Sejak mengetahui bahwa Mas Tomi telah menikah, rasanya aku begitu kecewa dan patah hati. Hari-hariku penuh dengan tangisan dan rasa galau. Melupakan nama seseorang yang terukir di dalam hati, begitu susah bagiku. Banyak orang bilang harus “move on”. Tapi tidak semudah itu bagiku. Aku jadi benci diriku dan semua orang. Beberapa hari aku mengurung diri di kamar tidak mau ditemui siapapun. Serasa hidupku penuh duka nestapa.
Sempat terpikir olehku untuk menjadi istri kedua Mas Tomi. Tak masalah bagiku menjadi istri kedua, asal bisa hidup bersama dan membangun rumah tangga dengan pria yang telah lama menarik hatiku. Sejak SMA aku sudah memendam rasa kepadanya dan berharap setelah aku lulus kuliah bisa menikah dengannya. Kupikir dia pun mencintaiku, ternyata harapanku tidak menjadi kenyataan.
Sungguh sakit ditinggal orang yang kucintai menikah dengan orang lain. Rasanya aku hampir “gila” dan berpikiran pendek untuk mempertahankan cintaku dengan memintanya untuk menikahiku dan menjadikan aku istri kedua. Kukatakan keinginanku kepada kedua orang tuaku. Aku tidak memikirkan apa yang nanti akan terjadi. Aku hanya ingin hidup bersama orang yang kucintai, walaupun aku harus mengorbankan perasaanku dan berbagi dengan wanita lain.
“Kamu masih muda Rani, janganlah berpikir gegabah dan seperti orang yang putus asa!”
“Kamu punya Tuhan yang akan menuntunmu agar tidak tersesat “
“Jika kamu ingin menjadi istri kedua Tomi, berarti kamu mengusik kebahagiaan rumah
tangga orang lain!” nasehat ayah kepadaku.
“Jika Tomi bersedia menjadikanmu istri kedua, apa kamu bisa menjamin bakal hidup
bahagia dengannya?” lanjut ayah.
Aku tertunduk sedih mendengar nasehat dan arahan dari ayah. Kemudian ibu datang mendekat dan mengusap kepalaku.
“ Kamu harus sabar ya Nduk !”
“Kamu harus ingat, ada wanita lain yang akan tersakiti dengan kehadiranmu di antara mereka. Apa kamu tidak memikirkan harga dirimu? Bagaimana pandangan orang lain dengan keluarga kita nantinya?” tanya ibu dengan lembut.
Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu mendekat dan memelukku. Aku tak kuasa menahan tetesan air mata. Tubuhku bergetar menahan sakit yang teramat dalam. Kutumpahkan rasa sedih dan tangisku di pundak ibuku. Ibu mengusap-usap punggungku berharap aku kembali tenang dan menerima semuanya dengan lapang dada.
Kata-kata ayah dan ibu akhirnya menyadarkanku untuk berpikir jernih. Akupun bertekad untuk melupakan perasaanku kepada Mas Tomi. Kubulatkan tekad untuk membuang jauh-jauh rasa itu. Mas Tomi sudah jadi milik wanita lain, aku tidak boleh merebutnya dan mengganggu kebahagiaan rumah tangganya. Aku berusaha menerima takdirku dengan ikhlas dan kupasrahkan jodoh, hidup dan matiku hanya pada Yang Maha Kasih.
Dua pekan setelah kejadian itu, aku mendapat panggilan kerja. Aku diterima sebagai guru di Lembaga Bimbingan Belajar di kota Yogyakarta. Rasa syukur kuucapkan pada Allah, minimal aku bisa lebih mudah melupakan kejadian yang hampir membuatku mengambil keputusan yang salah.
“ Rani pamit berangkat , doakan ya agar selalu diberikan yang terbaik!” aku mohon doa restu kepada ayah dan ibu. Ibu memelukku seraya berpesan,“ Jadilah putri ibu yang kuat, terus semangat dan tidak boleh putus asa. Aku mengangguk mengiyakan.
Tidak terasa sudah 3 tahun aku mengajar di Bimbingan Belajar. Aku sudah tidak lagi mengingat Mas Tomi. Semua sudah bisa kulupakan. Tapi sampai usia ke-26 aku masih belum punya kekasih, padahal beberapa temanku sudah berumah tangga. Terkadang aku merasa iri melihatnya, tapi semua kupendam dalam hati.
