Nana adalah seorang siswa SMA Bima Terang kelas X. Pada malam yang tenang, Nana mendapatkan kabar yang mengejutkan bahwa pacarnya, Putra, dekat dengan Fani. Putra dan Fani sudah duduk di Kelas XI mereka selama ini sudah dekat selama 1 minggu lebih. Nana yang mengetahui itu tentu saja merasa sakit hati dan kecewa dengan sikap Putra kepadanya. Hatinya terasa hancur, terutama karena ia selama ini selalu mempercayai dan membela Putra setiap kali ada yang menjelekkan namanya.
Dua minggu pun berlalu tanpa kabar dari Putra, membuat Nana merasa resah. Akhirnya, Nana memberanikan diri untuk mengirimi Putra pesan, namun tidak mendapatkan balasan sama sekali. Dengan berat hati, Nana harus belajar mengikhlaskan Putra yang tampak bahagia dengan pilihannya yang baru.
Beberapa hari kemudian, Nana menerima pesan dari nomor yang tak dikenal yang ternyata adalah Fani. Dia meminta Nana untuk menyimpan nomornya. Setelah Nana menyimpan nomor tersebut, Fani tiba-tiba mengunggah foto bersama Putra. Kenangan lama pun muncul kembali, membuat Nana menangis sepanjang malam.
Esok harinya, dengan mata bengkak, Nana mencoba menjalani harinya seperti biasa. Sesampainya di Kelas Nana hanya diam saja. Saat istirahat, Meli, Lala, dan Dara mencoba menghibur Nana dengan segala candaan mereka. Sesekali Nana tertawa lalu diam lagi.
Bel pulang pun berbunyi. Nana dan ketiga temannya itu berjalan menuju gerbang Sekolah untuk pulang, namun di tengah perjalanan Nana tak sengaja melihat Putra dan Fani pulang bersama dengan berjalan bergandengan tangan. Melihat keduanya bersama, membuat Nana merasa sakit dan kecewa, namun ia sadar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan. Mereka masih berada di sekolah yang sama, sehingga Nana harus menerima kenyataan bahwa pertemuan itu akan sering terjadi.
Satu bulan pun berlalu, namun sangat sulit bagi Nana untuk melupakan mantan kekasihnya itu. Meski sudah melakukan berbagai aktivitas untuk mengalihkan pikiran, bayangan Putra tetap menghantuinya. Hingga suatu hari, Putra mengirimi ia pesan, membuat Nana bingung harus merespon seperti apa.
Nana hanya bisa memandangi layar handphone miliknya, dia bingung harus membalas pesan itu apa. Meskipun dia merasa ragu.
“Apa aku setuju aja ya? Kan cuma main bareng doang. Maafin Nana ya, mbak Fani,” ucap Nana.
Mereka menghabiskan waktu bermain, dan Nana menyadari bahwa dia masih merasakan kebahagiaan saat bersama Putra. Namun, di sisi lain, dia sadar bahwa Putra sudah memiliki Fani, dan tak seharusnya dia menerimanya semudah itu.
Setelah merenungi perasaannya, Nana akhirnya memutuskan untuk berhenti berharap pada Putra. la menutup malam itu dengan mendengarkan lagu “Blue Jeans” dari Gangga Kusuma, sebagai pengantar tidur dan pengingat untuk mulai merelakan serta belajar menerima kenyataan.
Keesokan harinya Nana pergi ke Sekolah dengan suasana hati yang sangat bagus. Selama di perjalanan ke Sekolah dia terus tersenyum manis.
“Hellow, semua, ” sapa Nana dengan senyum hangat.
“Habis ngapain kamu, Na?” jawab Meli dengan keheranan.
“Cerita gak, ya?” ucap Nana sambil mengedipkan satu matanya.
“Dih, gitu ya sekarang? Oke cukup tau. La, Ra, lihat tuh temanmu,” jawab Meli dengan memasang wajah cemberut.
“Ututu Meli, kemarin malam aku tuh habis main bareng sama Putra, gapapa kan? Orang cuma main doang,” ucap Nana dengan raut wajah bahagia.
