Kebersamaan Nana dan Alfian semakin terasa erat. Setiap hari, mereka berbagi cerita, saling mendukung. Meskipun jarak memisahkan mereka, komunikasi mereka lebih intens dari sebelumnya. Namun, di tengah kehangatan hubungan yang baru terjalin kembali itu, konflik baru mulai muncul ketika Alfian mulai fokus pada persiapannya untuk lomba taekwondo tingkat nasional.
Selain sebagai seorang mahasiswa Alfian juga atlet taekwondo berbakat yang sudah lama bercita-cita memenangkan kompetisi nasional. Kemenangan ini sangat berarti baginya, dan ia berlatih keras setiap hari. Ia mulai sering menghabiskan waktu di pusat latihan, menjalani sesi-sesi latihan fisik yang berat, serta mengatur pola makan dan rutinitasnya dengan ketat.
Pada awalnya, Nana mendukung penuh keputusan Alfian. Ia tahu betapa pentingnya kejuaraan ini bagi Alfian, dan ia selalu memberikan semangat, meski hanya lewat pesan singkat. Namun, seiring berjalannya waktu, Nana mulai merasakan jarak kembali. Balasan pesan dari Alfian sering terlambat atau bahkan terlewat. Setiap kali Nana mengirim pesan, balasan Alfian singkat, dan sering kali diiringi dengan permintaan maaf karena terlalu sibuk.
Rasa kesepian mulai muncul di hati Nana. Ia merasa bahwa setelah sekian lama mereka berusaha membangun kembali hubungan, kini justru ia merasa ditinggalkan lagi. Suatu malam, setelah seharian menunggu balasan dari Alfian tanpa hasil, Nana akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.
“Mas, akhir-akhir ini kita jarang ngobrol lagi. Aku paham kamu sibuk latihan, tapi aku merasa seperti kamu perlahan menjauh,” tulisnya.
Balasan Alfian datang tak lama setelahnya.
“Maaf, Na. Aku benar-benar terfokus sama latihan ini. Kejuaraan ini kesempatan yang mungkin nggak datang dua kali. Tapi aku nggak bermaksud mengabaikan kamu. Percayalah, kamu tetap penting buat aku.”
Meski sudah menerima penjelasan Alfian, Nana merasa galau. Ia ingin mendukung Alfian sepenuh hati, namun di sisi lain, ia tak bisa menutupi perasaan diabaikan itu. Karena saling suka saja nggak cukup untuk membangun suatu hubungan. Butuh kenyamanan, saling percaya, komunikasi dan rasa memiliki satu sama lain.
Beberapa hari berlalu dengan komunikasi yang semakin renggang. Nana mulai merasa ragu dan bertanya-tanya apakah perasaannya ini hanya akan menjadi beban bagi Alfian. Di satu sisi, ia merasa egois untuk menginginkan perhatian lebih saat Alfian sedang berjuang meraih impiannya.
Suatu sore, Nana menerima pesan suara dari Alfian. Suaranya terdengar lelah, namun tetap hangat.
“Na, aku tahu aku belum jadi pasangan yang baik. Aku terlalu terfokus sama kejuaraan ini. Tapi setelah ini selesai, aku janji akan memperbaiki semuanya. Tolong jangan pergi dulu, ya. Aku ingin kamu tetap ada di sisiku saat aku berhasil atau gagal nanti.”
Pesan itu menyentuh hati Nana. Ia memahami bahwa kejuaraan ini adalah bagian dari hidup Alfian, dan ia ingin menjadi orang yang bisa mendukung Alfian, baik dalam kemenangan maupun kekalahan. Maka, ia membalas dengan singkat namun tulus.
“Aku akan selalu di sini, Mas. Lakukan yang terbaik. Aku percaya padamu.”
Hari pertandingan tiba, dan Nana dengan penuh harap menunggu kabar dari Alfian. Setelah menanti beberapa jam yang terasa begitu panjang, akhirnya pesan dari Alfian tiba.
“Aku nggak menang, Na. Tapi aku merasa puas. Aku sudah berjuang sebaik mungkin.”
Nana segera menelepon Alfian. Suaranya penuh empati dan kehangatan saat ia berbicara.
“Aku bangga padamu, Mas. Kamu sudah melakukan yang terbaik dan itu yang terpenting.”
Alfian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada haru.
“Terima kasih, Na. Karena kamu tetap ada di sini buatku.”
