Andy dan Indina telah merencanakan pendakian ini selama berminggu-minggu. Jalur pendakian Gunung Sumbing yang baru dibuka dari Basecamp Batursari, dekat Kledung, Wonosobo, begitu menggoda. Jalur ini lebih sepi, lebih alami, dan kata orang-orang, melewati hutan yang magis. Tapi bagi Andy dan Indina, itu justru menambah tantangan dan keseruan. Mereka berdua memang pecinta petualangan, dan kali ini, pendakian ini juga menjadi momen yang akan mendekatkan mereka lebih dari sekadar teman mendaki.
Andy: “Din, katanya hutan di sini magis. Kalau tiba-tiba kita ketemu peri hutan atau jin, apa yang bakal kamu lakukan?”
Indina (tertawa): “Ah, aku bakal minta nomor WhatsApp mereka dulu. Kan, siapa tahu bisa kita undang pas acara kumpul-kumpul di basecamp nanti.”
Andy: “Boleh juga, ya! Nanti kita ajak mereka nyanyi bareng di puncak. Tapi serius, nih, Din, aku deg-degan juga sama cerita mistis di sini. Jangan-jangan kamu yang magis, bisa bikin orang klepek-klepek di gunung.”
Indina (menggoda): “Oh, jadi kamu yang klepek-klepek sekarang? Baru juga naik gunung sekali ini sama aku.”
Mereka berdua tertawa sambil terus mendaki. Hutan yang mereka lewati memang terasa berbeda—terdengar suara-suara aneh di kejauhan, mungkin binatang, mungkin angin. Namun, suasana ceria di antara mereka membuat segala kekhawatiran terasa jauh.
Andy: “Din, sebenarnya aku tuh suka filosofi hidup yang ringan. Kalau ada masalah, ya, selesaikan dengan santai. Kalau berat, lempar aja ke semesta. Seperti mendaki ini, yang penting dinikmati. Kalau ketemu jalan terjal, ya, pelan-pelan. Kalau capek, ya, istirahat. Nggak usah dipaksain.”
Indina: “Iya, setuju banget! Aku juga percaya kalau hidup ini nggak perlu terlalu serius. Kadang kita sibuk ngejar hal-hal yang nggak penting sampai lupa menikmati momen. Kayak sekarang, kita di sini, jauh dari hiruk pikuk kota, cuma ada kita, alam, dan canda tawa. Kalau kamu pikir-pikir, ada yang lebih indah dari ini?”
Andy: “Nggak ada, Din. Dan tahu nggak, kadang aku mikir, cinta itu juga kayak mendaki gunung. Butuh perjuangan, kadang bikin capek, tapi kalau kita nikmati prosesnya, puncaknya bakal terasa lebih indah. Tapi aku yakin, di pendakian kali ini, aku nggak cuma bakal nemuin puncak gunung, tapi juga sesuatu yang lebih.”
Indina (tersenyum): “Wah, mulai serius, nih. Awas, loh, jangan sampai jatuh di sini, apalagi kalau jatuh cinta. Susah bangunnya.”
Mereka terus mendaki, menikmati setiap langkah yang membawa mereka semakin tinggi. Sampai di Pos 3 Sipetung, jalur mulai semakin menantang. Tiba-tiba, langkah Indina terpeleset, dan dia terjatuh dengan keras. Sebenarnya mereka memang berniat mendirikan tenda di pos 3 dan bermalam menikmati awan yang berarak di ketinggian ini, sekaligus menatap puncak Sumbing dan Sindoro.
Andy (khawatir): “Din, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak?”
Indina (menggigit bibir menahan sakit): “Aduh, sakit juga sih. Tapi kayaknya nggak parah. Cuma kaget aja. Untung ada kamu yang bisa nolongin, ya.”
Andy: “Jangan takut, aku di sini. Lagian, kita ini tim. Kalau satu cedera, yang lain bantu. Nih, coba duduk dulu, aku periksa kakinya.”
Andy dengan cekatan memeriksa pergelangan kaki Indina. Meski ada sedikit bengkak, ia mencoba tidak menunjukkan kekhawatirannya.
