Hari-hari berlalu, aku memutuskan untuk sejenak beristirahat sambil membaca buku. Sesekali aku kembali menatap layar laptop, mengetik beberapa kalimat untuk skripsiku yang masih menggantung nasibnya. Aku belum memutuskan kapan waktu untuk pergi ke perpustakaan yang memiliki persentase kemungkinan tertinggi di antara lima perpustakaan itu. Memang dari daftar buku yang aku catat, perpustakaan di universitas kelima memiliki lebih banyak buku, Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA.
Ketika Kiki mengetahui bahwa aku akan ke perpustakaan itu, dia langsung mengambil handphone-nya dan mengecek nama-nama yang ada di daftar kontak teleponnya. Terkadang dia mendengus bahkan sedikit mengumpat sambil terus menekuri layar sentuh yang memantulkan cahaya ke wajahnya.
“Ah, aku kehilangan kontaknya. Kenapa bisa hilang?” Kiki bergumam.
Maka sambil menenangkan diri, aku memutuskan untuk mengambil istirahat sejenak. Menulis kalimat untuk skripsi, nyatanya tetap membutuhkan inspirasi. Mungkin rangkaian kata yang digunakan memang berbeda dengan ketika menulis novel atau cerpen. Kalimat dalam skripsi adalah hasil dari perpaduan antara kata-kata teori yang bersifat kaku dan hasil pemikiran penulis. Menyatu secara logis dan sistematis melahirkan kalimat yang bisa mengulas suatu kasus nyata secara anggun. Bukan merupakan potongan-potongan teori yang disusun begitu saja layaknya batu bata menyusun tembok sebuah rumah.
Aku memperhatikan laptopku lamat-lamat, membaca ulang setiap kata yang pernah aku tuliskan. Aku melirik ke toolbar di layar laptop, pojok kiri paling bawah. Skripsiku sudah berada di halaman 98, hampir 100 halaman. Padahal rencanaku semula hanya ingin menulis skripsi yang sederhana, mengambil jumlah minimal halaman, 70 halaman saja.
Angin dingin AC perpustakaan membelai pelan kepalaku, menambah rasa kantuk yang sudah aku tahan sedari tadi. Aku menguap, mengerjapkan mata, dan menggosoknya dengan jari tengah kananku. Aku harus mengusir rasa kantuk ini. Akhirnya aku ambil earphone, menyambungkannya ke laptop, dan aku memainkan album Speak Now milik Taylor Swift, satu detik kemudian intro lagu Mine sudah menggetarkan kedua gendang telingaku.
Aku mulai fokus kembali pada skripsi yang terpampang di layar laptopku. Mataku menatap dan memperhatikan setiap struktur kata yang aku tulis. Format. Ejaan kata. Struktur kalimat. Typo. Aku mengusahakan sesempurna mungkin, dan berharap tidak ada kesalahan dalam penulisan skripsiku. Aku telanjangi setiap baris kalimat yang aku ketik dengan seksama.
“Fa, Fa, Fa,” seseorang menepuk pundak kiriku, membuat perhatianku teralih dari layar laptop. Kiki sudah menarik kursi di sebelah kiriku dan duduk ketika aku menoleh kepadanya sambil membuka earphone-ku.
Kiki menyandarkan badannya ke depan, meringkuk, “Cuaca sangat panas di luar,” gumamnya.
Aku rasa dia sedang membiarkan seluruh badannya merasakan terpaan angin AC. Aku kembali melihat laptop, membiarkan Kiki yang kini telah memejamkan matanya. Mungkin kini dia sudah tertidur. Aku membaca kembali skripsiku yang ada di layar laptop, “Ini harusnya dipisah. Ah, ini harusnya disambung. Hah, uang? Oh, typo! seharusnya ‘yang’”, aku bergumam dengan diriku sendiri melihat kesalahan-kesalahan yang aku perbuat.