Percakapan itu menjadi titik balik bagi mereka. Alfian sadar bahwa kehadiran Nana adalah dukungan terbesarnya, dan Nana pun merasa bahwa meskipun ada banyak rintangan, mereka bisa melewati semuanya dengan saling percaya dan memahami. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi dengan adanya komunikasi dan pengertian, mereka yakin bisa menghadapi segala konflik yang mungkin muncul di masa depan.
Setelah kegagalan di kejuaraan, Alfian sempat merasa terpukul. Namun, dukungan Nana membuatnya bangkit kembali, dan ia mulai mengatur rencana untuk mencoba lagi di kompetisi tahun depan. Namun, seiring dengan persiapan yang intens, Alfian menerima tawaran untuk menjadi asisten pelatih di klub taekwondo setempat. Kesempatan ini memberinya peluang karir baru, namun sekaligus membuat jadwalnya semakin padat.
Awalnya, Nana kembali mendukung penuh keputusan Alfian, berharap bahwa pekerjaan barunya akan memberi makna lebih dalam hidupnya setelah kegagalan di kejuaraan. Namun, dengan jadwal latihan dan pelatihan yang semakin penuh, komunikasi mereka semakin sulit. Nana sering mendapati dirinya menunggu balasan pesan yang tak kunjung tiba, dan bahkan ketika balasan datang, isi pesan Alfian semakin singkat.
Suatu malam, setelah beberapa hari tanpa kabar dari Alfian, Nana merasa tak tahan lagi. Dia mengirim pesan panjang yang jujur tentang perasaannya.
“Mas, aku senang kamu punya kesempatan di bidang yang kamu cintai. Tapi, aku merasa seperti kehilangan kamu. Aku nggak tahu apakah aku terlalu menuntut atau kamu memang sudah nggak punya waktu buat kita.”
Balasan dari Alfian datang dengan cepat kali ini.
“Aku mengerti, Na. Maaf kalau aku kurang perhatian. Aku hanya mencoba fokus dan nggak mau gagal lagi. Aku nggak mau kamu merasa diabaikan, tapi aku juga harus mengejar mimpiku.”
Pesan itu menimbulkan perasaan campur aduk bagi Nana. Di satu sisi, dia mengerti apa yang sedang Alfian perjuangkan. Tapi di sisi lain, dia merasa bahwa hubungan mereka selalu tergeser ke prioritas kedua, sementara dia terus-menerus menunggu dan berharap Alfian bisa memberikan lebih banyak waktu untuknya.
Beberapa minggu kemudian, keadaan menjadi semakin tegang ketika Alfian harus pergi ke luar kota untuk mengikuti pelatihan khusus yang disponsori klubnya. Kepergiannya selama beberapa minggu itu membuat Nana merasa semakin jauh, dan komunikasi mereka hampir tak ada. Setiap pesan yang Nana kirim sering hanya dibalas beberapa hari kemudian dengan alasan “sibuk.”
Kesepian dan frustasi mulai menguasai Nana. Hingga suatu malam, tanpa sengaja dia melihat media sosial Alfian yang menunjukkan foto dirinya bersama rekan-rekan pelatih dan atlet lain. Nana merasa terluka, melihat bagaimana Alfian tampak bahagia di sana, sementara ia diabaikan di kejauhan. Nana mulai mempertanyakan, apakah perjuangannya untuk tetap mendukung Alfian selama ini sepadan dengan pengorbanan yang ia rasakan?
Dengan perasaan yang semakin kacau, Nana memutuskan untuk mengungkapkan seluruh kegelisahannya saat Alfian kembali. Ketika mereka akhirnya bertemu setelah Alfian pulang dari pelatihan, Nana langsung mengungkapkan kekecewaannya.
“Mas, aku nggak tahu lagi apakah aku bisa terus seperti ini. Kamu selalu sibuk, dan aku merasa aku hanya menjadi bagian yang harus menunggu di hidupmu. Aku ingin kita bisa lebih sering bersama, tapi aku selalu merasa seperti orang asing di dunia kamu.”
Alfian terkejut mendengar kalimat itu. Dia mencoba menjelaskan bahwa semua yang dia lakukan adalah demi masa depan mereka, tapi dia pun sadar bahwa dia telah terlalu tenggelam dalam ambisi dan mimpinya sendiri hingga melupakan Nana.
Percakapan mereka malam itu berlangsung panjang, penuh dengan kejujuran yang tak pernah mereka ucapkan sebelumnya. Di tengah perdebatan yang emosional, Alfian akhirnya berkata dengan lembut.
“Na, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak sadar kalau aku sudah membuatmu merasa seperti ini. Aku akan belajar membagi waktu dan mengutamakan kamu juga. Kamu adalah bagian dari mimpi dan hidupku, bukan hanya tujuan yang menunggu di akhir perjalanan ini.”