Andy: “Kelihatannya sih nggak parah, Din. Tapi kamu harus hati-hati. Kalau mau, kita bisa istirahat dulu sampai kamu merasa lebih baik.”
Indina: “Beneran, aku bisa jalan lagi, kok. Lagian, siapa yang bakal nolongin kamu kalau aku nggak bisa jalan? Masa cowok segagah kamu butuh bantuan?”
Andy (tertawa): “Hey, aku nggak malu minta bantuan. Toh, kalau kamu yang nolong, lebih seneng lagi. Lagian, siapa tahu, di puncak nanti, kita bisa saling bantu, bukan cuma soal fisik.”
Indina (menggodanya): “Hmmm, kayaknya di puncak nanti bakal ada momen spesial, ya? Oke deh, besok kita jalan lagi, tapi kamu harus janji kalau kita bakal pelan-pelan aja.”
Andy: “Deal! Kita nikmati saja perjalanannya, nggak usah buru-buru. Toh, yang penting bukan puncaknya, tapi kebersamaan kita, kan?”
Keesokan paginya saat embun masih membasahi perkemahan Pos 3, mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Sesekali, mereka berhenti untuk menikmati pemandangan atau bercanda, membicarakan hal-hal yang ringan tapi penuh makna. Semakin mendekati puncak, semakin terasa keakraban di antara mereka.
Berkata Andy dalam hatinya: “Sepertinya, saat ini aku baru menyadari karena, sang mentari yang muncul di ufuk timur itu masih kalah sinarnya dengan ucapan selamat pagi darimu tadi pagi.”
Andy: “Din, lihat deh, itu puncaknya. Nggak nyangka ya, kita sampai juga di perjalanan panjang ini dan menjadi lebih bermakna karena kamu ada di sini.”
Indina: “Iya, Andy. Aku juga ngerasa, pendakian ini bukan cuma soal sampai di puncak, tapi soal perjalanan bareng kamu. Aku senang bisa punya teman kayak kamu, yang selalu bikin aku tertawa meski di saat sulit.”
Di Puncak Sejati dan Puncak Rajawali, mereka berdua berdiri bersebelahan, menatap keindahan alam yang terbentang di depan mata mereka. Di saat itu, tanpa banyak kata-kata, mereka tahu bahwa perasaan di “Sepertinya, saat ini aku baru menyadari karena, sang mentari yang muncul di ufuk timur itu masih kalah sinarnya dengan ucapan selamat pagi darimu yang akan selalu kau perdengarkan di telingaku setiap hari.”
Andy: “Din, kalau cinta itu adalah perjalanan, aku senang bisa menjalani perjalanan ini sama kamu. Mungkin kita nggak tahu apa yang ada di depan, tapi yang pasti, selama kita bareng-bareng, semua akan terasa lebih ringan.”
Indina (tersenyum lembut): “Aku juga ngerasa hal yang sama, Andy. Mungkin kita nggak selalu ada di jalan yang mulus, tapi selama kita saling mendukung, aku yakin kita bisa sampai di puncak yang lebih tinggi.”
Mereka saling tersenyum, merasakan kehangatan yang melingkupi hati mereka di tengah dinginnya udara puncak Sumbing. Perjalanan ini, dengan segala tawa dan cedera kecilnya, telah mengajarkan mereka bahwa cinta bisa ditemukan di tempat-tempat yang tak terduga, dan bahwa kebahagiaan sering kali datang dari hal-hal sederhana—seperti perjalanan menuju puncak bersama seseorang yang kita cintai.
Andy perlahan menyanyikan rasa hatinya: “Jangan khawatir, ketika mendaki, bukan puncak tertinggi yang menjadi tujuan utamaku. Pendakianku kulakukan untuk pulang, untuk kembali kepada pelukan hangatmu, Indina pujaan hatiku”. Uhuuyy…
Kreator : Mariza
Comment Closed: Cinta di Puncak Sumbing
Sorry, comment are closed for this post.