Orang berumah tangga itu mempertemukan dua pribadi yang berbeda. Berbeda dalam semua hal. Ya lahiriahnya, batiniahnya, pendidikannya, pola asuh orang tua, lingkungan keluarganya, lingkungan sosialnya, lingkungan pendidikan yang pernah dijalani, dan banyak hal lainnya. Pendek kata, memang nggak sama lah. Wong yang saudara kembar aja ya mesti nggak mungkin sama plek, pasti ada perbedaannya. Apalagi suami dan istri. Perbedaan jelasnya, yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. He he he, jelasnya begitu ya kawans karena dari pasangan itulah nanti akan lahir generasi penerus peradaban.
Begitu menikah, setiap pasangan telah mengikatkan diri dalam miitsaaqon gholiidhan (perjanjian yang kuat) seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 20-21. Luar biasanya perintah Allah dan teladan Rasulullah itu, menikah. Setelah ijab qobul, semua yang semula atau awalnya haram seketika itu berbalik menjadi halal. Surga istri yang semula dengan berbakti pada orang tuanya beralih sudah dengan berbakti pada suaminya. Suami menjadi kepala keluarga dan istri sebagai pendampingnya. Suami menjadi ayah dan istri menjadi ibu bagi anak-anak yang akan lahir sebagai penerus keturunan.
Dalam perjalanan pernikahan, suami tidak dapat menuntut istri untuk berubah sesuai karakter suami. Pun sebaliknya. Why? Ya karena itu hil yang mustahal ya. Hal yang mustahil. He he he. Selamanya nggak akan mungkin. Kalau itu terjadi, berarti salah satu masih bersifat egois, kekanak-kanakan, wal yang jelas adalah kurang ilmu, mengharapkan sesuatu yang nggak mungkin.
Selama perjalanan pernikahan kami, pastinya, sempat terjadi juga perbedaan pendapat atas sesuatu hal. Perbedaan yang kadang agak ekstrem sehingga sempat membuat suasana hati dan atmosfer dalam rumah jadi tidak seperti biasanya. Namun, kami sudah komitmen sejak di awal perjalanan bahwa seperti apa pun perbedaan yang muncul di antara kami, kami harus bisa menahan diri. Berusaha untuk tidak sampai dilihat atau diketahui anak-anak atau orang lain. Awalnya, jelas nggak gampang ya. Namun, seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, sampai saat ini Allah tetap menjaga sehingga problem perbedaan pendapat yang sempat muncul mewarnai perjalanan pernikahan kami ini selalu dapat diselesaikan berdua dengan cukup empat dinding kamar yang menjadi saksi bisunya.
Alhamdulillah, dalam memori anak-anak, sampai hari ini, tidak pernah terekam perbedaan pendapat yang menegangkan antara abi dan umi mereka. Mbak Alsa (putri keempatku yang berkuliah di jurusan PAUD) pernah bercerita bahwa saat ia sedang mengikuti perkuliahan yang membahas tentang hal pernikahan, tiba-tiba dosennya bertanya,
“Siapa yang dalam keluarganya pernah terjadi pertengkaran antara Ayah dan Ibunya?”
Mbak Alsa spontan menggeleng-gelengkan kepalanya sedang hampir semua temannya tunjuk jari. Seperti apa respon dosen Mbak Alsa?
“Alsa, di keluargamu tidak pernah terjadi pertengkaran antara orang tuamu?”
Mbak Alsa langsung menganggukkan kepalanya.
“Wah, jempol dua untuk kedua orang tuamu, Alsa.”
Begitulah, Kawan. Mungkin terbetik pertanyaan, apa bisa ya? Gimana ya caranya? Insyaa Allah sangat bisa kok. Yang penting niatnya hanya demi mengharap ridho Allah. Visi akhiratnya yang harus diperbesar. Jika yang dituju hanya ridho Allah dan kebahagiaan di hari akhirat kelak maka dunia beserta pernak-perniknya plus permasalahan hidupnya akan merasa kecil atau tidak ada apa-apanya. Jangan membuat sesuatu yang tidak abadi melengahkan kita dari kehidupan yang kekal. Insyaa Allah, dalam pernikahan akan banyak kita dulang pahala kebaikan yang dapat menjadi tabungan akhirat kita. Ya, karena pernikahan adalah satu-satunya ibadah kepada Allah yang paling panjang. Sudah separuh agama untuk kita dan sisanya tinggal kita isi dengan kebaikan-kebaikan kepada pasangan, anak-anak, keluarga besar, dan sebanyak-banyak manusia di lingkungan kita.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: Cukup Empat Dinding Kamar sebagai Saksi Bisunya
Sorry, comment are closed for this post.