Malam itu menjadi momen refleksi bagi Alfian. Dia mulai menyadari bahwa keberhasilan dan mimpinya tak akan berarti tanpa Nana di sisinya. Sejak saat itu, Alfian berusaha lebih konsisten menghubungi Nana, mengajak berbagi cerita setiap malam, dan memberikan waktu lebih meski di sela-sela kesibukannya. Bagi Nana, meskipun masih ada luka yang tersisa, ia merasa sedikit lega melihat perubahan Alfian dan harapan baru bagi hubungan mereka. Mereka pun berjanji, untuk kali ini, akan selalu memperjuangkan satu sama lain tanpa ada yang merasa ditinggalkan.
Nana merasa lega dan bahagia setelah berhasil menyelesaikan sekolah menengahnya. Selama ini, ia telah berusaha keras, tidak hanya untuk mencapai nilai yang baik, tetapi juga untuk mendukung Alfian dalam perjalanan taekwondo-nya. Ujian akhir memberikan tekanan tersendiri, tetapi kini semuanya terbayar. Dalam perayaan kelulusan yang sederhana, Nana merasakan semangat baru dalam hidupnya.
Setelah kelulusan, Nana memutuskan untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Meskipun ada rasa cemas menghadapi perubahan ini, ia merasa bersemangat untuk menantang dirinya sendiri lebih jauh. Ia ingin mengambil jurusan kedokteran, karena ia selalu memiliki minat yang besar dalam bidang kesehatan dan ingin menjadi seorang dokter yang dapat membantu orang lain. Nana merasa bahwa menjadi dokter adalah panggilan hidupnya, dan ia ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat.
Setelah melalui proses pendaftaran dan ujian masuk yang ketat, Nana diterima di perguruan tinggi kedokteran terkemuka di kota. Berita ini membuatnya sangat gembira, dan ia segera membagikannya kepada Alfian.
“Mas, aku diterima di kedokteran! Aku benar-benar tidak sabar untuk memulai perjalanan ini,” ungkap Nana dengan penuh semangat saat mereka melakukan panggilan video.
“Wah, selamat, Na! Aku bangga padamu!” Alfian menjawab dengan senyuman lebar.
“Ini adalah langkah besar untukmu. Aku yakin kamu akan menjadi dokter yang hebat.”
Nana merasa bahagia dengan dukungan Alfian. Namun, ia juga menyadari bahwa perjalanan di perguruan tinggi kedokteran tidak akan mudah. Tekanan akademis, jadwal yang padat, dan tanggung jawab baru akan menjadi tantangan tersendiri. Meskipun demikian, ia bertekad untuk menghadapi semua itu dengan semangat yang tinggi.
Hari pertama di kampus dimulai dengan orientasi bagi mahasiswa baru. Nana melihat banyak wajah baru dan merasakan campuran kegembiraan serta kecemasan. Namun, semangatnya tidak pudar. Ia bertemu dengan beberapa teman sekelas yang juga memiliki cita-cita yang sama, dan mereka mulai membangun persahabatan yang erat.
Sementara itu, Alfian juga mempersiapkan diri untuk kompetisi berikutnya. Meski ia mengalami kegagalan di kejuaraan sebelumnya, semangatnya tak pudar. Ia terus berlatih, dan setelah beberapa bulan, ia mulai merasakan kemajuan yang signifikan. Komunikasi antara Nana dan Alfian perlahan-lahan kembali hangat. Mereka berbagi pengalaman baru, baik dari kehidupan kampus Nana maupun latihan intensif Alfian.
Suatu malam, mereka melakukan panggilan video. Nana menceritakan tentang teman-teman barunya di kampus dan bagaimana mereka saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi tugas dan ujian. Sementara itu, Alfian berbagi kisah dari pusat latihan, bagaimana ia berusaha mengatasi rasa sakit dan kelelahan yang menghampiri setiap sesi latihan.
“Mungkin kita bisa bertemu di akhir pekan ini?” Alfian mengusulkan dengan nada ceria.
“Aku ingin merayakan kelulusanmu dan menceritakan rencanaku untuk kejuaraan berikutnya.”
Nana merasa senang dengan ide itu.
“Aku juga ingin sekali! Aku sudah merindukanmu, Mas.” balasnya dengan antusias.
Akhir pekan tiba, dan mereka merencanakan pertemuan di sebuah kafe favorit mereka. Saat bertemu, suasana penuh keceriaan. Mereka berbincang, tertawa, dan saling mendukung satu sama lain. Alfian membawakan Nana sebuah buku motivasi yang ia temukan, sementara Nana memberinya catatan kecil berisi semangat dan harapan untuk lomba berikutnya.