“Gila, udah tau Putra punya pacar tapi masih aja mau diajak mabar,” saut Lala.
“Udah deh Na, coba lupain Putra secara perlahan. Kita bantu, oke?”ucap Dara.
“Hadeh, aku itu udah nyoba lupain Putra tapi masih aja gak bisa. Iya deh, habis ini aku berusaha lagi. Mohon bantuannya bestie-bestieku tersayang,” ucap Nana.
Tiga bulan pun berlalu, Nana akhirnya bisa melupakan mantan kekasihnya itu berkat bantuan dari teman-temannya. Tak terasa sekarang Nana sudah kelas XI-6
Saat jam pelajaran kosong, keempat orang itu tidak tahu harus melakukan apa. Nana pun memiliki ide untuk mengambil kalender sekolah. Dia memperhatikan satu per satu foto per kelas, lalu matanya tertuju pada foto kelas XII-7. Ketertarikan Nana muncul ketika dia melihat seorang pria di foto tersebut. la kemudian mencari informasi tentang pria itu dari teman-teman sekelasnya, dan mereka memberitahu bahwa namanya adalah Alfian.
Malam harinya, dengan keberanian yang terkumpul, Nana memberanikan diri mengirim pesan kepada Alfian. Namun, dia merasa cemas jika Alfian tidak akan membalas pesannya. Dari raut wajahnya, Nana merasa bahwa Alfian adalah tipe orang yang cuek. Ternyata, dugaan Nana benar; balasan dari Alfian terasa datar dan monoton.
Hari demi hari, Nana terus mencoba untuk lebih dekat dengan Alfian. Dia mulai membalas story WhatsApp-nya dengan berbagai stiker dan komentar acak. Meski awalnya terasa sulit, usaha Nana membuahkan hasil. Tak terasa, delapan bulan pun berlalu, dan hubungan antara Alfian dan Nana semakin dekat.
Saat study tour kelas XII Alfian memberitahu Nana bahwa dia membelikan gelang yang berpasangan. Nana merasa sangat senang mendengar kabar itu, karena itu kali pertama seorang lelaki mau mengeluarkan uang untuknya, sesuatu yang biasanya hanya dilakukan oleh Ayahnya. Begitupun sebaliknya, saat Nana sedang membeli gantungan kunci, dia teringat pada Alfian. Nana memutuskan untuk membeli gantungan kunci karakter ubur-ubur. Nana membeli dua gantungan kunci, satu berwarna biru dan satu lagi ungu. Gantungan kunci berwarna biru dia berikan kepada Alfian, sementara yang ungu dia simpan untuk dirinya sendiri.
Saat perpisahan kelas XII Nana menyiapkan hadiah untuk Alfian.
“Guys, ada yang tau orang yang jualan buket nggak?” tanya Nana ketiga temannya.
“Kayaknya tetangga Fiza jualan deh, coba tanya,” jawab Dara.
Setelah itu Nana pergi untuk menemui Fiza.
“Fiza, katanya tetangga kamu jualan buket, ya? Aku mau pesen dong!”ucap Nana.
“Iya, mau pesan buat kapan? Nanti aku bilangin ke tetanggaku,” jawab Fiza.
“Buat perpisahan. Buket warna merah ya,” saut Nana.
“Oalah, oke deh,” jawab Fiza.
Hari perpisahan pun tiba. Nana dengan semangat datang ke Sekolah untuk memberikan hadiah tersebut ke Alfian. Dia mencari di mana sosok lelaki itu.
“Dia kemana, ya? Apa aku coba mengirimi dia pesan saja, supaya nanti setelah selesai acara dia bisa bertemu dengan aku sebentar,” ucap Nana.
Lima menit sebelum acara selesai, Nana, Meli, dan Lala menuju Lorong Sekolah. Hati Nana berdebar-debar karena ini adalah pertama kalinya dia berinteraksi dengan lelaki yang disukainya.
“Malu,” lirih Nana, suara gemetar.
“Lihat tuh siapa yang jalan ke sini!” ucap Meli, menunjuk ke arah Alfian.
