Namaku Indah Larasati. Aku lahir sebagai anak tunggal dari pasangan yang dulu terlihat bahagia. Tapi semuanya berubah saat aku berumur tujuh tahun.. Di usia yang seharusnya penuh warna, aku justru menyimpan kenangan kelabu yang sulit terhapus dari ingatan. Ini bukan kisah cinta pertama atau drama sekolah. Ini tentang keluarga, tentang luka yang tumbuh bersamaku.
Aku tak pernah menyangka bahwa harus belajar tentang kehilangan dengan cara yang paling sunyi. Waktu itu, aku hanya merasa ada yang berbeda di rumah. Ayah, yang biasanya menyapaku dengan pelukan dan senyum lebar setiap sore, tiba-tiba tak terlihat selama beberapa hari. Hari-hari berlalu dan ruang tamu yang biasa dipenuhi suara canda berubah hening. Tak ada yang memberitahuku apapun. Hanya keheningan yang semakin menyesakkan dada kecilku.
Ayah menghilang dari rumah selama beberapa hari. Awalnya aku tak merasa curiga. Tapi rasa rindu yang tak biasa membuatku memberanikan diri bertanya pada Ibu.
“Bu, Ayah ke mana ya? Kok udah lama nggak pulang?” tanyaku lirih suatu sore.
Ibu tersenyum tipis lalu menjawab, “Ayah lagi kerja di luar kota, sayang.”
Aku mengangguk tanpa tanya lebih lanjut. Tapi, jawaban itu seperti menyisakan ruang kosong dalam dada kecilku.
Beberapa bulan setelah Ayah menghilang dari kehidupanku tanpa penjelasan yang jelas, kabut kesedihan kembali menyelimuti rumah kecil kami. Suatu pagi yang kelabu, Ibu duduk di ujung tempat tidurku. Tangannya menggenggam jemariku erat, seolah tak ingin melepas, tapi dari sorot matanya aku tahu ia tengah mempersiapkan perpisahan yang tak bisa ditunda.
“Indah…” suara Ibu pelan, seperti angin yang nyaris tak terdengar.
“Ibu harus pergi ke Jakarta. Ada pekerjaan yang harus Ibu jalani di sana.”
Aku yang masih kecil tak sepenuhnya mengerti. Tapi sejak kepergian Ayah, hatiku seperti belajar membaca hal-hal yang tak dikatakan. Aku hanya diam, lalu mengangguk pelan. Tak ada kata tanya, tak ada tangisan. Hanya bisu yang memeluk erat ruang di antara kami.
“Nanti kamu tinggal sama Nenek dan Datuk ya, sayang,” lanjut Ibu sambil tersenyum kecil. Tapi senyum itu rapuh, seperti daun yang nyaris gugur.
“Ibu… bakal pulang, kan?” tanyaku akhirnya, nyaris berbisik.
Ibu memelukku erat, terlalu erat.
“Iya, Nak. Tentu. Ibu akan selalu ada buat kamu, walau dari jauh.”
Pagi itu, koper besar diletakkan di ambang pintu. Aku berdiri mematung saat ibu melangkah pergi, langkahnya gontai, sesekali menoleh, dan kemudian benar-benar menghilang di balik pagar rumah. Saat itu aku belum sadar, bahwa rumah kami telah benar-benar runtuh bukan oleh gempa, tapi oleh jarak, pilihan, dan diam.
Hari-hari berikutnya aku pindah ke rumah Nenek dan Datuk dari pihak Ibu. Rumah itu jauh dari mewah, tapi penuh dengan kehangatan yang menenangkan. Dindingnya dipenuhi foto-foto lama, aroma kayu dan bunga melati selalu menguar dari ruang tengah.
Datuk mengajakku duduk di teras tiap sore sambil bercerita kisah masa mudanya dan Nenek menyiapkan teh hangat sambil mengelus kepalaku penuh kasih.
“Indah, cucu nenek yang kuat. Allah pasti jagain kamu, Nak.” bisik Nenek suatu malam sambil menyelimuti tubuh kecilku.
Dalam pelukan mereka, aku tak sepenuhnya merasa kehilangan. Mereka memberiku cinta yang tak tergantikan cinta yang mengisi kekosongan di hatiku, meski tak bisa menyembuhkan sepenuhnya. Di rumah itu, aku belajar tertawa lagi, meski sesekali rindu menyelinap diam-diam saat malam tiba.
Waktu berjalan seperti aliran sungai yang tak pernah kembali. Tanpa terasa, aku mulai menapaki jenjang baru dalam hidup: masa remaja. Aku resmi menjadi siswi SMP usia dimana teman-temanku sibuk merangkai cerita tentang persahabatan, cinta pertama, dan hangatnya keluarga yang selalu hadir dalam tiap langkah.
Tapi, tidak denganku.
Semakin aku dewasa, semakin tajam kenyataan menamparku. Saat di sekolah, aku sering melihat teman-temanku dijemput oleh ayah dan ibunya. Ada yang tertawa sambil menyodorkan nilai ulangan, ada yang bercerita tentang kegiatan pramuka, ada pula yang hanya sekadar berjalan berdampingan, tangan mereka bersatu erat.
Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, senyumku layu.
“Indah, kamu kok nggak pernah dijemput orang tua, sih?” tanya seorang teman dengan polos, tanpa maksud menyakiti.
Aku tersenyum canggung. “Mereka sibuk kerja. Aku dijemput sama datuk atau pulang sendiri.”
Tak ada kebohongan dalam jawabanku, tapi juga tak ada kejujuran penuh. Aku tak pernah ingin membuat orang lain tahu betapa sepinya perasaanku.
Pulang ke rumah nenek dan datuk tetap terasa hangat, tapi ada yang mulai terasa berbeda. Ada ruang yang tak lagi bisa diisi, karena aku mulai benar-benar memahami arti kehilangan. Aku tak lagi menjadi anak kecil yang cukup diberi jawaban sederhana. Aku kini bertanya dalam hati: Kenapa harus aku? Kenapa rumahku tak seperti mereka?
Kadang aku menatap foto lama di kamar. Foto itu diambil saat aku masih usia lima tahun aku duduk di pangkuan ayah, sementara ibu tersenyum di samping kami. Aku terlihat sangat bahagia.
“Apa kami pernah sebahagia itu… atau itu cuma pura-pura?” gumamku pada diri sendiri.
Ada malam-malam saat aku menangis diam-diam, membenamkan wajah di bantal agar nenek tak mendengar. Rindu itu datang seperti badai tanpa aba-aba, dan selalu menyisakan sesak.
Pernah suatu malam, aku memberanikan diri bertanya pada nenek.
“Nek… kenapa Ayah dan Ibu nggak bisa satu rumah lagi?”
Nenek terdiam lama. Matanya menerawang, seolah mencari jawaban yang tidak akan melukaiku.
“Kadang, orang dewasa punya luka yang tak bisa sembuh kalau mereka tetap bersama. Tapi bukan berarti mereka tak sayang sama kamu, Indah. Mereka hanya tak bisa saling menyembuhkan.”
Aku tak sepenuhnya mengerti saat itu, tapi aku tahu jawaban itu datang dari hati yang ingin melindungiku dari luka yang lebih dalam.
Namun, waktu membawa banyak pemahaman. Aku mulai mengerti apa arti “berpisah” sesungguhnya. Aku mulai tahu bahwa Ayah dan Ibu tak lagi satu atap, bahkan satu arah pun tidak.
Puncaknya, ketika aku mendengar kabar bahwa Ayah akan menikah lagi. Anehnya, aku tak menangis. Mungkin karena aku sudah cukup sering belajar menelan rasa.
Tapi, luka itu baru benar-benar terasa saat acara perpisahan kelas 9 SMP. Saat melihat teman-temanku tertawa bersama orang tua mereka, aku hanya bisa menatap dari kejauhan. Ada rasa iri yang pelan-pelan menjelma menjadi duka.
“Kamu kenapa, Indah?” tanya Mia, sahabatku.
“Aku cuma kangen keluarga,” jawabku sambil menunduk.
Terkadang aku berharap bisa memutar waktu, kembali ke masa ketika kami masih satu meja makan. Tapi harapan itu selalu pupus setiap melihat mereka bertemu, bukan dengan senyum, melainkan dengan amarah.
Pernah suatu lebaran, mereka bertemu di rumah nenek. Awalnya aku senang, mengira ada kemungkinan mereka akan berdamai. Tapi, harapanku dihancurkan oleh pertengkaran kecil yang membesar, tentang biaya sekolah, tentang masa lalu, tentang luka yang belum sembuh. Aku berlari ke kamar, menangis dalam diam.
“Ya Allah… kenapa harus begini? Aku cuma ingin keluargaku damai…” bisikku sambil memeluk bantal.
Sejak saat itu, aku mulai belajar menerima. Aku menyadari bahwa tidak semua rumah harus utuh untuk bisa disebut keluarga. Ada cinta yang bisa tumbuh dalam kepingan-kepingan, asal kita mau merawatnya.
Kini, di usia 16 tahun, aku hidup dengan lebih tenang. Ayah dan Ibu tetap menjagaku dengan cara mereka masing-masing. Komunikasi kami tetap terjaga. Tapi yang paling penting, aku belajar berdamai dengan keadaan. Setiap malam, aku menyelipkan satu doa dalam sujudku.
“Ya Allah, kelak bila aku membangun rumah tangga, jangan biarkan anak-anakku merasakan luka yang sama. Jadikan aku ibu yang kuat, yang penuh cinta, yang mampu menciptakan rumah tanpa air mata.”
Aku tahu, masa laluku tidak sempurna. Tapi dari situlah aku belajar bahwa luka bisa jadi guru terbaik. Bahwa doa bisa jadi harapan terkuat.
Dan, bahwa… Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah, meski harus lewat jalan yang penuh luka.
Kreator : Siti Murdiyati
Comment Closed: Cinta di Antara Kepingan Keluarga
Sorry, comment are closed for this post.