Minggu pagi aku bersiap-siap untuk ke masjid yang terletak di jalan Solo. Kesibukanku selain mengajar adalah mengikuti kajian. Dengan mengendarai sepeda motor, aku terlebih dahulu menjemput Firli. Dia teman kuliahku sekaligus menjadi sahabat sampai sekarang.
“ Motormu ditinggal saja ya di rumahku, kita berangkat bersama Mas Ridho naik mobilnya, hari ini dia yang mengisi kajian!” ajak Firli. Akupun mengangguk setuju.
“ Rani, ayo turun, kita sudah sampai!” tiba-tiba Firli menepuk pundak mengagetkanku.
“Kenapa nih Dik Rani pagi-pagi sudah melamun!” tegur Mas Ridho sambil tersenyum. Aku sangat malu karena ketahuan melamun. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Untung Mas Ridho tidak tahu apa yang aku lamunkan.
Pukul 12.30 acara selesai. Sebelum pulang Firli mengajakku mampir untuk makan dulu di warung makan samping toko Merah.
Saat makan, tiba-tiba HP ku berdering. Aku pamit untuk mengangkat HP yang ternyata dari ibu.
“Cepat pulang Rani, ayahmu sakit!”
“Ayahmu ingin segera bertemu, ada yang ingin disampaikan!” terdengar suara ibu dengan nada sedih dan parau.
“Baik bu, Rani akan segera pulang sore ini juga!” jawabku dengan gugup.
“Ada apa Rani, kau terlihat sedih dan panik setelah menerima telpon?” tanya Firli.
Kuceritakan pada mereka, bahwa aku harus pulang sore ini juga karena ayah sakit.
Pukul lima sore aku sampai rumah. Aku langsung disambut ibu dan diajak segera masuk ke kamar ayah.
“Kamu sudah datang, Nduk?”
“Duduklah, ada yang ingin Ayah sampaikan padamu!” kata ayah dengan suara yang berat.
Aku mendekat dan duduk di samping ayah yang terbaring lemah di ranjang.
“Kalau dalam waktu 3 hari belum ada orang yang melamarmu, maka teman Ayah akan datang bersama anaknya untuk melamarmu. Walaupun dia duda, tapi dia sudah mapan, karena dia seorang dokter!” lanjut ayah.
Aku terdiam, bingung dan membisu. Dalam kebimbanganku, akhirnya kuanggukkan kepala dan menyetujui permintaan ayah.
Malam itu, susah sekali kupejamkan mataku. Aku bimbang dan ragu. Rasanya ingin menolak permintaan ayah, tapi tak tega melihat ayah yang sedang sakit. Kemudian kuambil air wudhu. Aku ingin mendapatkan ketenangan, maka segera kugelar sajadah, kemudian ku bersujud dan berdoa.
“Ya Allah, berikanlah hamba petunjukMu. Jodohkanlah hamba dengan orang yang terbaik menurutMu, yang bisa membimbing Hamba di jalanMu. Kupasrahkan seluruh hidup dan matiku hanya untukMu, aamiin!” kuucapkan doa dengan penuh harap.
Tiba-tiba HP ku berdering. Setelah kulihat ternyata dari Firli, sahabatku.
“Assalamualaikum Dik Rani!” terdengar suara seorang pria yang sepertinya aku pernah mendengar sebelumnya.
“Waalaikumsalam warohmatullaahi wa barokaatuh…!” jawabku dengan agak ragu.
“Ini Ridho Dik, kalau kamu berkenan, besok pagi Kami akan berkunjung ke rumahmu. Ayahku akan datang melamarmu untukku. Maukah Dik Rani menjadi istriku?” tanya mas Ridho.
Aku terdiam dan kaget tak percaya, sehingga hanya mematung tanpa bisa menjawab sepatah katapun. Akhirnya kujawab dengan chat bahwa aku bersedia menjadi istri Mas Ridho.
“Sujud syukurku padaMu ya Allah, secepat itu kau menjawab doaku!”
Alhamdulillah, telah kutemukan jodohku di saat yang tepat. Harapanku terwujud sudah untuk memiliki pendamping hidup yang bisa membimbingku di jalan Allah.
Comment Closed: Cinta dan Harapan
Sorry, comment are closed for this post.