Saat semester baru dimulai, kehidupan Nana dan Alfian semakin sibuk dan penuh tantangan. Mereka menghadapi berbagai ujian, baik secara akademis maupun dalam meraih cita-cita masing-masing. Namun, ikatan yang mereka miliki terus menjadi sumber kekuatan untuk tetap bertahan.
Di kampus, Nana mulai menekuni proyek penelitian kecil-kecilan bersama dosen pembimbingnya. Proyek ini tidak hanya menambah pengetahuannya, tetapi juga membuka peluang untuk memperdalam minatnya di bidang kedokteran. Suatu malam, Nana bercerita tentang kegelisahannya kepada Alfian melalui panggilan telepon.
“Mas, aku khawatir proyek penelitian ini akan menyita waktuku lebih banyak lagi. Tugas kuliah saja sudah banyak,” ungkap Nana dengan nada bimbang.
“Aku yakin kamu bisa melalui ini, Na. Penelitian itu peluang yang bagus buat masa depanmu,” jawab Alfian dengan penuh keyakinan.
“Kalau ada yang bisa kubantu, beri tahu saja, ya.”
Dukungan Alfian menguatkan tekad Nana. Ia pun berusaha keras menyelesaikan proyek itu sambil tetap menjalani kuliah dengan baik. Di sisi lain, Alfian semakin sibuk melatih tim taekwondo kampus dan menyiapkan diri untuk kejuaraan nasional. Latihan yang intens dan penuh tantangan membuatnya sering merasa kelelahan. Meski begitu, ia selalu menyempatkan waktu untuk mendengar cerita Nana, yang kini menjadi salah satu sumber kekuatannya.
Seiring waktu, keduanya terus menemukan cara untuk menyesuaikan diri. Mereka berjanji untuk tetap memberi waktu satu sama lain, meski hanya melalui pesan singkat atau panggilan telepon di tengah kesibukan masing-masing. Dalam proses ini, mereka semakin memahami pentingnya komunikasi dan dukungan emosional.
Namun, seperti halnya perjalanan hidup yang penuh lika-liku, suatu ketika sebuah cobaan datang. Pada suatu malam, Nana menghubungi Alfian dengan suara gemetar.
“Mas, proyek penelitianku mengalami kendala besar. Data yang kami kumpulkan tidak sesuai harapan, dan dosen pembimbingku bilang hasilnya harus diulang,” ucapnya dengan nada sedih.
Alfian terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-kata Nana.
“Aku tahu ini berat, Na. Tapi, ingat bagaimana kamu selalu berhasil melewati kesulitan sebelumnya. Ini hanya satu langkah lagi menuju tujuanmu. Aku akan selalu di sini untukmu.”
Dukungan Alfian memberikan Nana kekuatan untuk tidak menyerah. Meskipun merasa frustasi, ia berusaha bangkit dan berfokus pada upaya memperbaiki penelitiannya. Dalam minggu-minggu berikutnya, Nana bekerja keras hingga larut malam, menyusun ulang data dan mencari solusi bersama timnya. Ia juga tetap menjaga komunikasi dengan Alfian, berbagi keluh-kesah dan cerita kecil yang membuatnya merasa lebih ringan.
Di sisi lain, ketika hari kejuaraan nasional tiba, Alfian merasakan kegugupan yang luar biasa. Nana, yang tidak bisa hadir karena jadwal kuliahnya yang padat, mengirimkan pesan singkat yang penuh semangat.
“Mas, aku tahu kamu pasti bisa! Aku di sini, mendukungmu dari jauh. Lakukan yang terbaik, ya!” pesan Nana dengan ikon hati di akhir kalimat.
Alfian membacanya berulang kali, membayangkan Nana yang selalu menjadi penyemangatnya. Dengan perasaan tenang dan penuh semangat, ia memasuki arena pertandingan. Dalam setiap gerakan, ia merasakan keberanian yang lahir dari semua latihan dan dukungan yang telah ia terima. Ketika pertandingan berakhir, Alfian berhasil meraih medali perak, pencapaian tertinggi yang pernah ia raih di tingkat nasional.
Malam itu, mereka melakukan panggilan video untuk merayakan kemenangan Alfian. Meskipun Nana tak bisa hadir secara langsung, kehadirannya lewat layar terasa begitu mendukung dan nyata.
“Aku bangga sekali, Mas! Kamu berhasil!” seru Nana dengan senyum lebar.
“Semua ini juga berkat kamu, Na. Dukunganmu selalu menjadi kekuatanku,” balas Alfian dengan tulus.