Namun, saat mereka duduk di sana, ada satu hal yang mengganjal di hati Nana. Ia merasa perlu untuk mengungkapkan ketakutannya, yang sempat terpendam.
“Mas, aku ingin berbicara tentang sesuatu,” katanya dengan ragu.
“Ada apa, Na? Kamu terlihat serius,” Alfian menatapnya dengan perhatian.
Nana menarik napas dalam-dalam.
“Aku merasa, dengan semua kesibukan kita, kita harus mencari cara agar kita tidak kehilangan momen-momen berharga dalam hubungan ini. Aku tidak ingin kita terjebak dalam rutinitas dan jarak lagi.”
Alfian mengangguk.
“Aku juga berpikir tentang itu. Kita perlu mengatur waktu untuk satu sama lain, meskipun sibuk. Kamu adalah bagian penting dari hidupku, dan aku tidak ingin kehilanganmu.”
Mereka berdua sepakat untuk lebih aktif merencanakan waktu bersama, meskipun hanya sekedar mengobrol lewat video call atau melakukan aktivitas kecil saat Alfian memiliki waktu luang. Keberanian Nana untuk berbicara mengenai ketakutannya membuat hubungan mereka semakin kuat. Mereka memahami bahwa komunikasi dan kejujuran adalah kunci untuk menjaga hubungan ini tetap sehat.
Seiring waktu, Nana mulai merasakan tekanan dari tuntutan akademis yang tinggi. Tugas kuliah yang menumpuk dan ujian yang mendekat membuatnya sering merasa stres. Di sisi lain, Alfian juga merasakan beban yang sama dalam persiapannya untuk lomba. Suatu malam, saat mereka sedang berbicara, Nana membagikan perasaannya.
“Mas, kadang aku merasa overwhelmed dengan semua ini. Aku ingin melakukan yang terbaik, tetapi aku juga merasa tidak cukup mampu,” ucap Nana dengan suara penuh keraguan.
“Na, kamu bukan sendiri. Kita sama-sama menghadapi tantangan ini. Ingat, kamu sudah berhasil melewati ujian akhir dan sekarang kamu di sini. Kamu bisa melakukannya,” Alfian menjawab dengan tegas, memberikan semangat.
Mendengar kata-kata Alfian, Nana merasa sedikit tenang. Ia menyadari bahwa dukungan satu sama lain sangat penting dalam melewati masa-masa sulit ini.
“Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha lebih keras. Kita harus saling menguatkan,” balasnya.
Sebagai bentuk dukungan, Alfian berusaha untuk lebih sering memberikan kabar dan motivasi kepada Nana. Ia juga mengingatkan Nana untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri dan untuk menjaga keseimbangan antara belajar dan beristirahat.
Hari-hari berlalu, dan keduanya terus berjuang dengan impian masing-masing. Nana menghadapi tantangan baru di dunia perkuliahan, belajar untuk mengatur waktu dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Alfian terus berlatih, berkomitmen untuk menjadi lebih baik di setiap sesi.
Setiap kali mereka berkomunikasi, mereka saling menguatkan, berbagi cerita, dan mengatasi tantangan yang dihadapi. Dengan semangat saling mendukung, mereka belajar bahwa meskipun ada rintangan yang harus dilalui, hubungan mereka bisa bertahan dan bahkan tumbuh lebih kuat.
Akhirnya, ketika Alfian mengikuti kejuaraan taekwondo yang baru, Nana datang memberikan dukungan langsung. Melihat Alfian bertanding di lapangan, hatinya penuh kebanggaan. Alfian bertanding dengan semangat dan disiplin yang luar biasa, dan ketika ia berhasil meraih medali perunggu, Nana berlari untuk memeluknya.
“Selamat, Mas! Aku bangga padamu!” serunya penuh kegembiraan.
Alfian tersenyum lebar, merasakan kebahagiaan bukan hanya dari medali, tetapi juga dari kehadiran Nana di sampingnya.
“Ini untuk kita, Na. Semua kerja keras kita berbuah manis.”
Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dengan berbagai tantangan yang mungkin akan datang. Namun, dengan saling mendukung dan memahami satu sama lain, mereka merasa siap menghadapi semua itu bersama.
Kemenangan Alfian menjadi momen berharga bagi mereka berdua, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya saling mendukung. Saat keduanya merayakan pencapaian tersebut, Nana semakin merasa berkomitmen untuk mencapai impiannya di bidang kedokteran.
