Setiap malam, saat sunyi dan sepi, Bintang sering merenung di kamarnya. Ia memikirkan Decca, membayangkan bagaimana jika suatu saat nanti, di luar pondok, mereka bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik. Namun, ia juga tahu, takdir adalah hal yang tak bisa dipaksakan. Ada saatnya untuk segala sesuatu, dan mungkin sekarang bukan waktunya untuk cinta itu berkembang. Cinta yang ia rasakan harus ia jaga, ia pendam dalam doa, berharap jika memang jodoh, Allah akan mempertemukan mereka kembali di waktu yang lebih tepat.
Bintang berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan perasaannya di hadapan Decca. Ia tetap bersikap seperti biasa, berbicara dengan bahasa Ngapak saat bertemu, bercanda tentang kampung halaman, namun tidak pernah lebih dari itu. Setiap kali mereka berbicara, Bintang selalu merasa nyaman, namun ia juga merasa tertantang untuk menjaga batas-batas yang ada.
Di pondok, Bintang semakin dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia menghafal banyak kitab, memahami lebih banyak tentang akhlak dan syariat. Namun, di tengah keseriusan belajar, cinta yang terpendam di hatinya tak pernah benar-benar hilang. Bintang mulai menyalurkan perasaannya dalam doa-doanya. Setiap kali ia bermunajat kepada Allah, ia meminta petunjuk, meminta agar cintanya tidak melalaikan tugasnya sebagai santri, dan meminta jika memang Decca adalah jodohnya, agar dipertemukan di waktu yang tepat.
Waktu terus berlalu, tahun demi tahun, dan Bintang semakin matang dalam ilmunya. Hubungannya dengan Decca tetap seperti semula, bersahabat dalam batas-batas yang diizinkan. Ia tetap memendam perasaannya, karena ia tahu, cinta sejati adalah yang dilandasi oleh niat yang tulus dan dijaga dengan kesabaran. Hingga suatu hari, setelah bertahun-tahun menyelesaikan pendidikan di pondok, Bintang menyadari bahwa cinta yang ia pendam selama ini bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya sebagai seorang santri.
Ia belajar bahwa cinta, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Bintang tetap berharap, suatu hari nanti, ketika waktunya tepat, ia dan Decca bisa bertemu kembali, kali ini bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai dua insan yang dipersatukan oleh takdir dan cinta yang diridhoi Allah.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Cinta dalam Diam di Serambi Pesantren
Sorry, comment are closed for this post.