Setelah perayaan kecil itu, keduanya merasa semakin kuat menghadapi apa pun yang datang di depan. Mereka menyadari bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan. Hubungan mereka menjadi semakin dalam, karena mereka tidak hanya berbagi kebahagiaan, tetapi juga dukungan penuh dalam masa-masa sulit.
Ketika Nana akhirnya berhasil menyelesaikan proyek penelitiannya dengan hasil yang memuaskan, ia merasakan kebanggaan yang luar biasa. Suatu hari, setelah semuanya selesai, ia mengirim pesan kepada Alfian.
“Mas, proyek penelitianku akhirnya selesai! Rasanya seperti beban besar terangkat,” tulisnya dengan penuh kebahagiaan.
Alfian segera meneleponnya.
“Aku tahu kamu bisa, Na. Aku selalu percaya padamu. Kamu inspirasi buatku.”
Dengan suara penuh kegembiraan, mereka berbicara tentang masa depan. Mereka membicarakan rencana-rencana setelah Nana lulus, keinginan Alfian untuk mengembangkan karier sebagai pelatih profesional, dan impian untuk saling mendukung di tahap kehidupan yang lebih jauh.
Kehidupan mereka masih penuh dengan tantangan, tetapi keduanya semakin yakin bahwa selama mereka memiliki satu sama lain, mereka akan selalu memiliki kekuatan untuk menghadapi segala hal. Meskipun jalan mereka mungkin tidak selalu mudah, mereka tahu bahwa cinta, kerja keras, dan kepercayaan adalah fondasi yang akan membuat mereka bertahan.
Masa depan memang penuh ketidakpastian, namun bagi Nana dan Alfian, setiap langkah yang mereka tempuh bersama adalah bukti dari cinta yang sejati – cinta yang tumbuh dan semakin kuat dari hari ke hari.
Beberapa bulan setelah keberhasilan proyek penelitian Nana dan kemenangan Alfian di kejuaraan nasional, kehidupan mereka berdua mulai menunjukkan perkembangan yang semakin nyata. Nana semakin dikenal di Kampus sebagai salah satu mahasiswa berbakat yang tekun, sementara Alfian mulai dilirik oleh pelatih nasional untuk bergabung dalam pelatihan tingkat lanjut. Meski semakin sibuk, mereka tetap berusaha meluangkan waktu untuk satu sama lain, meskipun hanya melalui pesan singkat atau panggilan singkat di malam hari.
Pada suatu malam yang tenang, Nana dan Alfian berbicara tentang masa depan mereka.
“Mas, aku mulai berpikir tentang rencana setelah lulus nanti. Aku ingin melanjutkan spesialisasi, tapi itu artinya aku harus lebih banyak mengorbankan waktu untuk belajar. Bagaimana menurutmu?” tanya Nana, sedikit khawatir tentang bagaimana rencana ini akan mempengaruhi hubungan mereka.
Alfian terdiam sejenak, mencoba meresapi apa yang dikatakan Nana.
“Itu pilihan yang bagus, Na. Aku akan selalu mendukungmu. Kita sama-sama tahu jalan menuju impian kita tidak akan mudah, tapi aku yakin, selama kita saling mendukung, kita bisa melewati semua.”
Mendengar itu, Nana merasa tenang.
“Terima kasih, Mas. Aku beruntung memiliki kamu di sisiku.”
“Dan aku juga, Na. Kamu adalah alasan aku terus berjuang lebih keras,” balas Alfian.
Seiring berjalannya waktu, Nana pun semakin sibuk mempersiapkan diri untuk ujian akhir dan persiapan masuk program spesialisasi. Di sisi lain, Alfian menerima tawaran untuk berlatih dengan tim nasional. Meski kesempatan ini membawa kebanggaan besar, Alfian tahu bahwa perjalanan ini akan membawanya lebih jauh dari Nana.
Di malam sebelum keberangkatannya untuk menjalani pelatihan di luar kota, Alfian mengajak Nana bertemu. Mereka duduk bersama di taman favorit mereka, menikmati suasana malam yang tenang sambil berbicara tentang banyak hal. Ada kebahagiaan sekaligus kekhawatiran di hati mereka, menyadari bahwa perjalanan ini mungkin akan menjadi ujian besar bagi hubungan mereka.
“Nana, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi,” ujar Alfian, menggenggam tangan Nana dengan hangat.
“Aku juga, Mas. Meski kita akan terpisah jauh, aku percaya kita akan tetap bersama selama kita berusaha menjaga ini,” jawab Nana, suaranya penuh ketegaran.
