Aku pernah berharap akan menikah dengan pria asing berkulit putih. Impianku itu mungkin dikarenakan pendapatku yang melihat orang bule itu smart dan penuh pengertian. Hal itu wajar untuk ukuran gadis belia sepertiku kala itu.
Aku lahir dan besar di Makassar hanya saja aku jarang sekali menyukai pemuda dari suku Makassar ataupun suku lain yang ada di Sulawesi dalam hubungan relationship. Aku berpendapat umumnya pemuda di sana arogan dan mau menang sendiri terhadap wanita, sedang aku tau, aku paling tidak suka diperlakukan seperti itu. Maka dalam pergaulan di mana pun baik di lingkungan rumah, sekolah/kampus maupun di lingkungan organisasi, sangat jarang aku tertarik terhadap lawan jenisku. Ini sebab pria yang ada disekitarku pada umumnya pria dari Makassar. Kalaupun sempat aku tertarik pada seorang laki-laki, itu karena laki-laki tersebut smart dan berkulit terang. Haa haa … aku tidak pernah tertarik kepada laki-laki berkulit gelap. Kecuali kalau senyumnya manis, tentu saja. Seingatku aku tidak pernah suka pada seorang laki-laki dikarenakan dia kaya, atau berkelimpahan harta. Apalagi kalau kekayaannya berasal dari orangtuanya. Bagiku itu bukan suatu daya tarik. Meskipun demikian kalau dia baik hati aku dan sopan aku mau berteman. Hanya berteman saja.
Seiring dengan makin baiknya pengetahuan agamaku, kriteriaku tentang pemuda idaman berubah cukup signifikan. Ketertarikanku terhadap mereka cenderung karena kecerdasan spiritualnya. Penilaian fisik tidak lagi jadi prioritas utama. Tetapi tetap saja aku tidak menyukai pria dari Suku Makassar. Aku lebih menyukai pria dari Suku Jawa. Aku melihat laki-laki Jawa sangat pengertian terhadap istrinya. Aku menilai laki-laki dari Suku Jawa suka membantu dan bahasanya sangat sopan. Itulah yang membuatku berangan-angan punya suami dari Suku Jawa.
Aku teringat, ketika masih jadi siswa Sekolah Menengah Pertama, aku jatuh cinta kepada seorang cowok keturunan Arab yang sering lewat di depan kelasku meski aku tak tau namanya.
Aku sekolah di Tsanawiyah dan dia sekolah di Aliyah. Seperti umumnya orang Arab, cowok itu berpostur tinggi, berkulit putih, bermata tajam dan senyumnya sangat manis. Ma shaa Allah, kalau do’i lewat di depan kelas rasanya jantungku berdegup kencang dan hatiku dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Bahagia… Aku menikmati nya dalam bisu. Aku tak pernah mengutarakan perasaan ini terhadap siapa pun. Allah lah yang tau bagaimana remaja ini sedang jatuh cinta.
Suatu pagi aku tiba di sekolah lebih awal. Aku berdiri di depan kelas seorang diri, tau-tau dari ujung koridor do’i sedang berjalan melintas di depanku. Aku dengan sangat malu tersenyum tipis ke arahnya dan… Dia tersenyum sangat sopan ke arahku. Manis sekali. Demi Allah, itu adalah kali pertama aku merasa bahagia tak terkira disebabkan oleh seorang cowok. Perasaan bahagia itu terbawa sampai di rumah. Aku sangat bersemangat mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan kepadaku. Alangkah dahsyatnya pengaruhnya.
Setelah hari bahagia itu aku sudah sangat jarang melihatnya. Hanya sekali-sekali saja aku melihatnya. Itupun hanya sekilas. Kami tak pernah lagi bertemu pandang. Sampai suatu ketika aku mendengar dari temanku bahwa do’i sudah pindah, tidak lagi sekolah di Madrasah Aliya. Ya Allah, diam-diam aku merasakan kehilangan yang sangat dalam. Hatiku hampa, merana dan hari-hariku berjalan dengan tidak bergairah selama beberapa lama.
Mungkin itu salah sebab, aku tidak pernah jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelahnya. Aku masih sangat mendambakan lelaki pujaanku itu hadir dalam kehidupanku.
