Aku masih ingat jelas, pertengahan tahun 1994. Angin kemarau dari perbatasan utara kabupaten Nganjuk membawa debu tipis yang menerpa wajah hingga ke batinku, menyisakan rasa perih dan pengap. Tahun dikala pertama kali aku merasakan kepahitan yang mendalam, rasa malu dan benar-benar merasakan gelapnya hidup. Aku yang selalu berprestasi di sekolah sejak SD, dan berhasil masuk SMA favorit di Kota Kabupaten, harus menerima kenyataan tidak lolos ujian di semua perguruan tinggi. Sementara, teman-temanku biasa-biasa saja sedang berbahagia, mempersiapkan diri menjadi mahasiswa baru.
Hingga suatu sore, selepas sholat ashar, Bapak menawarkan aku untuk membantu kakakku di Malang, yang saat itu masih kuliah sambil mengurus anaknya yang baru beberapa bulan lahir. Aku hanya diam, tidak terlalu antusias menanggapinya. Kurasa Bapak hanya mencoba mencari cara untuk menghiburku, agar tidak terlarut dalam kesedihan. Dalam hati aku meratapi, betapa menyedihkannya hidupku. Menjadi orang gagal, dan harus menerima belas kasihan…. Betapa lemahnya diriku saat itu…..
Dua hari tak juga aku memberikan respons atas tawaran Bapak, hingga akhirnya aku membaca iklan di surat kabar yang dibawa Bapak dari kantor. Bimbingan belajar Primagama, terdepan dalam prestasi…. Begitu tulisan yang tercetak dengan huruf besar pada iklan, di bawahnya tertulis deretan tulisan dengan huruf kecil-kecil alamat kantor pusat, diikuti dengan alamat cabang beserta alamatnya di seluruh kota di Indonesia. Banyak sekali kantor cabang yang tercantum, dan pandanganku tertambat pada kantor cabang Malang di Jl. Gajayana, Jl. Bandung. Sesaat ada secercah harapan, mungkin ini akan menjadi jalanku.
Hari itu Kamis malam Jumat, selepas maghrib Bapak biasa membaca Surat Yasin dan do’a. Setelah beliau menyelesaikan bacaan, aku mencoba untuk menyampaikan keinginanku mengikuti bimbingan belajar di Primagama. Namun, hingga delapan menit berlalu, tak satu pun kata keluar dari bibirku. Ada keraguan, karena bimbingan belajar perlu biaya untuk mendaftar, dan aku tahu kondisi ekonomi saat itu. Bapak sebagai Kepala Sekolah SD, yang hanya mengandalkan gaji bulanan tanpa usaha sampingan, tanpa sawah, tanpa ternak. Beberapa kali aku sempat mendengar percakapan lirih Bapak dan ibu, tentang minimnya gaji yang diterima, karena dipotong koperasi. Bukankah keinginanku menambah beban bagi mereka? Atau kuurungkan saja niat untuk mengikuti bimbingan belajar?
“Bagaimana, sudah ada rencana untuk ke Malang?” suara lembut Bapak membuyarkan pikiranku seketika. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menunduk, dengan menatap lipatan koran yang masih kupegang.
“Niki enten bimbingan belajar, Pak,” sahutku pendek sambil menyodorkan lipatan koran yang ada di tanganku.
“Opo kuwi bimbingan belajar?” tanya Bapak.
“Kados les, untuk persiapan UMPTN,” jawabku menjelaskan masih dengan kalimat singkat.
“O… yo ora popo, nanti kamu di Malang bisa ikut les sambil bantu-bantu Mbakmu. Ya, nanti biar diarahkan untuk daftarnya. Jadi, kapan mau berangkat?” tanya Bapak.
Ada perasaan lega yang mengalir di dadaku. Selama ini aku memang hampir tak pernah berbincang dengan Bapak maupun ibu. Aku tak cukup punya kemampuan menjelaskan, sekalipun itu tentang keinginan atau perasaanku. Hari-hariku hanya berisi rutinitas sekolah dan belajar. Ya, aku Adalah anak pendiam, terlalu pendiam mungkin….
Hari Sabtu pagi aku bersiap, beberapa potong pakaian aku masukkan ke dalam tas yang biasa kupakai sekolah. Beberapa buku catatan yang kurasa penting pun kubawa pula. Siapa tahu diperlukan saat les. Memang membaca buku catatan sendiri rasanya lebih mudah untuk membantu mengingat.