Malam itu, mereka berjanji untuk tetap saling mendukung, meski jarak akan memisahkan mereka. Setelah pertemuan itu, Nana dan Alfian menjalani hari-hari mereka dengan penuh semangat, meski rasa rindu sering menghampiri. Setiap kali mereka merasa lelah atau ragu, mereka saling mengingatkan akan impian yang ingin mereka capai bersama.
Waktu berlalu, dan keduanya semakin tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Nana berusaha keras menyeimbangkan antara kuliah, periapan sidang skripsi dan pekerjaan paruh waktu di rumah sakit. Sementara itu, Alfian yang berada di pusat pelatihan nasional berlatih dengan tekun dan mengikuti berbagai kompetisi yang semakin mengasah kemampuannya. Komunikasi mereka tidak selalu lancar, namun setiap kali berkesempatan, mereka menyempatkan waktu untuk saling menyapa dan berbagi kabar.
Suatu hari, Alfian berhasil meraih medali emas di kejuaraan tingkat Asia. Meski bahagia dengan prestasi itu, ia merasa ada yang kurang karena Nana tidak bisa hadir untuk melihatnya bertanding. Ia segera menghubungi Nana setelah pertandingan, dan di seberang sana, suara Nana terdengar penuh haru.
“Aku bangga sekali padamu, Mas. Kamu sudah membuktikan bahwa kerja kerasmu terbayar,” ujar Nana dengan nada gembira.
“Ini semua berkat dukunganmu, Na. Kamu selalu menjadi sumber kekuatanku,” jawab Alfian, merasa terharu.
Percakapan itu semakin menguatkan hubungan mereka, meski jarak terus memisahkan. Mereka saling menyemangati, saling mendukung, dan saling mengingatkan akan impian yang ingin dicapai bersama. Mereka sadar bahwa jalan yang akan mereka tempuh mungkin masih penuh tantangan, namun mereka percaya bahwa selama mereka bersama, tidak ada impian yang terlalu tinggi atau rintangan yang terlalu sulit. Bersama, mereka siap menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan, cinta, dan tekad yang tak tergoyahkan.
Beberapa bulan setelahnya, Nana akhirnya berhasil menyelesaikan sidang skripsinya dengan hasil yang memuaskan. Saat itu, Alfian sedang mengikuti pelatihan intensif di luar negeri, sehingga ia tidak bisa hadir di momen penting itu. Namun, di sela-sela kesibukannya, Alfian tetap menyempatkan diri untuk menelepon Nana.
“Selamat, Na. Aku tahu kamu pasti bisa melakukannya,” kata Alfian dengan suara penuh kebanggaan.
“Terima kasih, Mas. Tapi aku juga tidak akan bisa sejauh ini tanpa dukunganmu,” balas Nana. Walaupun bahagia, Nana merasa sedikit rindu karena Alfian tidak bisa ada di sisinya.
Beberapa bulan setelah hari kelulusan Nana, hidup mereka mulai memasuki fase yang lebih stabil. Nana kini resmi bekerja di sebuah rumah sakit besar, menjalani hari-hari yang sibuk sebagai seorang dokter muda yang penuh semangat. Alfian, di sisi lain, semakin dikenal dalam dunia taekwondo setelah berhasil menorehkan berbagai prestasi nasional dan internasional. Meskipun keduanya masih disibukkan oleh karier masing-masing, mereka selalu berusaha menjaga komunikasi dan meluangkan waktu untuk tetap dekat.
Pada suatu malam, setelah jadwal kerja yang padat, Nana duduk bersama Alfian di sebuah kafe kecil. Keduanya berbicara tentang pencapaian mereka dan rencana-rencana untuk masa depan.
“Mas, aku merasa senang sekali bisa membantu pasien-pasienku. Setiap kali aku berhasil membantu mereka, aku merasa inilah panggilan hidupku,” kata Nana dengan senyum tulus.
“Aku bangga padamu, Na. Kamu benar-benar dokter yang hebat. Setiap kali aku lihat kamu bekerja keras untuk membantu orang lain, aku makin yakin bahwa kamu adalah orang yang luar biasa,” balas Alfian, memandang Nana dengan penuh kagum.
Percakapan itu kemudian berlanjut pada impian-impian yang mereka miliki. Nana bercerita tentang keinginannya untuk melanjutkan spesialisasi yang lebih mendalam di bidang kedokteran, sementara Alfian berbicara tentang keinginannya untuk membuka sekolah taekwondo sendiri agar bisa membina anak-anak muda yang memiliki potensi.
