KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Citra yang Ternoda

    Citra yang Ternoda

    BY 20 Jul 2024 Dilihat: 67 kali
    Citra yang Ternoda_alineaku

    Tiga tahun Hernowo menduda. Dirasakan hidupnya penuh kehampaan. Tak lagi dia dapatkan senyum yang menyambutnya dikala pulang dari kantor, tak lagi dia dapatkan seseorang yang selalu setia mendampinginya dalam segala kesempatan, memberinya saran dan pendapat dalam menghadapi persoalan hidup, dan menghiburnya di kala duka. Sementar Hartati, satu-satunya buah perkawinan dengan istrinya yang telah lebih dulu dipanggil Sang Khalik, bagaikan burung yang terlepas dari sangkarnya. Terbang dengan bebasnya, tak peduli siang ataupun malam. Melihat kenyataan seperti itu, timbul di hatinya untuk kembali mempersunting seorang istri. Namun, tantangan selalu menghalanginya

    “Pokoknya, saya tidak mau mempunyai ibu tiri “ Jawaban seperti inilah yang sering kali keluar dari mulut anaknnya di kala dia mengutarakan niatnya.

    Suatu pagi, dia mencoba mendekati anaknya kembali. Kata penolakan pun kembali dia dapatkan.

    “Maksud papa baik kok, nak. Papa takut, kamu merasa kehilangan kasih sayang.  Kamu tahu sendiri kan, papa jarang sekali ada di rumah. “ Rayu Hernowo

    “Apa yang akan saya dapatkan dari ibu tiri, pa ?  Apa papa mau, anak papa menjadi korban kekejamannya ? Hartati mengutarakan kekhawatirannya.

    “Mamamu yang baru, tidak akan seburuk yang kau duga, nak. Percayalah… !” Tegasnya sambil mengangkat cangkir yang berisikan kopi susu buatan pembantunya yang tinggal setengahnya lagi. Dia meminumnya hingga habis. “Papa telah banyak makan garam kehidupan, nak. Tentunya papa tidak akan keliru memilih orang yang akan menggantikan mamamu almarhumah. “ Lanjutnya 

    “Tidak pernah ada berita seorang ibu tiri yang sayang pada anak tirinya, pak.” Hartati tetap pada pendiriannya. Dia tidak lagi merasa takut pada papanya. Barangkali pengaruh teman-temannya mulai merasuk dalam dirinya.

    Hernowo merasa sangat jengkel attas ucapan Hartati anaknya. Namun, dia berusaha untuk menahan amarahnya. 

    “Tidak senua ibu tiri itu kajam, nak. Percayalah …! Kembali dia menegaskan

    “Yang akan dijadikan istri oleh papa itu, masih gadis atau sudah janda ?” Tanya Hartati seolah-olah memberikan harapan.

    “Dia sudah janda, nak. Dan…, dia belum punya anak.” Jelas Hernowo dengan wajah yang sedikit  senang

    “Heh…!  Apalagi janda.” Kata Hartati dengan penuh ejekan

    “Kenapa ?”

    “Kalau dia istri yang baik, tidak mungkin kan, dia bercerai. ? 

    “Suaminya meninggal dunia, nak. Sama dengan mamamu .” Suara Hernowo mulai terdengar keras.

    Mendengar ucapan papanya tersebut, kembali Hartati terdiam. Alasan-alasannya kali ini tak mampu membendung keinginan papanya.

    “Bagaimana, nak ?” Tanya Hernowo dengan penuh harapan

    “Maaf, pa !  Saya tetap tidak mau mempunyai ibu tiri. Kalau papa merasa kesepian, lebih baik papa pergi saja ke tempat kupu-kupu malam !.” 

    “Apa ?” Hernowo sampai terbangun dari duduknya. Matanya terbelalak mendengar apa yang dikatakan anaknya.

    “Disana papa bisa memilih siapa saja yang papa sukai.” Hartati masih melanjutkan kata-katanya, seolah-olah dia tidak melihat perubahan mendadak yang terjadi pada diri papanya. Dia pun bangkit,  dan bermaksud meninggalkan papanya .

