Matahari tengah bersemangat menyinari Bumi saat aku selesai mandi. Rasa segar menguar ke seluruh tubuhku yang terkena air. Bahkan hari ini aku memutuskan untuk keramas karena cuaca yang sungguh luar biasa panas. Aku keluar dari kamar mandi dengan menggunakan kaos berlengan pendek warna merah bonus dari pembelian es krim dan celana pendek warna biru yang aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku memilikinya, mungkin ibuku yang memasukkan ke lemari pakaian. Sambil mengusap rambutku yang masih basah dengan handuk, aku menekan tombol open pada CD playerku, memasukkan CD evermore milik Taylor Swift, lalu aku menutupnya dan menekan tombol play.
Aku duduk di kursi riasku sambil memandang pantulan bayanganku di cermin. Ah, ternyata aku cantik. Lalu aku menarik laci sebelah kiri meja riasku, mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambutku. Rambutku panjang sebahu dan ikal, akan memerlukan waktu yang lama untuk kering jika tidak dibantu dengan teknologi bernama hairdryer. Memang biasanya aku akan membiarkan rambutku kering dengan sendirinya, karena aku suka rasa dingin di kepala ketika cuaca panas. Tapi hari ini sedikit berbeda, karena aku harus pergi menemui teman lamaku, ya “sahabat”-ku yang sudah lama aku tidak bisa menemuinya.
Aku mengurai gulungan kabel hair dryer, menancapkannya ke stop contact di kolong bawah meja riasku, aku tekan tombolnya ke mode sedang, karena masih ada waktu untuk mengeringkan rambut. Suara desingan hair dryer langsung menyerang pendengaranku, mengisolasiku dari suara lain di luar sana. Bahkan aku tidak bisa mendengar suara Taylor Swift yang sedang menyanyikan lagu champagne problems.
Aku menundukkan kepalaku, membiarkan hairdryer menjalankan tugasnya dengan tangan kananku sambil dibantu oleh tangan kiriku yang mengurai rambut basah. Lambat laun rambut yang basah mulai mengering, dan aku melihat beberapa, ah tidak, banyak helai uban di rambutku. Pertama kali aku menyadari aku memiliki uban adalah saat aku lulus SMA dan itu sudah berlalu 15 tahun lalu. Kini uban di rambutku semakin banyak, tapi tidak pernah membuatku malu hingga ingin mencabutnya. Justru aku suka dengan uban ini, karena terlihat keren karena bisa tumbuh dengan kokoh di antara banyaknya rambut hitam. Bahkan sebenarnya aku tidak sabar untuk memiliki lebih banyak uban lagi agar rambutku bisa berubah menjadi perak sempurna. Ternyata waktu berjalan begitu cepat, dari satu helai uban hingga kini aku sudah tidak bisa menghitung berapa jumlah kilauan perak yang bertengger di rambutku. Apakah ini artinya aku sangat menikmati kehidupanku? Alhamdulillah.
Setelah rambutku kering, aku mematikan hair dryer, mencabut kabelnya dari stop contact dan menggulungnya, lalu aku simpan lagi di laci meja rias sebelah kiri seperti semula. Aku menyisir rambutku dengan jari-jariku, berharap pola ikal pada rambutku tidak rusak. Sambil menatap helaian rambutku yang aku sisir dengan jari-jari, aku melihat bayanganku di cermin dan tanpa kusadari mataku tertuju pada jari manis sebelah kiriku. Aku menghela nafas dalam. Menikmati getir yang ada di dalam mulutku lalu menelannya. Dadaku masih terasa sesak. Tidak apa, semua akan membaik sesuai dengan prosesnya, tak perlu menunggu, mari dinikmati saja.
Jari manis kiri ku kini tidak berhiaskan cincin. Cincin itu adalah cincin perkawinan yang diberikan oleh suamiku, ah bukan, kini dia mantan suamiku. Kalau aku tidak salah mengingat, sepertinya cincin itu aku kembalikan kepada ibunya di hari terakhir sidang perceraianku, sebulan lalu. Setelah hakim memutuskan bahwa kami bercerai, aku menemui ibunya, meminta maaf dan berpamitan, sambil mengembalikan cincin itu karena cincin itu memang miliknya. Ya, semoga aku tidak salah mengingat kejadian “hilang”-nya cincin perkawinanku. Atau justru itu adalah memori yang aku buat sendiri dan aku yakini bahwa aku mengingatnya demikian? Entahlah, yang jelas cincin itu sudah hilang dari kehidupanku.
Aku tersenyum pada pantulan bayanganku di cermin rias. “Aku bangga padamu, terima kasih karena kamu sudah berjuang dan masih melanjutkan perjuangan,” kukatakan padanya dari hatiku terdalam.
Setelah urusanku selesai dengan rambutku yang sudah aku ikat dengan sederhana, kini aku sedikit berusaha keras untuk memilih pakaian apa yang perlu aku gunakan. Sebenarnya hal ini bisa mudah saja bagi orang lain yang sering bepergian, tapi tidak untuk aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Aku membuka almari pakaianku dan menatap deretan abaya yang tergantung di dalamnya. Lalu aku melirik ke sudut lain di kamarku, ke arah deretan hijab yang digantung berjajar sesuai dengan warna pelangi. Inilah salah satu perjuanganku, karena aku berhijab maka aku tidak hanya memutuskan baju warna apa yang akan aku gunakan jika aku akan bepergian, tapi aku juga perlu memutuskan warna hijab yang mana yang cocok dengan abayaku, atau sebaliknya. Dan aku berharap bahwa aku bukan satu-satunya perempuan berhijab yang berpikiran serupa.