“Kita punya banyak impian, ya, Mas,” kata Nana sambil tersenyum.
“Kadang aku merasa, jalan yang kita pilih ini tidak mudah, tapi selama kita punya tujuan yang jelas dan saling mendukung, aku yakin kita bisa mencapainya.”
Alfian mengangguk sambil menggenggam tangan Nana.
“Aku selalu percaya bahwa kita akan sampai di sana, Na. Meskipun jalannya berliku, aku yakin kita bisa menghadapi semuanya bersama.”
Hari-hari berikutnya mereka jalani dengan penuh semangat. Di tengah kesibukan bekerja, Nana dan Alfian terus menyeimbangkan hidup mereka. Setiap akhir pekan yang mereka bisa, mereka bertemu untuk sekadar berbagi cerita atau merencanakan kegiatan bersama. Meskipun waktu bertemu terbatas, setiap momen terasa begitu berarti.
Suatu hari, Nana mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konferensi medis di luar negeri. Kesempatan ini membuka peluang besar baginya untuk memperluas wawasan dan bertemu dengan ahli-ahli kesehatan dari berbagai negara. Dengan dukungan Alfian dan kedua orang tuanya, Nana menerima kesempatan itu dengan senang hati, meskipun ini berarti ia akan jauh dari Alfian dan keluarganya selama beberapa minggu.
Saat berada di konferensi, Nana merasa semakin yakin bahwa bidang yang ia tekuni adalah jalan hidupnya. Ia bertemu dengan banyak profesional yang menginspirasi, mendengar berbagai kisah perjuangan mereka, dan merasa semakin termotivasi untuk menjadi dokter yang lebih baik. Selama di sana, ia terus berbagi pengalaman dan cerita dengan Alfian, yang selalu menyemangatinya dari kejauhan.
Ketika Nana kembali, Alfian menyambutnya dengan pelukan hangat dan kebanggaan yang jelas terpancar di wajahnya.
“Aku tahu kamu akan belajar banyak dari pengalaman ini. Aku bangga sekali padamu, Na,” ujarnya.
“Aku juga merasa makin yakin dengan jalan yang kita pilih, Mas. Aku semakin bersyukur memiliki kamu di sampingku,” balas Nana dengan penuh rasa syukur dan tatapan berbinar.
Waktu terus berlalu, dan cinta mereka semakin kuat. Meskipun perjalanan mereka masih penuh tantangan, Nana dan Alfian telah belajar untuk selalu mendukung satu sama lain, bahkan dalam keadaan terberat sekalipun. Mereka saling mengingatkan bahwa kebahagiaan bukan hanya datang dari pencapaian pribadi, tetapi juga dari kehadiran seseorang yang selalu ada di sisi, saling mendukung, dan mencintai dengan tulus.
Akhirnya, pada suatu malam yang istimewa, Alfian mengajak Nana ke tempat mereka pertama kali bertemu. Di bawah langit berbintang, dengan hati yang penuh cinta, Alfian mengutarakan sesuatu yang sudah lama ia rencanakan.
“Adik Nana, sayangku, cantikku, cintaku, kita kan sudah melalui banyak hal bersama. Kamu itu adalah sahabat, partner, dan kekuatan terbesar dalam hidupku. Aku ingin kita menghadapi segala rintangan dan merayakan setiap kebahagiaan bersama, selamanya,” ujar Alfian sambil menatap mata Nana.
“Mas, aku juga merasa bahwa kita ditakdirkan untuk bersama. Bersama kamu, aku merasa kuat dan siap menghadapi dunia. Akan tetapi, disisi lain aku juga masih ragu dengan semua ini. Aku masih ingin fokus dengan cita-citaku sebagai dokter, Mas.” jawab Nana dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau kamu sanggup, aku mohon sama kamu tunggu sebentar lagi, ya!”
Alfian menatap Nana dalam-dalam, mendengarkan kata-katanya dengan sabar. Ia tahu betul betapa dedikasi Nana pada profesinya sebagai dokter adalah hal yang penting, dan ia menghormati impian Nana. Dengan senyum lembut, Alfian menggenggam tangan Nana lebih erat.
“Nana, aku mengerti. Aku tahu jalan yang kamu tempuh ini bukanlah jalan yang mudah, dan aku sangat menghargai betapa besarnya tekadmu. Aku ada di sini bukan untuk menghalangi impianmu, tetapi untuk mendukungmu,” katanya dengan tulus.