Seiring semester berlalu, Nana terus berjuang dengan tantangan akademisnya, dan Alfian terus memperjuangkan karir taekwondonya. Meski ada saat-saat sulit, mereka tetap saling memberikan motivasi, dan setiap pencapaian kecil menjadi batu loncatan bagi mereka untuk terus melangkah maju.
Nana pun tidak hanya belajar tentang kedokteran, tetapi juga tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup. Ia mulai menerapkan manajemen waktu yang lebih baik, menyisihkan waktu untuk bersantai, bersosialisasi, dan tetap terhubung dengan Alfian.
Suatu malam, saat mereka berbicara tentang rencana masa depan, Nana mengatakan, “Aku berharap suatu hari nanti kita bisa bekerja sama, kamu sebagai pelatih taekwondo dan aku sebagai dokter. Kita bisa membangun pusat rehabilitasi untuk atlet yang membutuhkan perawatan dan dukungan.”
Alfian terdiam sejenak, lalu menjawab, “Itu ide yang luar biasa, Na. Kita bisa memberikan dampak positif bagi banyak orang. Aku akan mendukungmu sepenuhnya.”
Dengan rencana masa depan yang semakin jelas, Nana dan Alfian merasa lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dengan kerja keras dan dukungan satu sama lain, mereka yakin bisa mencapai semua impian mereka.
Nana dan Alfian terus menapaki jalan yang penuh tantangan, tetapi mereka melakukannya dengan penuh semangat dan saling mendukung. Saat semester pertama di perguruan tinggi dimulai, Nana merasakan perubahan yang signifikan dalam rutinitasnya. Banyaknya tugas dan materi yang harus dikuasai membuatnya merasa terbebani, namun ia berusaha untuk tetap fokus dan berkomitmen pada impiannya.
Di sisi lain, Alfian juga merasakan tekanan dalam persiapannya untuk kejuaraan taekwondo yang akan datang. Ia berlatih dengan tekun, memanfaatkan setiap kesempatan untuk meningkatkan keterampilannya. Terkadang, mereka berdua merasa kelelahan, tetapi mereka tahu bahwa dukungan satu sama lain adalah kunci untuk menghadapi setiap rintangan.
Setiap akhir pekan, mereka menyempatkan diri untuk bertemu. Meskipun pertemuan mereka singkat, setiap momen terasa berharga. Mereka berbagi cerita tentang kemajuan masing-masing, dan itu menjadi sumber motivasi bagi mereka.
“Kamu tahu, setiap kali aku berlatih, aku selalu memikirkan kata-katamu. Itu memberiku semangat untuk tidak menyerah,” ungkap Alfian saat mereka duduk di kafe favorit mereka.
“Dan, aku juga. Ketika tugas kuliah mulai menumpuk, aku ingat betapa kerasnya kamu berlatih. Itu membuatku merasa tidak boleh menyerah,” balas Nana, tersenyum.
Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Suatu malam, saat mereka melakukan panggilan video, Nana tampak murung.
“Mas, aku merasa stres dengan semua tugas ini. Kadang aku merasa tidak bisa mengatasinya,” ungkapnya dengan suara lembut.
“Na, aku mengerti. Semua orang pasti pernah merasakannya. Coba ingat, kamu sudah berjuang sejauh ini. Kita bisa melalui ini bersama,” Alfian menjawab dengan nada menenangkan. “Apa yang bisa aku bantu?”
Nana merenung sejenak.
“Aku rasa, aku hanya perlu berbicara tentang ini. Tapi aku juga butuh dukungan lebih. Mungkin kita bisa belajar bersama? Aku ingin belajar cara mengatur waktu lebih baik,” usulnya.
“Bagus, kita bisa atur waktu belajar bersama secara daring. Kita bisa saling menjelaskan materi yang sulit dan mendorong satu sama lain,” Alfian menyetujui.
“Jadi, kapan kita mulai?”
Dengan semangat baru, mereka merencanakan sesi belajar bersama. Hal ini membuat Nana merasa lebih tenang dan terorganisir. Mereka memilih malam-malam tertentu untuk belajar, dan Alfian selalu ada untuk mendukungnya. Saat belajar, mereka juga tidak lupa untuk bercanda dan mengingatkan satu sama lain untuk beristirahat sejenak agar tidak terlalu lelah.
Dalam perjalanan akademisnya, Nana mulai merasakan kemajuan. Nilai-nilai yang ia dapatkan mulai menunjukkan perbaikan, dan itu membuatnya merasa bangga. Ia menyadari bahwa dengan kerja keras dan dukungan dari Alfian, segala sesuatu menjadi lebih mungkin.