Beberapa puluh tahun kemudian aku baru menyadari bahwa sesungguhnya Allah “melindungiku” dengan caranya yang sungguh sangat lembut. Disebabkan patah hati yang aku alami itu, aku sama sekali tidak tertarik untuk menerima perhatian seorang lelaki. Dalam anganku, lelaki pujaanku selalu jauh dengan lelaki yang hadir dalam kenyataan. Ini yang membuatku selalu menepis perhatian mereka. Semua itu membuatku selamat tidak mengalami masa pacaran dimasa gadisku..
Kehidupan asmaraku pernah hampir tercipta ketika seorang sahabat penaku datang ke rumah. Dia seorang Insinyur teknik yang bekerja di Pabrik Gula, seorang pemuda Jawa. Sebenarnya dia bukankah pemuda yang kuidamkan, selain dia berkulit gelap, dia juga jauh dari kata ganteng menurut panilaianku namun karena dia telaten mengunjungi sekali sebulan maka lambat laun aku mau juga menerima perhatiannya.
Mau dalam arti, aku mau menemuinya ketika dia datang berkunjung ke rumah dan ngobrol berjam-jam lamanya. Banyak hal yang kami omongi. Tetapi inti dari semua percakapan kami adalah, dia hanya ingin menyampaikan bahwa dia butuh perhatian dan pengertian dariku. Kala itu aku mengartikan perhatian dan pengertian telah aku berikan dengan mau menemaninya selama berjam-berjam di ruang tamu rumahku. Hanya itu.
Aku menyangka dia pun demikian adanya sampai pada kunjungan yang kesekian kalinya niat mesumnya mulai tercium.
Awalnya dia mengatakan ingin bertunangan denganku. Waktu itu aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, apa dia tidak tau betapa “mahalnya” gadis Makassar yang dia ingin pinang ini? Aku membiarkan dia berangan-angan dan tidak menjawab. Mungkin karena aku hanya tersenyum dalam diam dia menyangka aku bersedia menerima tawarannya.
Kami kemudian diam tak berkata-kata untuk sekian menit tau-tau dia sudah meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. Aku yang tak pernah disentuh lain jenis tentu saja merasa asing, aneh dibuatnya. Tubuhku tiba-tiba perlahan menjadi dingin dan lemes. Aku tak tau itu apa namanya. Melihat aku seperti terbuai dia lalu mencondongkan wajahnya di depanku dan bibirnya mendekati bibirku.
Untuk sekian detik aku merasakan dia mengulum bibirku dan… akh!
Aku mendorong dadanya cukup keras dengan kedua tanganku.
Aku merasa jijik luar biasa. Tubuhku lunglai tak bertenaga tetapi perasaan marah berkobar-kobar dalam dadaku. Berani sekali orang brengsek ini. Jelas sekali dia tidak menghargai diriku.
Aku tak tau apa yang dia rasakan setelah penolakan itu, yang aku ingat kami lalu diam membisu hampir setengah jam.
Aku tak bisa lagi berusaha untuk bersikap manis. Aku muak melihatnya, aku tak sudi lagi mengalihkan pandanganku kepadanya. Aku ingin dia tau, aku sangat “terluka” atas sikap lancangnya tadi. Aku ingin dia segera enyah dari depanku.
“Aku pulang, Ti,” katanya lemah.
“Ya, pulanglah,” jawabku dingin tanpa melihatnya.
“ Maafkan aku…” suaranya terdengar bersalah.
Aku hanya menarik nafas dan berdiri.
“Pulanglah,” kataku tanpa perasaan. Dia hanya mengangguk pelan kemudian menundukkan kepala.
Aku lalu meninggalkannya sendiri di ruang tamu dan tak peduli lagi bagaimana dia pamit ke penghuni rumah saat itu.
Setahun kemudian barulah aku bertemu dengan pemuda dambaanku. Seorang cowok ganteng dari Jogja. Tetapi anehnya selama puluhan tahun aku bersamanya aku tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya berciuman itu. Aku berpikir apakah itu akibat keperawanan bibirku sudah diambil oleh pria brengsek itu?
Subhanallah, sungguh aku baru mengerti apa makna dari firman Allah, “janganlah engkau mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah seburuk-buruknya jalan.”
Comment Closed: Cinta Pertama
Sorry, comment are closed for this post.