“Kalau kamu butuh waktu, aku akan menunggu. I’m always there for you, no matter how long.”
Nana terharu mendengar kesungguhan di suara Alfian. Meskipun masih ada kekhawatiran dalam hatinya tentang bagaimana mereka bisa mengelola hubungan ini di tengah-tengah tuntutan karier yang begitu menyita, perkataan Alfian membuatnya merasa lega. Ia tahu Alfian bukan hanya sekedar kekasih, tapi juga partner yang mengerti dan mendukung sepenuh hati.
“Mas, terima kasih. Dukunganmu berarti segalanya buatku. Kamu selalu jadi orang yang bisa membuatku merasa tenang,” kata Nana sambil tersenyum hangat.
Malam itu, mereka berbicara lebih lama, membicarakan rencana-rencana jangka panjang yang kini tidak lagi hanya sekedar impian, tetapi juga tantangan yang harus mereka atasi bersama. Mereka berjanji untuk saling menjaga, apa pun yang terjadi, dan untuk tetap terbuka satu sama lain tentang apa yang mereka rasakan di setiap langkah perjalanan ini.
Waktu terus berlalu, dan Nana serta Alfian semakin dewasa dalam menghadapi kehidupan mereka yang penuh tantangan. Nana semakin sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit, seringkali harus menjalani shift malam atau bahkan bekerja tanpa henti selama 24 jam. Di sisi lain, Alfian juga semakin sibuk mempersiapkan pembukaan sekolah taekwondo impiannya sambil tetap mengikuti kejuaraan.
Namun, di tengah kesibukan itu, mereka tetap menjaga rutinitas kecil yang membuat hubungan mereka tetap hidup. Setiap minggu, meski hanya melalui panggilan video, mereka saling berbagi cerita, tertawa, dan menyemangati satu sama lain. Mereka sepakat bahwa komunikasi adalah kunci untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat. Karena saling suka saja nggak cukup untuk membangun sebuah hubungan.
Suatu hari, ketika Alfian selesai melatih di salah satu turnamen, ia menerima pesan dari Nana.
“Mas, nanti malam aku libur. Bisa kita ketemu sebentar? Ada hal yang ingin aku bicarakan.”
Malam itu, mereka bertemu di Taman kota yang sering mereka datangi. Suasana cukup tenang, dengan angin sejuk yang berhembus lembut. Nana tampak sedikit cemas, tapi Alfian segera menggenggam tangannya untuk menenangkan.
“Ada apa, Na? Kamu kelihatan tegang,” tanya Alfian lembut.
Nana menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Mas, aku mendapat tawaran beasiswa untuk mengambil spesialisasi di luar negeri. Ini adalah kesempatan besar, tapi aku juga tahu ini berarti kita akan berjauhan untuk waktu yang lama.”
Sejenak, Alfian terdiam. Meskipun hatinya terasa berat, ia tahu bahwa kesempatan seperti ini adalah impian Nana sejak lama. Ia tersenyum kecil, meski ada sedikit rasa sedih di matanya.
“Na, kamu tahu aku selalu mendukungmu. Kalau ini adalah jalanmu untuk menjadi dokter yang lebih baik, aku ingin kamu mengambilnya,” ujar Alfian dengan suara mantap.
“Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi kita sudah melewati banyak hal bersama. Jarak tidak akan mengubah apa yang aku rasakan.”
Mata Nana berkaca-kaca mendengar jawaban Alfian. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah untuk mereka berdua.
“Mas, aku benar-benar bersyukur punya kamu. Aku takut kita akan semakin jauh, tapi aku juga ingin kita tetap bisa saling percaya,” kata Nana dengan suara pelan.
“Kita pasti bisa, Na,” balas Alfian sambil menggenggam tangan Nana lebih erat.
“Kamu fokuslah pada apa yang ingin kamu capai, dan aku akan tetap ada di sini, mendukungmu.”
Setelah percakapan itu, mereka mulai mempersiapkan diri menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka akan diuji oleh jarak. Nana mengurus segala keperluan untuk keberangkatannya, sementara Alfian semakin sibuk dengan pekerjaannya untuk mengalihkan pikirannya dari rasa rindu yang mulai ia antisipasi.
Hari keberangkatan Nana pun tiba. Di Bandara, dengan mata yang penuh haru, mereka saling berpandangan sebelum berpisah.
“Mas, aku janji akan sering menghubungi dan tidak akan pernah melupakan apa yang kita punya,” ujar Nana, suaranya bergetar.