Suatu hari, Nana mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seminar kesehatan di kampus. Ia merasa sangat bersemangat dan langsung menghubungi Alfian.
“Mas, aku dapat kesempatan untuk ikut seminar! Ini akan sangat bermanfaat untuk kuliahku,” ungkap Nana dengan penuh antusiasme.
“Wow, itu luar biasa, Na! Aku sangat bangga padamu! Kamu harus mencatat semua yang kamu pelajari,” balas Alfian, senang mendengar berita baik itu.
Saat seminar berlangsung, Nana merasakan semangat yang luar biasa. Ia bertemu dengan banyak profesional di bidang kesehatan dan mendengarkan pengalaman mereka. Salah satu pembicara adalah seorang dokter spesialis yang berbagi perjalanan kariernya.
“Saya selalu percaya bahwa setiap usaha yang kita lakukan untuk belajar dan membantu orang lain adalah langkah menuju kesuksesan,” katanya.
Kata-kata itu membekas di hati Nana. Ia merasa terinspirasi dan semakin yakin bahwa ia berada di jalur yang benar untuk mencapai impiannya. Setelah seminar, Nana pulang dengan bersemangat dan tidak sabar untuk berbagi cerita dengan Alfian.
“Malam ini sangat mengesankan, Mas! Aku belajar banyak dari dokter-dokter hebat. Aku merasa semakin yakin untuk menjadi dokter!” ceritanya dengan mata berbinar-binar saat mereka melakukan panggilan video malam itu.
“Luar biasa! Kamu pasti akan menjadi dokter yang hebat, Na. Semangatmu luar biasa,” Alfian merespons, merasakan kebanggaan yang mendalam untuk Nana.
Saat waktu berlalu, tekanan akademis dan latihan Alfian semakin meningkat, tetapi mereka tetap berusaha menjaga komunikasi yang baik. Namun, ada saat-saat ketika keduanya merasa lelah dan tertekan. Dalam satu malam, setelah latihan panjang, Alfian menghubungi Nana dengan suara lesu.
“Na, aku tidak yakin bisa bertahan dengan semua ini. Latihanku sangat berat dan aku merasa lelah,” keluh Alfian.
“Aku tahu betapa kerasnya kamu berlatih, Mas. Tapi ingat, kita sudah melewati banyak hal bersama. Setiap langkah yang kamu ambil adalah bagian dari proses menuju kesuksesan,” Nana berusaha menguatkannya. “Kamu pasti bisa. Aku percaya padamu.”
Percakapan itu memberi Alfian semangat baru. Mereka saling mengingatkan akan pentingnya keberanian dan ketekunan. Pada saat-saat sulit, mereka menemukan kekuatan dalam satu sama lain, dan itu membantu mereka tetap fokus pada tujuan masing-masing.
Akhirnya, saat kejuaraan taekwondo tiba, Alfian merasa siap berkat latihan yang keras dan dukungan dari Nana. Ketika hari berlalu, suasana di arena penuh dengan semangat dan ketegangan. Nana hadir di sana untuk memberikan dukungan langsung. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdebar-debar ketika melihat Alfian bersiap untuk bertanding.
Ketika Alfian tampil di lapangan, Nana melihatnya berjuang dengan semangat yang luar biasa. Setiap gerakan, setiap serangan, mencerminkan semua usaha dan kerja keras yang telah ia lakukan. Ketika ia berhasil meraih medali perunggu, sorakan penonton menggelegar.
“Selamat, Mas! I’m so proud of you!” seru Nana, berlari untuk memeluk Alfian setelah pertandingan selesai.
Alfian tersenyum lebar, tidak hanya karena medali yang ia raih, tetapi juga karena dukungan yang selalu diberikan Nana.
“Ini semua untuk kita, Na. Tanpa dukunganmu, aku mungkin tidak akan sampai di sini,” ungkapnya dengan tulus.
Momen itu menjadi titik balik bagi mereka berdua. Mereka menyadari bahwa meskipun ada banyak tantangan di depan, mereka memiliki satu sama lain sebagai dukungan. Kemenangan Alfian adalah bukti bahwa kerja keras dan dedikasi tidak sia-sia.
Setelah kejuaraan, mereka merayakan pencapaian itu dengan lebih banyak waktu bersama. Nana merasa bersemangat untuk meneruskan studinya, sementara Alfian berkomitmen untuk terus berlatih dan bersiap menghadapi kejuaraan berikutnya.
