“Mak, hari ini aku rasanya lelah banget. Nggak seperti biasanya. Rasanya kacau balau diriku. Di hati nggak nyaman. Jengkel, mangkel, dan waduh Mak, rasanya hatiku galau banget. Mau nangis tapi nggak puas dengan nangis. Mau teriak, kok males. Mau makan, tapi nggak laper. Hatiku rasanya kacau balau. Aku sudah berusaha keras menenangkan diri. Mulutku terus menerus baca istighfar. Sementara hatiku ngoceh ngalor ngidul nggak karuan. Mau misuh, tapi nggak menghilangkan kegalauan. Mau ngamuk, mau nendang meja kursi, tapi kok ntar malah lucu. Aku bingung. Aku tahu bahwa aku harus mampu menata hati. Aku tahu aku harus ikhlas, rela, dan tenang, tapi kenapa hatiku gak bisa aku ajak begitu. Makk, aku bingung gak karuan. Aku terus berusaha untuk tenang. Aku sudah wudhu. Terus aku duduk. Tapi tetap gak tenang hati ini. aku berbaring tapi tetap saja hatiku kacau balau. Apapun posisi diriku, kayaknya gak ngaruh deh dengan hatiku. Aku udah tiduran, rebahan, molak malik kiri kanan. Aku pejamkan mataku. Tapi, hatiku terasa mau meledak. Bener-bener gak ngaruh deh upayaku. Padahal aku tahu, aku harus sabar, tidak boleh egois. Sebenarnya aku tahu bahwa apapun yang terjadi adalah apa yang Allah kehendaki. Tapi kenapa hatiku ini masih saja kacau balau.”
Siang itu, Murni melampiaskan kegundahan hati yang dirasakannya kepada Emak yang baru saja pulang dari tempat kerjanya. Emak yang capek bukan disambut dengan senyuman dan cium tangan seperti biasanya. Tidak pula dia menanyakan oleh-oleh yang dibawa dari pabrik tempat emaknya kerja. Hari itu, Murni berbeda dengan hari-hari biasanya. Biasanya selalu ceria, gembira, rajin membersihkan rumah dan memasak masakan kesukaan mamanya. Namun untuk hari ini tidak sama sekali.
Dengan wajahnya yang merah padam, dia terus nyerocos berbicara kepada Emak. Melihat keadaan Murni yang demikian, rasa capek Emak hilang seketika. Seolah ada energi yang muncul dengan spontan. Energi yang diiringi dengan kesabaran jiwa dan sikap yang tenang. Emak diam seribu bahasa. Dia masuk rumah dan menaruh tas kain yang tampak sudah lusuh itu di atas meja. Dia melangkah dengan tenang ke arah dapur. Sambil melihat meja makan dan sekelilingnya, dia terus melangkah menuju kamar mandi.
Sementara,Si Murni membanting dirinya di kursi sofa yang berada di ruang tamu. Terdengar suara jebar jebur di kamar mandi. Ternyata emaknya sedang mandi. Murni membiarkannya tanpa memanggil atau melanjutkan keluh kesahnya. Setelah beberapa lama tampak emaknya masuk mushola kecil di kamar sebelah.
“Owalah, Emak mau sholat. Tumben Emak belum sholat ashar di pabrik. Ya udah deh, biarin Emak ngelanjutin urusannya dulu. Biarin Emak bikin kopi sendiri dech. Aku males mau bangun ngrebusin air. Tapi, aku masih ingin ngeluarin uneg-uneg pada Emak nih.” Kata murni dalam hati.
Murni menghela nafas. Perlahan dia bangun dan mengambil air minum yang berada di meja dekatnya berbaring. Sementara hatinya terus berkecamuk. Murni minum air berulang-ulang. Seolah tidak merasa puas. Seolah tak hilang rasa hausnya meskipun sudah menghabiskan air satu botol penuh. Wajahnya tampak bingung dan menahan amarah.
Jidatnya mengernyit membuat garis tebal di antara kedua alisnya yang tebal. Kembali dia merebahkan badannya. Dia terus berusaha menguasai emosi yang berkecamuk. Diusapnya wajah yang tampak lelah itu. Dia berusaha tampak wajah yang normal dan tenang, namun yang dia rasakan wajahnya tampak galau dan emosi tinggi. Kembali dia bicara dalam hati sambil menunggu Emak mendekatinya.
“Padahal, aku udah minum air putih cukup banyak. Kok gak ngaruh juga ya dengan kegalauan hatiku. Heran juga aku, kenapa hatiku sulit sekali dikendalikan. Ya Tuhan kenapa emosiku sedemikian kerasnya. Sebenarnya aku ingin bersikap dan berhati tenang. Kenapa sulit sekali ya Allah. Sebenarnya aku tahu bahwa aku harus ikhlas dan harus mampu mengendalikan emosi dan rasa kecewa. Tapi kenapa hatiku masih seperti ini rasanya?” Dia meneruskan obrolan dalam hatinya sendiri.