“Aku percaya sama kamu, Na. Jaga dirimu baik-baik di sana, ya,” balas Alfian sambil memeluk Nana erat untuk terakhir kalinya sebelum ia melangkah ke ruang keberangkatan.
Meskipun terpisah oleh jarak ribuan kilometer, hubungan mereka tetap terjaga. Setiap malam mereka saling berkirim pesan, berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Alfian selalu memastikan untuk mendukung Nana, dan Nana pun selalu meluangkan waktu untuk menyemangati Alfian dalam usahanya mengembangkan sekolah taekwondo.
Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi cinta mereka menjadi bukti bahwa dengan komitmen, kepercayaan, dan saling mendukung, mereka mampu melewati segala rintangan. Waktu berjalan, dan hubungan mereka menjadi semakin kuat, membuktikan bahwa jarak hanyalah sebuah tantangan kecil ketika hati sudah bersatu.
Beberapa bulan setelah Nana berangkat ke luar negeri, dinamika hubungan mereka mulai terasa berbeda. Jadwal Nana yang semakin padat membuat waktu komunikasi mereka berkurang. Di sisi lain, Alfian juga mulai kewalahan dengan sekolah taekwondonya yang berkembang pesat, sehingga waktu untuk sekadar mengirim pesan sering kali terlewat.
Suatu malam, setelah beberapa hari tanpa kabar, Alfian mencoba menelepon Nana. Namun, panggilannya tidak terjawab. Ia mengirim pesan, tapi balasan Nana baru datang keesokan paginya.
“Maaf, Mas. Aku ketiduran tadi. Minggu ini benar-benar melelahkan,” tulis Nana.
Alfian membalas dengan santai, mencoba mengerti. Namun, kejadian serupa terus berulang. Komunikasi yang dulu terasa penuh semangat kini menjadi lebih formal dan jarang. Hal ini perlahan membuat Alfian merasa diabaikan, meski ia berusaha memaklumi kesibukan Nana.
Di sisi lain, Nana juga merasa tekanan besar dari pekerjaannya di luar negeri. Selain jadwal yang padat, ia juga menghadapi tantangan budaya dan bahasa yang membuatnya merasa terisolasi. Rasa rindu pada Alfian terkadang berubah menjadi kesedihan karena ia merasa tidak bisa memberikan perhatian yang cukup untuk hubungan mereka.
Suatu malam, Alfian yang sedang kelelahan setelah melatih siswa-siswa baru mencoba menghubungi Nana untuk melepas rindunya. Setelah beberapa nada sambung, Nana akhirnya menjawab dengan suara lelah.
“Na, kamu sibuk terus akhir-akhir ini. Apa kabar? Aku kangen ngobrol seperti dulu,” kata Alfian, mencoba mengungkapkan perasaannya.
“Aku tahu, Mas. Aku juga kangen, tapi aku benar-benar nggak punya banyak waktu akhir-akhir ini,” jawab Nana singkat.
“Tapi kita nggak bisa terus begini, Na. Aku merasa kita semakin jauh, padahal aku selalu berusaha buat jaga hubungan ini,” ujar Alfian, suaranya mulai bergetar.
Nana terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Mas, aku juga berusaha. Tapi situasiku di sini nggak mudah. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa terus menyeimbangkan semuanya.”
Percakapan itu berubah menjadi perdebatan kecil. Alfian merasa Nana mulai menjauh, sementara Nana merasa tidak dihargai atas usahanya mempertahankan hubungan di tengah kesibukan. Setelah beberapa menit, mereka mengakhiri panggilan dengan perasaan tidak puas.
Hari-hari berikutnya, komunikasi mereka semakin berkurang. Alfian, yang biasanya optimis, mulai mempertanyakan apakah hubungan ini masih bisa dipertahankan. Nana, di sisi lain, merasa bersalah tapi tidak tahu bagaimana mengatasinya tanpa mengorbankan karirnya.
Hingga suatu hari, Alfian menerima kabar dari temannya yang bernama Aril bahwa Nana sering terlihat bersama rekan kerjanya, seorang dokter muda bernama Daniel. Kabar itu membuat hati Alfian terasa berat. Meski ia ingin mempercayai Nana sepenuhnya, benih keraguan mulai tumbuh.
Sementara itu, Nana juga mendengar kabar bahwa Alfian sering dikelilingi oleh murid-murid perempuan di sekolah taekwondonya. Salah satu dari mereka bahkan sering memuji Alfian secara terang-terangan di media sosial. Hal ini membuat Nana mulai merasa cemburu, meskipun ia tahu Alfian tidak pernah memberikan alasan untuk meragukannya.