    “Hartatiiii … !” Tak sadar Hernowo berteriak sambil menarik tangan anaknya hingga terjatuh. Sambil mengangkat kerah baju anaknya agar bangun, dia kembali berteriak : “Kau anggap apa papamu ini ? Apa kau mau papamu jadi bajingan, hah ?”

    Hartati tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menundukan kepalanya sambil menahan rasa sakit, karena kepalanya sempat membentur pinggir meja saat Hernowo menarik tangannya.

    “Ayo jawab !” Bentak Hernowo dengan napas turun naik

    Merasa tidak dicurangi, Hernowo mengangkat tangannya dan menampar muka anaknya.

    “Pak Hernowo, jangan pak, jangan … !” Teriak bi Iroh yang baru saja datang dari dapur, ketika Hernowo mengayunkan tangannya kembali

    “Bi…., “ Hartati memburu bi Iroh, dan langsung menangis di dadanya.

      “Tinggalkan dia, Bi !” Pinta Hernowo dengan penuh kebencian

    “Sadar pak, sadar… ! Tidak baik bertindak seperti ini.” Bi Iroh berusaha menenangkan majikan nya. “Malu kan, bila tetanggapada tahu …” Sambungnya lagi.

    Mendengar ucapannya pembantunya Hernowo tidak berkata apa-apa lagi. Dia pergi meninggalkan Hartati yang masih menangis di dada pembantunya yang belum tahu persoalannya itu.

    Tiga hari setelah kejadian itu, penyakit yang diderita Hernowo kembali kambuh. Kekecewaan yang menimpa dirinya menambah parah penyakit yang dideritanya, sehingga menyulitkan dokter yang merawatnya.

    Penyesalan dan rasa berdosa terhapap  orang tua, mulai  menyelimuti diri Hartati. Hampir tiap malam dia di kejar-kejar mimpi buruk. Seringkali dia menjerit-jerit minta tolong dalam tidurnya, dan mengangis tersedu-sedu bila bi Iroh telah membangunkanya serta ingatannya telah pulih kembali.

    Suatu malam Hartati memutuskan untuk tidak  tidur di rumahnya. Dengan mengendarai sepeda motor, dia melaju ke arah barat dari rumahnya. Kira-kira setengah jam kemudian, dia membelokan sepeda motornya ke sebuah gang  dan berhenti di sebuah rumah.

    “Tok…tok…tok…!” Dia mengetuk pintu rumah itu. “Assalaamu alaikum …!”  Menyusul suaranya.

    “Wa’alaikum salam…!” Suara seorang wanita menjawab dari dalam. “Oh…, Hartati. Silahkan masuk, nak !” Kata wanita itu setelah membukakan pintu.

    “Bu…, bo…, bolehkan saya menginap di rumah ibu ?” Tanyanya dengan penuh harap, setelah wanita yang  pernah menjadi wali kelasnya  waktu dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama itu  mempersilahkan duduk.

    Wanita yang biasa di panggil bu Dian itu, menatap wajah Hartata, seolah-olah ingin tahu isi hatinya  sebelum dia memberikan jawaban. “Papamu sudah tahu, nak ?”  Sambil tersenyum dia berbalik bertanya.

    “Yang tahu hanya bi Iroh saja, Bu.”

    “Papamu ?”

    Hartati menggelengkan kepala.  “Papa…, papa di rumah sakit, bu ‘’… “ Jawabnya sambil menundukan kepala.

    “Di rumah sakit … ?” Bu Dian nampak sangat terkejut mendengar keterangan bekas anak didiknya yang kini telah duduk di kelas sebelas Sekolah Menengah Atas itu. “Sudah lama sakitnya, nak ?” Tak terasa dia bertanya seperti itu.

    “Sudah satu minggu, bu “ Jawab Hartati pelan  “Saya takut…, saya takut, bu….” Kali ini Hartati sudah tidak sanggup membendung tangisannya. Dia menangis tersedu-sedu.