Dengan harapan yang semakin besar, Nana dan Alfian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil bersama adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Bersama-sama, mereka menghadapi tantangan, merayakan pencapaian, dan terus berjuang untuk impian mereka masing-masing. Dengan saling mendukung dan menjaga komunikasi yang baik, mereka yakin bahwa masa depan akan penuh dengan kebahagiaan dan pencapaian yang lebih besar.
Well, I’m the luckiest
To be the one, be the one
To get you, to get you, to get you now
Well, I’m the happiest
To found the one, found the one
Found the one only kinda love
Di tengah perjalanan hidup mereka yang penuh liku, Nana dan Alfian menyadari bahwa kebersamaan mereka lebih dari sekadar mendukung impian masing-masing itu adalah fondasi yang membuat mereka kuat, saling melengkapi, dan bahagia.
Dengan semester baru di depan mata, Nana merasa lebih percaya diri dan termotivasi. Kini, ia mampu mengelola waktu lebih baik, tidak hanya untuk kuliah tetapi juga untuk menjaga hubungan dengan Alfian. Sementara itu, Alfian, yang semakin dikenal dalam dunia taekwondo, juga merasa lebih termotivasi untuk mencapai level berikutnya dalam kariernya. Bersama-sama, mereka belajar bahwa kesuksesan tak hanya datang dari kerja keras, tetapi juga dari memiliki seseorang yang selalu mendukung, memahami, dan mencintai mereka apa adanya.
Setelah melalui banyak momen suka dan duka bersama, Nana dan Alfian semakin dewasa dalam menjalani kehidupan mereka yang penuh tantangan. Semester baru tiba, membawa harapan sekaligus tanggung jawab yang semakin besar bagi mereka berdua. Nana kini semakin mahir mengatur waktu, baik untuk kuliah maupun menjaga hubungannya dengan Alfian. Sementara itu, Alfian semakin terkenal di dunia taekwondo. Keberhasilan dalam kejuaraan yang lalu membuatnya semakin dikenal, dan ia mulai menerima tawaran untuk melatih di beberapa klub taekwondo lokal.
Kedekatan dan dukungan yang mereka berikan satu sama lain terus menjadi pondasi kokoh yang menyatukan mereka. Setiap malam ketika mereka berbicara lewat video call, ada saja cerita baru yang mereka bagikan, baik tentang kuliah Nana maupun kegiatan latihan Alfian. Terkadang, mereka merencanakan hal-hal kecil seperti makan bersama secara virtual ketika jadwal mereka padat, hanya demi memastikan waktu untuk kebersamaan.
Namun, semester baru ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kesibukan kuliah Nana semakin padat. Sebagai mahasiswa kedokteran, tugas-tugasnya mulai menyentuh ranah yang lebih teknis dan menuntut lebih banyak waktu serta konsentrasi. Di sisi lain, Alfian juga harus berjuang untuk menyeimbangkan antara latihan pribadi dan tanggung jawab melatih. Ketika tanggung jawabnya bertambah, terkadang ia merasa sulit untuk meluangkan waktu bagi Nana. Kesibukan masing-masing mulai menimbulkan jarak, meski keduanya masih berusaha untuk menjaga komunikasi.
Suatu malam, setelah berhari-hari mereka tak sempat berbicara lama, Nana memutuskan untuk mengungkapkan kekhawatirannya kepada Alfian.
“Mas, akhir-akhir ini kita jarang punya waktu bersama,” kata Nana perlahan.
“Aku tahu kita sama-sama sibuk, tapi kadang aku merasa kesepian.”
Alfian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada lembut.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Na. Aku minta maaf jika terasa jauh. Aku hanya… ingin memberi yang terbaik di semua hal ini, termasuk untuk kamu.”
Nana tersenyum, meski sedikit muram.
“Aku tahu, Mas. Mungkin kita hanya butuh lebih banyak bicara tentang bagaimana menjaga keseimbangan. Aku ingin terus mendukungmu, seperti kamu yang selalu ada untukku.”
Dari percakapan itu, mereka sadar pentingnya mengatur waktu yang lebih baik agar hubungan mereka tetap harmonis. Mereka memutuskan untuk menetapkan satu hari dalam seminggu sebagai “hari spesial” untuk menghabiskan waktu bersama, meski hanya lewat panggilan video. Janji ini memberi keduanya semangat baru. Mereka merasa lebih berenergi dalam menghadapi rutinitas masing-masing, tahu bahwa setiap akhir pekan mereka memiliki momen untuk saling berbagi cerita dan kebahagiaan.