Jarak dan kesibukan perlahan-lahan menjadi racun yang menguji fondasi cinta mereka. Pertanyaan besar muncul di benak keduanya: apakah hubungan ini masih layak diperjuangkan? Atau mungkin, jarak dan waktu telah membuat mereka berubah tanpa disadari?
Konflik yang mereka alami semakin memuncak ketika komunikasi terakhir mereka berubah menjadi pertengkaran besar. Nana, yang sudah lelah dengan jadwal padat dan tekanan emosional, akhirnya melepaskan apa yang ia pendam.
“Mas, aku nggak tahu apakah kita bisa terus begini. Rasanya setiap kali kita bicara, kita cuma saling menyalahkan. Aku lelah,” ujar Nana dengan suara bergetar, mencoba menahan air mata.
Alfian, yang juga merasa frustasi, menjawab dengan nada kecewa,
“Aku juga lelah, Na. Aku merasa seperti aku yang selalu berusaha menjaga hubungan ini, tapi kamu semakin jauh.”
“Jadi kamu pikir aku nggak berusaha? Aku di sini juga berjuang, Mas! Tapi nggak mungkin aku bisa membagi diriku untuk semuanya. Apa kamu nggak bisa sedikit memahami?” Nana membalas, suaranya meninggi.
“Dan aku juga butuh dipahami, Na! Aku nggak mau terus jadi orang yang menunggu tanpa tahu apakah kita masih punya masa depan!” balas Alfian tajam.
Percakapan itu berakhir dengan keheningan yang berat. Setelah menutup telepon, Nana dan Alfian sama-sama merasa kosong. Mereka tidak tahu bagaimana melanjutkan hubungan ini tanpa terus saling melukai.
Beberapa minggu berlalu tanpa komunikasi. Nana mencoba fokus pada studinya, sementara Alfian mengalihkan perasaannya dengan menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah taekwondo. Namun, di balik kesibukan mereka, rasa rindu tetap ada, meskipun kini disertai oleh keraguan yang semakin besar.
Di suatu malam yang tenang, Nana duduk sendirian di kamar asramanya. Ia membuka album foto di ponselnya dan melihat foto-foto kenangan bersama Alfian. Air matanya jatuh. Ia menyadari bahwa meskipun mereka sering bertengkar akhir-akhir ini, Alfian adalah seseorang yang selalu mendukung dan mencintainya dengan tulus.
Sementara itu, Alfian, yang sedang duduk di ruang kantornya, melihat selembar tiket konser yang pernah mereka beli bersama sebelum Nana berangkat. Ia mengingat kembali bagaimana mereka saling menguatkan di masa-masa sulit, dan hatinya mulai merasa bersalah karena telah menyalahkan Nana atas jarak di antara mereka.
Beberapa minggu setelah konflik terakhir mereka, kabar tentang kedekatan Nana dengan Daniel, rekan kerjanya, semakin kerap sampai ke telinga Alfian melalui teman-temannya. Awalnya, Alfian mencoba mengabaikan cerita tersebut, menganggapnya sebagai gosip belaka. Namun, satu malam, salah satu teman Alfian mengirimkan foto Nana yang sedang makan malam bersama Daniel di sebuah restoran. Meskipun Nana terlihat bersama beberapa rekan lainnya, fokus Alfian hanya tertuju pada keakraban Nana dengan Daniel.
Hatinya mendidih. Alfian merasa cemburu dan marah, tapi ia tidak tahu bagaimana cara membicarakannya dengan Nana tanpa membuat segalanya semakin rumit. Namun, rasa cemburu itu semakin menguasainya hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Nana.
Panggilan telepon itu berlangsung tegang sejak awal.
“Na, aku cuma mau nanya satu hal,” ujar Alfian dengan nada dingin.
“Daniel itu siapa?”
Pertanyaan itu membuat Nana terdiam. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tidak menyangka Alfian akan langsung menanyakannya.
“Mas, Daniel cuma rekan kerja. Aku sering kerja bareng dia karena kami satu tim,” jawab Nana dengan suara pelan, mencoba menjelaskan.
“Rekan kerja? Jadi, makan malam bareng itu juga cuma bagian dari kerja?” Alfian membalas, suaranya mulai meninggi.
“Mas, itu makan malam tim. Bukan cuma aku dan Daniel. Kalau kamu nggak percaya, aku bisa jelasin,” kata Nana, kini terdengar kesal.