Di tengah asyiknya dia bicara sendiri tiba-tiba terkejut dengan kedatangan Emak yang langsung memegang pundaknya. Spontan dia tersadar dan menoleh ke arah Emak yang sudah berada di dekatnya dengan secangkir kopi di tangan kirinya. Dengan segera Murni bangun dan duduk di samping Emak.
“Kenapa sih dirimu, Nduk? Kok tumben kayak sedang galau. Emak tahu dirimu sedang lagi gak enak hati, makanya emak diam aja dan bikin kopi sendiri.” Sapa emaknya membuka pembicaraan. Sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. “Coba cerita dong, biar emak tahu permasalahannya. Apa yang terjadi sampai membuat dirimu segalau itu.” Lanjut Emak sambil terus meminum kopinya.
“Iya, Mak. Gini lo, Mak. Di sekolahku tadi kan acara pentas seni pelepasan murid yang lulus tahun ini. Lha dari kelasku aku menampilkan muridku untuk ceramah/kultum. Lha belum selesai dia kultumnya tinggal pantun akhir dan penutup sih sebenarnya, tapi tiba-tiba dia dikode oleh guru lain, Bu Iin, supaya mengakhiri kultumnya. Di depan panggung depannya muridku sedang kultum Bu Iin tiba-tiba menyuruhnya mengucap salam penutup. Aku sendiri saat itu juga sedang duduk di depannya memperhatikan. Tampak muridku bingung. Dia memandangku lalu memandang ke arah Bu Iin yang masih terus menyuruh dia mengucap salam. Namanya anak PAUD masih kecil usia 4 tahun ya dia bingung dan dia segera menutup kultumnya dengan tiba-tiba mengucap salam. Lalu menaruh mic-nya lalu turun dari panggung. Saat itu, aku spontan langsung berdiri ke depan panggung mendekati Bu Iin dan menegurnya dengan keras. Loh Bu Iin belum selesai itu, kenapa kok disuruh salam? Tinggal satu bait pantun penutup terus salam. Kenapa sampean suruh salam? Bukankah ada aku duduk di depan memperhatikan dia. Itu tanggung jawabku. Itu aku yang ngelatih sejak setahun yang lalu. Gak gampang ngelatih anak sekecil itu untuk kultum. Orang itu belum selesai, ngapain kok suruh salam?”
“Aku langsung bicara gitu sambil Bu Iin aku pegang tangannya. Meski aku sudah menegur Bu Iin dengan spontan gitu aku masih merasa kecewa. Dan, kecewa berat. Kemudian aku duduk di kursi paling belakang sambil minum dan menenangkan hati. Tapi hatiku semakin kacau. Dan, rasanya semakin kecewa.”
Murni yang sudah cukup lama menjadi guru PAUD itu menceritakan peristiwa yang mengecewakan dirinya. Sambil berdiri mengambil air minum dan kembali duduk dekat emaknya sambil meneguk air putih di tangan. Emak yang sejak tadi belum berkomentar masih tetap diam dengan tenang dan tampak santai. Kemudian si Murni kembali berbicara melanjutkan ceritanya.
“Nah, habis itu Mak, kan selesai acara semua murid, wali murid, dan undangan sudah pulang semua. Kemudian kami beres-beres lingkungan sudah bersih. Habis itu, terus duduk semua guru evaluasi. Malah aku disalah-salahin oleh kepala sekolahku Mak, dicari-cari salahku. Aku tambah merasa jengkel.” Murni mengakhiri curhatnya. Wajahnya tampak sedikit tenang dan kembali dia mengambil air minum di sebelahnya, lalu meneguknya perlahan.
Melihat anaknya sudah banyak perubahan Si Emak ganti berbicara. Menanggapi keluh kesah anak semata wayangnya yang mengabdi menjadi guru paud itu. Emaknya mendukung dan mensupportnya sepenuh hati. Kemudian dia mulai bicara.
“Begini ya, Nak. Segala yang terjadi itu sudah pasti atas kehendak Tuhan. Sedangkan, skenario yang kamu rencanakan belum tentu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Jika ada sesuatu yang tidak kamu sukai cobalah kamu berusaha untuk menerimanya. Sedangkan bu Iin yang memutus kultumnya muridmu barangkali dia memang khilaf, bukan suatu hal yang disengaja atau direncana, cobalah kamu bayangkan seandainya kamu di posisi bu Iin, pastinya minta permakluman juga kan?” sahut Emak sedikit menasehati dengan tetap menjaga perasaannya.
“Kalau yang namanya evaluasi itu identik dengan mencari kekurangan. Dan kekurangan yang ditemukan itu sebagai acuan untuk memperbaiki atau menyempurnakan di event-event selanjutnya. Jadi mau gak mau, suka gak suka yang namanya evaluasi itu yang dicari salah dan kurangnya. Ya kamu harus bisa menerima itu. Kalau gak mau menerima itu ya namanya diganti aja. Bukan evaluasi tapi ngopi santai.” Emak mengakhiri bicaranya dengan kalimat lucu sambil tertawa, berharap Murni ikut tertawa juga dan terhibur karenanya.
####################################
Kreator : Endah Suryani, S. Pd AUD
Comment Closed: CURHAT DONG, MAKK!
Sorry, comment are closed for this post.