Jam 06.15 aku pamit pada Bapak dan Ibu untuk berangkat, mengantri colt, satu-satunya alat transportasi umum yang ada di tempatku. Pagi sekali memang, karena di jam itulah penumpang yang terdiri dari anak-anak yang bersekolah di kota kabupaten akan berangkat, sehingga kendaraan cepat penuh dan segera berangkat menuju terminal Nganjuk. Jika terlambat sebentar saja, pasti akan lama menunggu penuh rombongan penumpang berikutnya, karena tidak banyak orang bepergian dengan angkutan umum ini selain anak sekolah. Kendaraan ini pula yang selama ini ku tumpangi menuju sekolah dan tempat kos yang ada di kota Nganjuk.
Di bangku yang terletak di sudut belakang sopir aku duduk menghadap ke belakang. Di depanku anak-anak berseragam putih abu-abu, duduk berjejer sambil bersenda gurau dan sesekali tertawa. Bahagia sekali kedengarannya. Dalam hati aku berkata, “Nikmatilah masa bahagiamu, sebelum datang gelapnya dunia, seperti yang kualami saat ini.”
“Terminal…terminal… terakhir…terminal…,” suara keras kenek yang duduk di seberangku menyadarkan aku telah sampai di tujuanku.
Aku segera turun dengan menenteng tas yang terasa sedikit berat, menuju peron. Aku bertanya bus mana yang bisa ditumpangi kepada seorang bapak, penampilannya seperti calo atau pengepul penumpang. Memang begitulah budaya dan tradisi kehidupan di terminal.
“Dari sini Sampean bisa naik bus ini, nanti turun Jombang, ganti bus Puspa Indah turun terminal Dinoyo. Atau dari sini turun Surabaya, nanti ganti bus di Surabaya, turunnya Arjosari,” dengan detail ia menjelaskan kepadaku.
Aku pun mengucapkan terima kasih kepadanya. Mungkin ia melihat wajahku yang memelas. Memang ini Adalah perjalananku pertama ke kota Malang. Tapi sebelumnya aku sudah punya pengalaman naik bus antar propinsi juga. Aku berusaha bersikap wajar dan tenang, meskipun tak bisa menunjukkan wajah yang ceria.
Perjalanan menuju kota malang melewati jalan berkelok-kelok sepanjang area Pujon sampai Batu membuat kepalaku sedikit pusing. Setelah turun dari bus, aku mencoba menenangkan diri, perutku terasa sedikit mual. Setelah kupejamkan mata dan tarik napas panjang, membuat aku sedikit lebih baik. Aku segera menyeberang jalan, masuk gang menuju rumah kakakku. Alhamdulillah… aku sudah sampai dengan selamat.
—-
Mengikuti bimbingan belajar di Primagama kota Malang, membuat hatiku sedikit terhibur karena ada kegiatan seperti kuliah, meskipun belum benar-benar kuliah. Setidaknya aku sudah tidak lagi terlihat nganggur di rumah. Di sini aku merasa tak sendirian, aku bertemu banyak teman-teman senasib yang juga masih mencari arah menuju masa depan. Kami sibuk menyiapkan diri untuk UMPTN yang akan datang.
Hari ini adalah sesi terakhir kelas di Primagama. Kami bertemu dalam suasana yang penuh kebahagiaan karena telah diterima di perguruan tinggi yang diinginkan. Utami dari Probolinggo, teman akrabku selama di Primagama, ia diterima di Hubungan Internasional Unair, Dessi dan Rifa’i anak asli Malang, diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Dita dari NTB diterima di UIN.
Kebahagiaan juga aku rasakan, ketika akhirnya namaku tercetak dalam pengumuman penerimaan mahasiswa baru Akademi Keperawatan Depkes Malang yang berada di jalan Besar Ijen, yang merupakan jantung kota Malang. Aku merasa doa dan air mata setahun ini tidak sia-sia. Akper di jalan Besar Ijen bukan sekadar tempat kuliah, tapi sebuah rumah yang menjanjikan masa depan. Apalagi kampus ini menyediakan asrama dan seragam resmi: putih, sederhana, dan membanggakan. Tak perlu bingung memikirkan kos atau baju-baju kuliah. Semua serba jelas, teratur, dan terasa ringan di pundak.
Bapak Ibu, terima kasih telah berusaha membesarkan hatiku. Meskipun tidak diterima kuliah melalui UMPTN, Allah telah memberikan tempat terbaik di Kampus ini untukku. Tahun 1995 menjadi awal kehidupanku sebagai mahasiswa calon perawat. Meskipun jujur, aku tidak punya gambaran pasti tentang sosok perawat, selain petugas di rumah sakit. Ya, itu saja yang kutahu tentang perawat. Selebihnya aku yakin akan mengenalnya di sini, di kampus Akper Depkes yang terletak di Jalan Besar Ijen Kota Malang.
Kreator : ERNA RAHMA YANI
Comment Closed: Dari Perbatasan ke Jalan Ijen
Sorry, comment are closed for this post.