“Bukan soal makan malamnya, Na. Tapi aku merasa kamu lebih sering habiskan waktu sama dia daripada kasih waktu buat kita,” ujar Alfian, suaranya terdengar kecewa. “Aku nggak tahu apa kamu masih anggap aku penting atau nggak.”
Nana merasa tuduhan itu tidak adil. Ia mencoba menahan emosinya.
“Mas, aku sibuk di sini, dan Daniel cuma teman kerja. Aku nggak pernah sekalipun berpikir buat menggantikan posisi kamu,” tegas Nana.
“Tapi kalau kamu terus-terusan mikir negatif, aku nggak tahu apalagi yang harus aku lakuin buat bikin kamu percaya.”
“Tapi kenapa aku harus percaya kalau kamu sendiri makin jauh, Na?” balas Alfian.
Percakapan itu berubah menjadi argumen sengit. Alfian tidak bisa menahan rasa cemburunya, sementara Nana merasa lelah harus terus membuktikan kesetiaannya.
…
Setelah panggilan itu, hubungan mereka terasa semakin renggang. Nana merasa kesal karena Alfian tidak mempercayainya, sementara Alfian terus dihantui oleh bayangan bahwa Nana mulai menemukan kenyamanan dengan Daniel.
Beberapa waktu kemudian, Daniel menyadari perubahan sikap Nana. Ia mencoba menghibur Nana, mengajaknya bicara di sela-sela jam istirahat.
“Kamu kelihatan nggak seperti biasanya, Na. Ada masalah?” tanya Daniel, nada suaranya tulus.
Nana menghela napas.
“Hanya masalah pribadi. Hubungan jarak jauh itu ternyata lebih sulit dari yang aku bayangkan.”
Daniel tidak menekan Nana untuk bercerita lebih banyak, tapi perhatian dan dukungannya membuat Nana merasa sedikit lebih tenang. Tanpa disadari, kehadiran Daniel menjadi semacam pelarian bagi Nana dari tekanan emosionalnya.
Namun, hal ini semakin memperumit perasaannya. Di satu sisi, ia mencintai Alfian dan tidak ingin kehilangan hubungan mereka. Di sisi lain, kedekatannya dengan Daniel mulai menimbulkan pertanyaan besar dalam dirinya. Apakah ia masih mampu memperjuangkan hubungan yang kini terasa lebih banyak menyakitinya?
Di sisi lain, Alfian memutuskan untuk mengambil tindakan lebih besar. Ia membeli tiket untuk mengunjungi Nana, berharap pertemuan langsung bisa memperbaiki hubungan mereka. Tanpa memberi tahu Nana, ia tiba-tiba muncul di depan apartemennya.
Ketika Nana membuka pintu, ia terlihat kaget sekaligus bingung.
“Mas? Kok kamu di sini?” tanyanya.
“Aku pikir, kita perlu bicara langsung. Aku nggak mau semuanya berakhir cuma karena kita nggak pernah ketemu,” ujar Alfian, berusaha tenang meski hatinya dipenuhi emosi campur aduk.
Namun, sebelum Nana sempat menjawab, suara Daniel terdengar dari dalam apartemen.
“Nana, kamu mau kopi lagi?” tanyanya santai, sebelum muncul di belakang Nana dengan secangkir kopi di tangannya.
Melihat itu, wajah Alfian berubah tegang. Suasana tiba-tiba menjadi canggung dan Nana terlihat panik. Ia mencoba menjelaskan, tapi Alfian sudah terlalu terkejut untuk mendengar apa pun.
“Jadi ini yang kamu bilang cuma rekan kerja, Na?” ujar Alfian, suaranya penuh luka.
Nana mencoba menjelaskan.
“Mas, tolong dengar dulu. Daniel cuma mampir untuk ngobrol soal kerja. Nggak ada apa-apa.”
Tapi Alfian hanya menggeleng, rasa kecewa begitu kentara di wajahnya.
“Aku pikir aku datang ke sini untuk memperbaiki semuanya, tapi sepertinya aku salah.”
Tanpa menunggu jawaban Nana, Alfian berbalik pergi, meninggalkan Nana yang kini hanya bisa terdiam dengan air mata mulai menggenang di matanya.
Di sisi lain, Alfian merasa hatinya hancur. Ia tidak tahu apakah hubungan ini masih bisa diselamatkan, atau apakah cinta mereka sudah benar-benar terkubur oleh jarak, kesalahpahaman, dan waktu.
Kreator : Ni’matun Azza
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Cinta di Setiap Masa (bagian 11-15)
Sorry, comment are closed for this post.