Pagi itu, Rina bangun dengan perasaan cemas. Ia menatap kalender di dinding, mengingat hari yang selalu membawa kenangan pahit. Sudah lima tahun sejak suaminya, Dedi, meninggal dalam kecelakaan tragis. Namun, rasa kehilangan itu masih terasa segar di hatinya.
“Naya, bangun. Waktunya sarapan,” panggil Rina dengan lembut pada putrinya yang masih terlelap.
“Sebentar lagi, Bu,” gumam Naya dengan suara malas.
“Cepat, sayang. Kita harus segera berangkat,” kata Rina sambil menyiapkan sarapan.
Mereka makan dalam diam. Rina tak bisa menghilangkan bayangan Dedi dari pikirannya. Ia selalu menjadi sosok yang ceria dan penuh cinta. Rina merasa hidupnya hampa tanpa Dedi, meski Naya selalu berusaha mengisi kekosongan itu.
“Bu, hari ini ada acara di sekolah. Ibu datang, ya?” tanya Naya tiba-tiba.
“Iya, sayang. Ibu akan datang,” jawab Rina sambil mencoba tersenyum.
Setelah mengantar Naya ke sekolah, Rina kembali ke rumah dan membuka laci meja kerjanya. Di dalamnya terdapat surat-surat yang pernah ditulis Dedi. Salah satu surat menarik perhatiannya. “Untuk Rina, di hari yang paling sulit,” baca Rina pelan.
Dengan hati-hati, Rina membuka surat itu. “Sayang, jika kamu membaca ini, berarti aku sudah tidak ada di sampingmu lagi. Aku tahu ini berat, tapi ingatlah bahwa cinta kita tak pernah padam. Aku akan selalu ada di hatimu, mendukungmu setiap saat.”
Air mata Rina mulai mengalir. Ia merindukan Dedi lebih dari apapun. Tapi, ia juga tahu bahwa ia harus kuat untuk Naya. Rina menghapus air matanya dan bertekad untuk menghadapi hari ini dengan tegar.
Di sekolah, acara berlangsung meriah. Naya tampil di atas panggung, menyanyikan lagu kesukaannya. Rina merasa bangga melihat putrinya yang begitu bersemangat. Setelah acara selesai, Naya berlari menghampiri ibunya.
“Bu, Naya senang Ibu datang. Lihat, Naya dapat piala!” seru Naya dengan bangga.
“Wah, hebat sekali, sayang. Ibu bangga padamu,” jawab Rina sambil memeluk Naya erat.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika mereka pulang, Rina menerima telepon dari kantor tempatnya bekerja. “Bu Rina, kami harus memberitahu bahwa perusahaan sedang mengalami krisis. Kami terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja, dan Anda termasuk yang terdampak,” kata suara di ujung telepon.
Rina terdiam. “Terima kasih atas informasinya, Pak,” jawab Rina pelan.
Naya melihat ibunya yang terlihat pucat. “Bu, ada apa?” tanyanya khawatir.
“Ibu baru saja kehilangan pekerjaan, sayang,” jawab Rina dengan suara bergetar.
Naya memeluk ibunya erat. “Jangan khawatir, Bu. Kita pasti bisa melalui ini bersama.”
Malam itu, Rina duduk di teras rumah sambil memandangi langit yang penuh bintang. Ia membuka surat Dedi lagi, mencari kekuatan dalam kata-katanya. “Kamu adalah wanita yang kuat, Rina. Aku yakin kamu bisa menghadapi semua ini,” tulis Dedi dalam surat itu.
Rina menarik napas dalam-dalam. “Aku harus kuat, untuk Naya dan untuk Dedi,” bisiknya pada diri sendiri.
Keesokan harinya, Rina mulai mencari pekerjaan baru. Ia bertekad untuk tidak menyerah. Setiap hari, ia mengirimkan lamaran ke berbagai tempat, berharap ada yang memberikan kesempatan. Meski sulit, ia selalu ingat kata-kata Dedi yang memberinya kekuatan.
Suatu pagi, telepon berdering. “Bu Rina, kami tertarik dengan pengalaman Anda dan ingin mengundang Anda untuk wawancara,” kata suara di ujung telepon.
Rina merasa harapan kembali. “Terima kasih, saya akan datang,” jawabnya dengan semangat.
Hari wawancara tiba. Rina merasa gugup, tapi ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai hidup baru. Di ruang wawancara, ia bertemu dengan Pak Budi, manajer perusahaan. “Bu Rina, kami terkesan dengan dedikasi dan pengalaman Anda. Selamat, Anda diterima,” kata Pak Budi.
Rina merasa lega. “Terima kasih banyak, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda.”
Sepulangnya dari wawancara, Rina disambut oleh Naya yang melompat kegirangan. “Bu, bagaimana hasilnya?”
“Ibu diterima, sayang. Kita akan baik-baik saja,” jawab Rina dengan senyum lebar.
Hari-hari berlalu, dan Rina mulai bekerja di tempat baru. Meski banyak tantangan, ia selalu ingat kata-kata Dedi yang memberinya kekuatan. Ia tahu bahwa cinta mereka tak pernah padam, dan itu memberinya semangat untuk terus maju.
Suatu malam, saat Rina dan Naya duduk di teras rumah, Naya berkata, “Bu, Naya bangga pada Ibu. Ibu selalu kuat dan tidak pernah menyerah.”
Rina tersenyum, memeluk putrinya erat. “Terima kasih, sayang. Ibu juga bangga pada kamu. Kita akan selalu bersama, menghadapi apapun yang datang.”
Dalam setiap langkah yang diambilnya, Rina tahu bahwa cinta Dedi selalu menyertainya. Cinta yang tak pernah padam itu menjadi sumber kekuatannya, membuatnya yakin bahwa ia bisa mengatasi segala rintangan. Dengan cinta dan tekad, Rina dan Naya siap menghadapi masa depan yang cerah.
Kreator : Masniya Ulfah
Comment Closed: Cinta yang Tak Pernah Padam
Sorry, comment are closed for this post.