    Bu Dian, membiarkan dulu Hartati melepaskan tangisannya. Dipegangnya pundak Hartati, lalu ditariknya  sehingga kepalanya bersandar di dadanya. “Kalau dengan menangis hatimu bisa lebih tenang, menangislah nak…! Ibu akan menemanimu disini. “ kata bu Dian sambil membelai rambut Hartati.

    Setelah agak tenang Hartati menjelaskan apa-apa yang telah terjadi di rumahnya. Semuanya diceritakannya, tanpa satupun yang dilewatkan atau disembunyikannya. Ia pun mengakui bahwa papanya sudah hampir satu tahun meminta agar dirinya mau menerima seorang ibu yang akan menggantikan tugas-tugas mamanya yang telah tiada. Sementara Ibu Dian terlihat sangat sedih mendengarkan cerita Hartati. Tak terasa dari kedua matanya mengalir air mata yang cukup deras.

    “Mengapa ibu ikut menangis, bu ?” Tanya Hartati Setelah selesai bercerita

    “Ibu kasihan pada calon isteri papamu, nak. Barangkali, dia sudah tidak sadar lagi menunggu keputusanmu.” Jawabnya sambil menghapus air mata yang meleleh di pipinya.

    “Tolonglah saya, bu …!  Dalam hati kecil, saya tetap tidak mau mempunyai ibu tiri. Tapi, saya sangat menginginkan papa pulih kembali dari sakitnya. Apa yang harus saya lakukan, bu ?”

    Di minta pandangan seperti itu, bu Dian hanya memandang raut muka Hartati. Dia nampak sangat kebingungan, mukanya pun nampak sedikit memerah.          “Hartati …!” ucapnya pelan. “Apa kau sudah tahu, siapa calon ibu tirimu itu ?” Tanyanya seolah-olah ingin tahu kedalaman isi hati  Hartati.

    Hartati tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala.

    “Hartati … !  Kamu tahu, polisi lalu lintas itu termasuk abdi Negara yang sangat besar jasanya pada masyarakat. Namun,  citra mereka sangat rendah di mata para pengemudi. Hal itu disebabkan karena ada beberapa diantara mereka yang bersikap kurang wajar ketika menjalankan tugasnya. Apa karena segelintir diantara mereka yang bertindak tidak wajar, lantas semua polisi dianggap salah ? Tentunya tidak, kan ?” tanyanya dengan tatapan mata yang mendalam.

    Hartati membenarkan ucapan gurunya dengan anggukan kepala.

    “Begitu pula dengan ibu tiri, nak. Tidak semuanya berprilaku jahat terhadap anak tirinya, ” Ucap bu Dian. 

    Belum sempat bu Dian melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu.

    “Assalamu alaikum !” Ucap orang yang ada di balik pintu

    “Wa alaikum salam ! Jawab Hartati dan bu Dian.

    “Ada apa, om ?” Tanya Hartati pada orang yang berdiri di depannya, setelah pintu dibuka.

    “Papamu meminta agar kamu datang ke rumah sakit. Kayanya ada sesuatu yang hendak beliau sampaikan padamu.”

    “Malam ini ?”

    “Iya…” Ucap laki-laki itu sambil menganggukan kepala

    Hartati mengalihkan pandangannya pada bu Dian, seolah-olah meminta pertimbangan.

    “Pergilah, nak …!” 

    “Tapi bu…,”

    “Nanti kita bicara lagi.” Potongnya. “Sekarang…, temui dulu papamu !  Dan…, kalau tidak keberatan,  ibu juga ingin melihat keadaan papamu .”

    “Tidak, bu. Saya tidak keberatan. Saya malah merasa senang kalau ibu bersedia menemani saya ke rumah sakit.”

    “Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang…!” Ajak laki-laki yang sering di panggil om Hardi itu. “Tati…, sebaiknya kamu dan bu guru naik mobil saja. Sepeda motor biar saya yang bawa. “ Aturnya.

