“Bu Darmi … Bu Darmi …” Aku memanggil pemilik rumah sambil mengetuk pintu rumah.
“Iya, Bu Kasim?” tanya Bu Darmi ketika pintu sudah dibuka.
“Saya ada perlu, Bu. Boleh saya masuk?”
“Oh … Silahkan, Bu Kasim.”
“Bu Darmi, maaf sebelumnya saya mengganggu. Bu Darmi, saya boleh meminta sedikit daun kelor yang ada di pekarangan samping Ibu?”
“Boleh Bu Kasim, silahkan ambil. Untuk sayur ya?”
“Iya, Bu Darmi.”
“Bapaknya anak-anak minta disayurkan, katanya seret makan kering-kering. Tadi siang mau beli ikan dan sayur tapi uang kami menipis.” jelas Bu Kasim tertunduk sedih.
Sudah sebulan beberapa tetangga di sekitar kami yang berprofesi sebagai nelayan tak bisa turun ke laut. Cuaca pada malam hari tak begitu bersahabat, hujan lebat turun, tiupan angin kencang di kegelapan malam, seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang tidak baik-baik saja.
Suamiku, Pak Hasan, dan beberapa tetangga yang lain bekerja sebagai nelayan yang menggantungkan rezekinya pada laut. Sebulan bukan waktu yang singkat untuk menghidupi keluarga kami. Berbagai upaya dilakukan agar asap dapur terus mengepul.
“Tunggu sebentar ya, Bu Kasim.” kata Bu Darmi berlalu masuk ke kamar.
“Ini pakai dulu, Bu Kasim.”
“Tidak, Bu. Kami hanya minta beberapa batang sayur kelor, Bu Darmi.”
“Sudah tidak apa, Bu Kasim. Pakai saja dulu,” kataku lagi.
“Terima kasih, Bu Darmi. Insya Allah, saya akan segera mengembalikannya jika Bapaknya sudah melaut lagi.”
“Jangan dipikirkan, Bu Kasim. Pakai saja untuk kebutuhan yang lain.”
Bu Darmi adalah seorang guru yang menjadi tetangga kami. Orangnya ramah dan murah hati. Di setiap Hari Raya, baik Hari Raya Idul Adha maupun Hari Raya Idul Fitri, ada saja yang kami dapatkan dari Bu Darmi. Baik berupa makanan ataupun minuman.
“Saya permisi, Bu Darmi.”
Bu Darmi membalasnya dengan senyuman dan menunjukkan tempat pohon kelor yang akan Aku petik.
***
Gelap membungkus heningnya malam. Rembulan muncul dengan sempurna dan gemintang bertaburan. Rumah-rumah di sekitar kami sudah nampak sepi. Cuaca malam ini sedikit membaik dibanding malam-malam sebelumnya.
Pak Kasim memulai obrolan denganku, “ Bu, sepertinya angin masih belum begitu bagus. Bapak perlu menunggu beberapa hari lagi untuk melaut.”
Sambil tersenyum dan mengelus tangan suamiku, “Iya Pak. Terlalu beresiko untuk melaut saat ini.”
Kulihat mata suamiku berkaca-kaca, tak lama lagi tetesan air bening itu jatuh. Pemandangan ini sangat jarang kulihat. Suamiku pasti memikirkan persediaan makanan yang sudah mulai habis satu per satu.
“Bu, yang sabar ya,” dengan suara parau suamiku berkata.
“Iya, Pak. Tak perlu dipikirkan terlalu berat, yakinlah Allah SWT akan memudahkannya.”
“Ini kali waktu yang terpanjang untuk tidak pergi melaut. Bapak sangat prihatin. Anak-anak butuh biaya sekolah, uang jajan, Ibu juga butuh untuk belanja makanan.”
“Ibu akan berusaha untuk memenuhinya. Tetangga kita, Bu Darmi, mengulurkan tangannya untuk membantu kita, Pak.”
“Ibu jangan sering-sering, Bapak malu.”
“Iya, Pak. Ibu ngerti. Mau bagaimana lagi, Bu Darmi sendiri yang menawarkan kepadaku.”
“Baiklah, Pak. Ibu tidak akan sering-sering minta ke tetangga. Mari beristirahat dan jangan lupa berdoa semoga hari esok cuaca sudah membaik dan Bapak bisa melaut secepatnya.”
Aku selalu mengandalkan doa di setiap kondisi apapun. Bagiku, doa adalah saat aku berkomunikasi kepada Sang Maha Pemberi rezeki.
***
Hari ini hari ke-32 suamiku tak melaut. Aku ke luar rumah dan mengarahkan pandanganku ke langit. Cukup cerah, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa di belakang rumah gemerisik ringan, menjanjikan cuaca mulai membaik.
“Ya Allah, inikah jawaban atas doa yang kami panjatkan di setiap pagi dan malam?”
Cuaca membaik sampai siang hari. Malam ini suamiku dan Pak Hasan serta para tetangga yang berprofesi sebagai nelayan pergi melaut. Perahu mereka meninggalkan pantai dengan tenang.
Waktu tiga hari mereka habiskan di tengah laut untuk mencari ikan dan hari ini hari keempat. Ketika fajar merekah, perahu-perahu mereka menuju pantai dan dengan wajah ceria mereka mulai menggantang dan menimbang hasil tangkapan mereka yang lumayan banyak, segera mereka membawa untuk dijual ke pasar. Suamiku dan beberapa tetangga pulang dengan membawa keceriaan. Mereka disambut para anggota keluarga dengan gembira begitu pula aku dan anak-anak. Sekali lagi, aku memanjatkan doa syukur di dalam hati.
***
“Hidup indah saat kita bersyukur dalam kondisi apapun.”
Kreator : Indarwati Suhariati Ningsi
Comment Closed: Dalam Himpitan kehidupan
Sorry, comment are closed for this post.