Tanpa banyak bicara, Nana langsung memberikan buket bunga dan tote bag yang dibelinya kemarin.
“Foto bareng dulu, nggak siihh?!” ucap Meli, bersemangat.
“Bener tuh! Sini, aku bantu fotoin!” sahut Lala, tak sabar.
Akhirnya, Alfian dan Nana berdiri berdampingan untuk berfoto bersama untuk pertama kalinya. Keduanya tampak malu, tersenyum canggung di depan kamera.
“Makasih ya!” ucap Alfian, matanya berbinar.
Karena Nana masih tidak percaya bisa berfoto dengan Alfian, dia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Setelah itu, Alfian berlari pergi dengan wajah yang tersipu malu, meninggalkan Nana yang masih tertegun, menyimpan momen indah itu dalam ingatannya.
Pagi hari setelah perpisahan kelas XII, Nana harus menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, bagi Nana, rasanya aneh karena dia kehilangan sosok yang membuatnya semangat untuk pergi ke Sekolah. Sejak saat itu, Nana mulai malas untuk keluar Kelas entah itu ke Kantin, atau Koperasi.
Saat pulang ke Rumah, Nana merasa sangat senang karena dia bisa menceritakan tentang hari-hari yang dia lalui saat bersama dengan Alfian. Begitu juga sebaliknya, Alfian juga berbagi cerita tentang kehidupannya, mulai dari pengalaman di Sekolah barunya, kegiatan ekstrakurikuler, hingga aktivitas lainnya. Mereka saling bertukar cerita satu sama lain, dan terkadang Nana dan Alfian juga bermain game online bersama.
Suatu hari Nana diberitahu temannya yang bernama Putri tentang Alfian.
“Na, kamu kenal Vanya alumni kemarin gak? Yang kelas XII-2,” ucap Putri.
“Enggak, kenapa emangnya?” jawab Nana.
“Di story Instagram mbak Vanya ada Alfian. Kamu gak cemburu, Na?” ucap Putri.
“Eh iya loh, setiap mbak Vanya upload story instagram atau story whatsapp selalu ada Alfian. Entah itu foto bareng-bareng atau video vlog gitu,” saut Nisa.
“Wajar aja, mereka satu kelas pasti dekat,” jawab Nana.
“Friendly-nya,” ucap Meli.
“Tapi aku juga Friendly, Mel. Aku gak ada hak buat ngelarang-larang Alfian untuk gak deket sama cewek lain, statusku sama Alfian itu apa? Kita gak ada hubungan apa-apa juga,” jawab Nana.
Sepanjang jalan pulang Nana terus memikirkan apa yang dikatakan teman-temannya tadi, dia terus diam dan mencerna apa yang terjadi. Nana juga teringat akan pesan yang dikirim Alfian di instagram kala itu.
“Padahal kan niatku bercanda doang, kok malah gitu balasannya, ya,” lirih Nana dengan mata berkaca-kaca.
Hari demi hari, Nana berusaha mengabaikan pesan-pesan yang dikirim oleh Alfian. Namun, pada akhirnya, dia tidak bisa menghindar dari pesan-pesan tersebut. Nana berpikir bahwa jika ia membalas pesan Alfian dengan singkat, mungkin Alfian akan menanyakan keadaannya. Sayangnya, harapannya itu tidak terwujud, Alfian tidak pernah menanyakan tentang perasaannya.
Sebagai cara untuk mengeluarkan emosinya, Nana mulai menggambar. Meskipun dari dulu dia tidak menyukai menggambar, kali ini dia mencoba menghibur dirinya dengan cara tersebut. Ia berharap setelah menggambar, perasaan hatinya akan menjadi lebih baik. Ternyata, harapannya tidak sia-sia. Melalui menggambar, semua masalah yang berputar di pikirannya perlahan-lahan menghilang.
Meskipun hasil gambarannya tidak sempurna, Nana merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil menghadapi dan melawan sesuatu yang selama ini dia benci.