Setelah aku memutuskan akan menggunakan hijab warna merah marun, aku mengambil abaya hitam dengan motif bunga poppy merah kecil-kecil di ujung lengan dan rok abayaku, yang senada dengan warna hijabku. Aku pikir warna maroon lebih cocok dengan diriku saat ini, walaupun selera warnaku memang selalu berubah sesuai dengan perasaanku setiap harinya. Jadi memang pada dasarnya aku tidak memiliki warna favorit seperti kebanyakan perempuan.
Aku mengenakan kebayaku dengan cepat, lalu mengenakan hijab dengan sederhana. Aku pastikan tidak ada sehelai rambut yang lolos dari penjagaan hijabku. Lalu aku melihat ke cermin, sambil mengambil lipgloss di meja riasku dan mengusapkannya ke bibirku agar tidak kering. Aku ambil tas dan memasukkan lipgloss ke dalamnya. Aku teringat juga untuk mengambil parfum, menyemprotkannya sedikit ke leher yang berada di dalam hijabku dan ke kedua pergelangan tanganku, dan aku memasukkan botol parfum itu ke tasku juga. Ketika aku melirik ke meja riasku, aku baru teringat bahwa aku hampir lupa menggunakan body lotion. Benar-benar aku ini jarang bepergian, sehingga aku perlu waktu panjang untuk meneliti apa saja yang belum aku lakukan dan sudah aku lakukan.
Kini aku melihat isi tasku, ya hanya ini tas yang sering aku bawa, di dalamnya selalu terisi tumbler, dompet, buku bacaan dengan judul apapun yang kali ini aku bawa adalah salah satu buku karya Tere Liye yang berjudul Negeri Di Ujung Tanduk, dan handphone. Semoga kali ini tidak ada yang tertinggal. Aku melirik jam di sudut kamarku dan aku tersenyum. Ah, masih ada waktu untuk mampir ke toko buku sebentar. Aku mengambil handphone dan mencari kontak seseorang untuk meneleponnya. Aku menelepon salah satu staf di toko buku langgananku. Aku memintanya untuk menjaga satu judul buku, dan setelahnya aku membayar secara online. Aku katakan padanya bahwa sebentar lagi aku akan mengambil buku itu. Hubungan telepon aku matikan setelah aku mengucapkan terima kasih padanya. Bagaimana aku bisa mengenal staf di toko buku itu? Cerita ini akan panjang, mungkin belum saatnya untuk dijelaskan.
Setelah mengecek satu-dua kali, mematikan CD playerku yang sedang memainkan lagu Marjorie, akhirnya aku menggunakan sepatuku dan melangkah keluar kamar, berpamitan pada ibuku yang sedang beristirahat sambil membaca buku, mengucapkan salam dan mencium kedua pipi ibu yang masih berisi walaupun sedikit mengendur karena usia lanjutnya.
“Main, Fa?” tanya ibu singkat, yang entah kenapa membuatku terkejut.
“Iya, bu. Haifa keluar sebentar, ya?” kataku singkat sambil tersenyum.
“Berbahagialah, nak!” kata ibu singkat lalu membuang mukanya kembali ke menatap halaman buku yang dibacanya.
Entah kenapa kata-kata singkat ibu memantik panas di tenggorokanku, mengundang setitik air di ujung mataku. Aku memadamkan perasaan itu dengan anggukan, menatap lamat-lamat wajah ibu yang ternyata menyunggingkan senyuman dibalik bukunya. Aku melihat ujung mata ibu melengkung, itulah kenapa aku tahu bahwa ibu sedang tersenyum. Dan senyum ibu sampai ke mata. Air itu justru semakin berkumpul di titik ujung mataku, aku mengedipkan mata untuk mencegahnya terjun bebas.
Aku balik badan menuju pintu, sambil berucap, “Pergi dulu ya, bu. Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumussalam,” jawab ibu pelan, tapi masih bisa aku dengarkan.
Pintu berdebam pelan di belakangku. Aku menatap sekeliling taman depan rumah ibu yang penuh dengan tanaman. Ibu memang suka memelihara tanaman sejak dulu, bahkan ketika bapak masih ada, tanaman di depan rumah sangat banyak karena ibu merawatnya bersama bapak. Setelah bapak tiada, 2 tahun lalu karena penyakit gagal ginjalnya, ibu tidak sanggup merawat semua tanamannya sendirian. Banyak tanaman yang mati karena aku, anak satu-satunya ini, tidak mewarisi sedikitpun keterampilan dalam merawat tanaman. Bahkan tanaman yang tidak perlu perawatan khusus saja bisa mati di tanganku. Maka semenjak itu, aku hanya berperan sebagai penikmat tanaman saja.
Matahari semakin terik terasa, “Bismillah”, aku berbisik sambil menepuk dadaku, meredakan dentuman keras di dalamnya, berharap memperlambat detaknya agar tidak terdengar keras oleh orang lain yang berpapasan atau berhadapan denganku. Aku menghela nafas panjang. Sesekali memejamkan mata. Menghela napas kembali. Dan akhirnya aku melangkahkan kakiku ke dunia luar kembali, setelah satu bulan ini aku sengaja mengasingkan diri, menolak bertemu dengan siapapun, karena aku sedang menikmati proses kesendirianku. Menikmati proses status baruku tanpa takut pada penilaian negatif. Kini, insya Allah aku sudah siap bertemu dengan dunia yang sudah aku tinggalkan sebulan terakhir. Karena sebentar lagi aku akan berjumpa dengan teman lamaku, sahabat yang selalu menerima seluruh tingkah random ku selama 12 tahun terakhir ini.
Kreator : Shifa
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 1)
Sorry, comment are closed for this post.