    “Mobil umum, Om ?” Tanya Hartati.

    “Mobilnya pak Heri. Bi Iroh sudah ada di sana.”

    “Bi Iroh ikut juga ?”

    “Papamu minta dibawakan sesuatu oleh bi Iroh.” Jelas om Hardi

    Hartati dan bu Dian berjalan menuju jalan raya, diikuti oleh Om Hardi yang mendorong sepeda motor. Baru saja yang ditungguinya kelihatan, pengemudi mobil yang ditumpangi oleh bi Iroh itu langsung menghidupkan mesin mobilnya, seolah-olah tidak ingin berlama-lama di tempat itu.

    Tidak sampai setengah jam, mobil itu telah sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar dimana Hernowo di rawat. Didapatinya adik dari Hernowo yang biasa bergiliran dengan bi Iroh  tengah menangis tersedu-sedu. Sementara dokter dan suster yang merawatnya hanya bisa menundukan kepala.

    “Papa …. !” Hartati menjerit menyaksikan papanya yang sudah berdaya itu. “Dokter…., tolong papa saya, tolong papa saya, dokter !” Hartati memohon-mohon pada dokter.

    “Sabar ya nak, sabar … !” Om Hardi berusaha menenangkan Hartati.

    Perlahan-lahan Hernowo membukakan matanya. Nampak jelas berkaca-kaca. Bola matanya mulai bergerak ke kiri dan kanan, seolah-olah ada yang tengah dia cari. Orang-orang yang ada di situ, ditatapnya satu persatu. Ketika tatapannya sampai ke arah bu Dian, nampak mulutnya mengucapkan sesuatu. Namun tak seorangpun mengerti maksud dari kata-kata itu.   

    Kembali Hernowo memejamkan mata, sementara orang-orang yang ada disekelilingnya saling pandang. Namun, tak seorangpun mengeluarkan kata-kata. Ketika matanya dibukakan kembali pandangannya masih tertuju pada bu Dian. Kali ini, tangan kanannya diangkat sedikit. 

    Bu Dian  mengerti  apa yang diinginkan oleh Hernowo. Dia mendekat dan menerima tangan Hernowo. Sambil menangis, dia mencium tangan orang yang selama ini sangat dia cintai itu. Ya…., dialah wanita pilihan Hernowo, dia pula wanita yang telah dimintakan pendapatnya tentang ibu tiri, dan dialah orang yang dirasakan paling sayang pada dirinya oleh Hartati, sehingga dia mau menceritakan segalanya.

    Baru saja bu Dian melepaskan pegangannya, nyawa Hernowo pun menghilang. Tinggalah tubuh yang terbujur kaku yang ditangisi oleh kekasih hati, karib kerabat, dan anak semata wayangnya yang meronta-ronta, menjerit, menangis. Dia sangat menyesal. Karena  keegoisanya, dia harus berpisah dengan papa nya untuk selama-lamanya. Karena  keegoisannya dia telah menutup harapan bu Dian, satu-satunya guru yang selalu mendengar curhatan-curhatanya saat dia menjadi wali kelasnya. Karena keegoisan dia telah kehilangan segalanya.

    Usia Hartati kini, sudah menginjak 35 tahun. Dia memutuskan untuk tidak menikah, karena bayangan kesalahan masa lalu, selalu menyelimutinya.

     

     

    Kreator : Baenuri

    Bagikan ke

    Comment Closed: Citra yang Ternoda

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • PALI DAN PAHUNI Pali adalah larangan, sedangkan PAHUNI dalam akibat tidak mentaati atau mematuhi PALI. Dalam lingkup kehidupan sosial masyarakat Dayak sangat dikenal dengan kata PALI atau larangan yang harus dipatuhi dan ditaati, biasanya untuk menghindari atau menjauhkan dari PAHUNI atau hal-hal buruk yang akan terjadi, seperti terkena penyakit, musibah dan lainnya. Dalam keseharian suku […]

      Jun 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021