Keesokan harinya, Nana pergi ke sekolah dengan perasaan tidak baik. Di sekolah, dia hanya diam saat ditanya oleh teman-temannya tentang alasannya. Ia mengaku bahwa perutnya sakit, yang sebenarnya adalah alasan kedua. Alasan utamanya adalah Alfian, yang terus menghantuinya sejak ia bangun tidur.
Sepulang sekolah, Nana langsung menuju ke kamarnya dan mulai membereskan barang-barangnya. Setelah itu, ia membuka instagram dan menemukan postingan teman Alfian yang sedang berfoto bersamanya. Nana teringat saat Alfian pernah memberitahunya bahwa dia ditunjuk untuk mengikuti gelar karya P5 yang akan mengadakan fashion show.
Setelah itu, Nana menutup ponselnya, lalu membuka jendela, dan menatap indahnya bintang-bintang yang bersinar terang, meskipun dikelilingi langit yang gelap. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya, seolah bintang-bintang itu mewakili harapan dan kerinduan yang sedang dirasakan.
Terkadang kita terlalu nyaman dengan seseorang, tetapi kita tidak sadar bahwa dia bukan milik kita. Dewa 19, melalui lagu “Pupus,” mampu menciptakan lirik yang penuh makna:
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk s’luruh hatiku
Semoga waktu akan mengilhami
Sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban
Hingga akhirnya kau pun mau
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu.
Malam itu, lirik tersebut benar-benar menggambarkan apa yang dirasakan Nana. Air mata berlinang membasahi pipinya, membuatnya berpikir untuk mengabaikan Alfian sementara waktu ke depan. Dia merasa seolah-olah terjebak dengan perasaannya sendiri, dan rasa sakit yang menghantuinya seakan tidak pernah mereda.
Satu minggu berlalu, Nana berhasil mengabaikan pesan-pesan yang dikirim oleh Alfian, meskipun hatinya tidak tega untuk melakukannya. Setiap ponselnya berbunyi, dia merasakan dorongan untuk membuka pesan itu, tetapi dia berusaha menahan diri. Perasaan campur aduk, ada rasa rindu, tetapi juga keinginan untuk melindungi hatinya sendiri.
Hari-hari berlalu, dan meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkan Alfian, bayang-bayangnya selalu muncul dalam pikirannya. Setiap tempat yang ia kunjungi mengingatkannya pada momen-momen indah yang pernah mereka habiskan bersama. Di sekolah, saat melihat teman-temannya berinteraksi dan tertawa, Nana merasa kesepian yang mendalam. Dia berusaha tersenyum di depan teman-temannya, tetapi jauh di dalam hatinya, kesedihan itu tetap ada.
Suatu sore, saat Nana sedang di kamarnya, dia teringat kembali akan kebersamaannya dengan Alfian. Dia membuka sketsa-sketsanya yang menggambarkan berbagai momen yang mereka lalui. Menggambarkan perasaannya melalui sebuah gambar. Namun, saat ia melihat gambar-gambar itu, air mata kembali mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa mengabaikan Alfian bukanlah solusi untuk menghilangkan rasa sakit yang dia alami.
Dengan keberanian yang baru, Nana memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Alfian. Dia ingin menjelaskan perasaannya, meskipun dia tahu itu mungkin tidak mengubah segalanya. Baginya, ini adalah langkah untuk membebaskan dirinya dari beban yang selama ini mengikatnya.
“Semoga kamu bisa mengerti, Mas,” bisiknya dalam hati sebelum menekan tombol kirim.
Setelah mengirimkan pesan, Nana merasa campur aduk. Ada rasa lega karena akhirnya ia bisa mengungkapkan isi hatinya, tetapi juga kekhawatiran tentang bagaimana reaksi Alfian. Selama berhari-hari, dia merasa terjebak dalam kesunyian emosional, dan kini, dengan satu pesan, dia telah membuka kembali pintu yang pernah ingin ditutupnya.
Menit demi menit berlalu, dan Nana menunggu balasan dari Alfian dengan penuh harapan. Setiap kali ponselnya bergetar, jantungnya berdebar kencang. Rasa frustasi dan cemas menyelimuti pikirannya. Apakah Alfian sudah membaca pesannya? Ataukah dia bahkan tidak peduli?