Di kampus, Nana mendapatkan kesempatan untuk magang di rumah sakit. Pengalaman ini sangat berharga baginya, karena ia bisa melihat langsung bagaimana bekerja sebagai dokter. Setiap kali menghadapi pasien, Nana teringat impiannya untuk memberikan perawatan terbaik bagi mereka yang membutuhkan. Tantangan demi tantangan yang ia hadapi selama magang mengajarkan banyak hal, termasuk pentingnya menjaga mental dan emosional agar tetap stabil di lingkungan kerja yang menuntut.
Di sisi lain, Alfian terus maju dalam kariernya. Prestasinya dalam kejuaraan sebelumnya membuatnya semakin dikenal, dan ia mulai mendapatkan tawaran untuk berpartisipasi di kejuaraan tingkat nasional. Keinginan untuk meraih medali yang lebih tinggi membakar semangatnya untuk berlatih lebih keras. Namun, di balik semangat itu, ada perasaan lelah yang kadang menggerogoti. Di hari-hari tertentu, ia merasa kelelahan baik secara fisik maupun mental. Pada saat-saat seperti itu, ia selalu menghubungi Nana untuk mencari dukungan dan semangat.
“Na, kadang aku merasa seolah-olah tidak cukup baik,” keluh Alfian suatu malam.
“Banyak orang berharap padaku, tapi aku merasa ada batas yang sulit sekali untuk kulewati.”
Nana mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Mas, kamu sudah melakukan yang terbaik. Setiap orang punya titik lemahnya, tapi bukan berarti kamu tidak mampu. Aku percaya, dengan kerja kerasmu dan semua dukungan yang kamu dapatkan, kamu pasti bisa melewati semua ini.”
Mendengar kata-kata Nana, Alfian merasa hatinya kembali kuat. Ia sadar bahwa ada seseorang yang selalu percaya padanya, bahkan ketika dirinya meragukan kemampuan sendiri. Dalam hati, ia bertekad untuk terus maju, bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi Nana yang selalu memberikan dukungan tanpa pamrih.
Seiring waktu, hubungan mereka semakin matang. Tantangan demi tantangan yang mereka hadapi bersama mengajarkan bahwa cinta bukan hanya tentang romantisme, melainkan juga tentang kepercayaan, pengorbanan, dan kesetiaan. Ketika akhir semester semakin dekat, Nana dan Alfian mulai memikirkan rencana masa depan mereka dengan lebih serius.
Suatu malam, setelah hari yang panjang di rumah sakit, Nana membuka pembicaraan tentang rencana mereka ke depan. “Mas, setelah lulus nanti, aku ingin melanjutkan studi spesialis. Aku ingin mendalami ilmu kesehatan lebih dalam agar bisa membantu lebih banyak orang.”
Alfian mendukung penuh rencana Nana.
“Aku tahu kamu bisa, Na. Aku akan selalu mendukung apapun yang kamu pilih.”
Nana tersenyum hangat, merasakan bahwa perjalanan mereka tidak hanya sekedar kisah cinta biasa, tetapi juga tentang dua orang yang saling mendorong untuk meraih impian masing-masing.
Pada akhir semester, keduanya memutuskan untuk merayakan pencapaian mereka. Nana, yang berhasil meraih nilai tinggi, dan Alfian, yang terpilih menjadi pelatih tim taekwondo kampus, merasa bangga akan perjalanan mereka selama ini. Mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi selama ada dukungan satu sama lain, tidak ada rintangan yang terlalu besar untuk dihadapi.
Malam itu, ketika mereka merayakan keberhasilan masing-masing, Nana menatap Alfian dengan mata berbinar.
“Mas, aku bersyukur kita bisa saling mendukung. Aku tidak tahu di mana aku sekarang jika kamu tidak selalu ada untukku.”
Alfian menggenggam tangan Nana, menatapnya dengan penuh kasih.
“Aku juga, Na. Kamu adalah alasan aku bisa bertahan hingga sejauh ini. Kamu membuat semua ini terasa mungkin.”
Dengan senyum dan tatapan penuh cinta, mereka berdua menyadari bahwa kebersamaan mereka bukan hanya tentang mendukung impian satu sama lain. Kebersamaan mereka adalah pondasi yang membuat hidup terasa penuh makna dan tujuan. Mereka berdua tahu bahwa apapun yang terjadi di masa depan, selama mereka saling memiliki, tidak ada yang tidak mungkin.
Dengan langkah penuh keyakinan, Nana dan Alfian melanjutkan perjalanan mereka, tahu bahwa setiap tantangan yang mereka hadapi adalah bagian dari kisah cinta yang mereka bangun bersama.
Kreator : Ni’matun Azza
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Cinta di Setiap Masa (bagian 7-10)
Sorry, comment are closed for this post.