Tiba-tiba Kiki menggeliat, dan aku menoleh padanya untuk mengamati. Tangan kanannya merangsek ke saku kanan celananya, mengeluarkan sesuatu, “Ini,” katanya sambil menyodorkan tangannya yang menggenggam sesuatu itu kepadaku. Tangan Kiki mendarat di dekat laptopku.
Aku baru bisa melihat benda yang disodorkan Kiki setelah dia menarik tangannya kembali. Sebuah kartu? Aku melirik antara Kiki dan kartu itu, tapi Kiki masih menyembunyikan wajahnya di balik rengkuhan kedua tangannya. Sepertinya Kiki sedang merasa sangat mengantuk. Mungkin dia begadang tadi malam.
Aku mulai memfokuskan pandangan pada kartu tadi. Tanpa menyentuhnya, karena kedua tanganku masih berada di atas keyboard laptop. Aku mencoba membaca tulisan yang ada di kartu tersebut, “Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Kartu Anggota,” aku mengulanginya, “Perpustakaan Profesor Haji Mukti Ali,” lalu aku tersentak hingga kursiku mundur beberapa senti berdecit membuat mahasiswa lain terkejut hingga melihat ke arahku. Aku nyengir sambil menunduk-nundukkan kepala untuk meminta maaf kepada mereka. Alhamdulillah, mereka cepat kembali ke dalam kegiatannya masing-masing.
Aku berdesis di dekat telinga Kiki sambil menepuk punggungnya, “Kiiii, kamu dapat kartu ini dari mana?”
Kartu itu masih belum aku pegang. Masih tergeletak begitu saja di atas meja. Sekilas aku melihat ada foto pemilik kartu itu. Namanyaaaa… tulisannya terlalu kecil bagiku, aku tidak bisa membacanya. Aku belum mengamati secara detail. Kartu anggota perpustakaan ini hanya bisa dimiliki oleh mahasiswa di universitas itu saja. Peraturan di Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA., jika tidak memiliki kartu anggota maka tidak bisa meminjam buku untuk dibaca di rumah. Oleh karenanya, bagiku kartu ini seperti kunci gerbang rahasia yang akan membawaku menuju tempat yang dipenuhi harta karun.
Kiki menggeliat kembali, melemaskan otot-ototnya, “Yang jelas aku tidak mencurinya, Fa.”
“Iya, aku tahu, tapi…”
“Kamu pakai saja dulu, sampai kamu selesai dengan skripsimu, baru nanti kamu kembalikan,” Kiki memotong.
Aku menatap Kiki.
“Sudah ah! Aku mengantuk, cuaca panas sekali di luar sana,” gumam Kiki, dan dia kembali meringkuk, bersembunyi di rengkuhan kedua tangannya.
Sejenak aku melihat kartu yang berwarna hijau muda tersebut. Tanpa berpikir panjang, aku meraih kartu itu dan memasukkannya ke saku gamis sebelah kananku.
“Perpustakaan itu lebih dekat jaraknya dari rumahmu, dan kamu pasti tahu jalannya kan, Fa? Kamu kesana sendiri, ya!” suara Kiki teredam karena dia masih meringkuk.
“Iya, Ki, aku ke sana sendiri aja,” aku tidak mau merepotkan siapapun, apalagi Kiki sudah membantuku sampai mendapatkan kartu ini, “Terima kasih, Ki,” kataku sambil tersenyum. Aku tidak tahu apakah Kiki mendengarnya atau tidak, tapi aku sangat berterima kasih padanya.
Entah kenapa hatiku berdebar, membayangkan aku bisa masuk ke perpustakaan yang sepertinya keren jika dilihat berdasarkan website-nya, dan aku bisa berpetualang di hutan kata yang baru bagiku. Aku menepuk-nepuk pelan saku kanan pada gamisku, merasakan keberadaan kartu itu. Aku mengalihkan fokus ke layar laptop kembali, mulai membaca tulisan dalam skripsiku. Simpul senyum ringan bertengger di wajahku. Bismillah, semoga semua berjalan dengan lancar.
Kreator : Shifa
Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 4)
Sorry, comment are closed for this post.