Suatu malam dengan hujan sebagai iringan, Nana sedang duduk di depan jendela, menatap tetesan air yang meluncur turun. Suara hujan yang lembut yang menciptakan melodi menenangkan, namun tiba-tiba Nana dikejutkan oleh getaran ponselnya. Dengan tangan bergetar, dia melihat layar ponselnya. Sebuah pesan dari Alfian muncul, dan detak jantungnya semakin cepat.
“Maaf, Na. Aku gak bermaksud membuatmu merasa diabaikan. Aku hanya… bingung.”
Nana merasa seolah beban berat yang sudah lama dipikulnya sedikit terangkat. Dia membalas dengan hati-hati, mencoba merangkai kata-kata yang tepat.
“Aku hanya ingin Mas tahu bagaimana perasaanku. Aku tidak bisa terus mengabaikan semua yang terjadi.”
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alfian membalas lagi.
“Aku mengerti. Aku juga merasa bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kau penting bagiku, Na.”
Air mata kebahagiaan mengalir dipipi Nana. Meskipun ada ketidakpastian di depan, setidaknya kini mereka bisa berbicara tentang perasaan masing-masing. Dia merasakan ada harapan baru dalam hubungan mereka, dan itu memberi semangat untuk melangkah ke depan.
Beberapa hari berikutnya, mereka mulai lebih sering berkomunikasi. Nana merasa seperti mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Alfian tidak hanya menjelaskan kebingungannya, tetapi juga menceritakan tentang kehidupannya di sekolah baru. Dia merasa terhubung kembali dengan Alfian, dan dengan setiap percakapan, dia merasakan dinding yang selama ini menghalangi antara mereka mulai runtuh.
Konon, jangan sampai melewatkan cinta di masa ini. Masa putih abu dengan segala asmara yang menggebu. Bagiku, masa paling indah selama masa putih abu adalah saat kelas dua. Semakin aku mengenalnya, semakin aku jatuh cinta padanya.
Si pemilik tubuh tinggi, tegap, mata teduh yang selalu dirindukan, penyuka warna biru tua, mie ayam, karakter anime Kurumi, dan lagu berjudul “Rewrite the Stars” dari James Arthur. Apapun yang berkaitan dengannya, aku akan selalu menyukainya.
Aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’. Bagi dia panggilan ‘Mas’ adalah tanda penghormatan dan keakraban yang menandakan bahwa dia memiliki tempat istimewa di hatiku. Panggilan itu menjadi jembatan emosional yang menghubungkan dua hati, membangkitkan rasa nyaman dan rasa saling memahami yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Setiap kali aku memikirkannya, intro lagu “Aku Milikmu” dari Dewa 19 selalu berputar di kepalaku. Aku adalah salah satu orang yang senang melihatmu baik-baik saja.
Masa putih abu ini bagai kanvas yang belum tergores, tempat setiap kenangan terlukis dengan warna-warna ceria yang takkan pudar. Setiap tawa, setiap tatapan, bahkan setiap keheningan yang terjalin di antara kita, menjadi melodi indah yang mengisi hari-hariku. Seolah waktu berhenti ketika kita bersama, dan dunia di luar sana sirna dalam kebahagiaan yang sederhana. Saat melihatnya tersenyum, semua beban seolah meluntur, dan dalam hatiku, ada keyakinan bahwa cinta ini adalah sesuatu yang tulus, tak lekang oleh waktu.
Meskipun masa ini mungkin hanya sekejap, jejaknya akan selalu membekas dalam ingatanku. Saat-saat kita berbagi mimpi, tertawa, atau sekadar diam saat teleponan adalah momen yang ingin kutangkap dan simpan selamanya. Biarkan kenangan ini menjadi jembatan yang menghubungkan kita meski jarak memisahkan. Jika takdir tidak mengizinkan kita bersama lebih lama maka dalam setiap kata dan setiap ungkapan, namanya akan tetap terukir, menjadi abadi seperti cinta yang takkan pernah padam.
Kreator : Ni’matun Azza
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Cinta di Setiap Masa (bagian 1-6)
Sorry, comment are closed for this post.