Hari-hari kulalui tanpa nyawa, tanpa rasa. Rumah ini sunyi, sepi, tanpa nyawa. Aku kadang seperti orang gila. Aku menunggu suamiku di depan teras, berharap dia pulang. Kadang aku seperti melihat suamiku berjalan mendekatiku sembari tersenyum. Aku mencoba merengkuh tubuhnya, mengobati rasa rindu yang menggunung, tapi ternyata hampa. Tak ada raganya, aku hanya memeluk angin.
Hatiku kini tengah rapuh. Aku seolah berada pada titik nadhir. Pasca kepergian orang tercintaku, belahan jiwaku, orang yang sangat berarti dalam hidupku. Lelaki yang telah menemani dalam sepenggal kisah hidupku, kebahagiaan yang dulu mewarnai hidupku, harus terenggut oleh sebuah peristiwa yang menyesakkan jiwaku, kematian. Yah, separuh nafasku itu telah kembali kepada penciptanya 7 hari yang lalu.
Sedih? Tentu saja. Siapa lah orang yang sanggup berdiri tegak saat sandaran hidupnya, belahan jiwanya tiada lagi? Hatiku meraung dalam senyap. Aku merasa tak sanggup menjalani hidup tanpa lelaki itu. Langit seolah runtuh, bumi berguncang, tubuhku seolah tak lagi bertulang, limbung, ambruk tanpa daya. Siang malam menangis tak dapat lagi aku tahan, mata sembab. Aku ingin menjerit, menumpahkan segala perih yang menancap di hati, air mataku seolah tiada henti mengalir di kedua pipiku.
Suamiku, lelaki yang amat mencintaiku dan amat kucintai, beliau pergi di usianya yang masih sangat muda, 46 tahun. Beliau meninggal oleh virus yang mengganas pada waktu itu, virus Corona. Virus yang menggila di seluruh dunia, menjadi pandemi yang menyebabkan semua harus menjaga jarak, tak boleh ada kerumunan. Bahkan kematian beliau, tidak diperkenankan sanak saudara, tetangga, sahabat, atau siapapun untuk datang sekedar bertakziyah, membesarkan dan menguatkan hati keluarganya.
Aku tergugu dalam pilu. Aku menangis dalam sunyi. Hanya keempat anakku yang berbagi kesedihan. Kami saling menjadi saksi betapa kehilangan itu amat menyakitkan. Betapa berpulangnya “pahlawan” kami adalah pukulan terberat yang aku rasakan.
“Bu,, Bapak mana?” tanya Aya dan Ayi suatu hari.
Aku hanya tergugu mendengar pertanyaan mereka.
“Bapak menunggu kita di surga,” jawabku setelah aku berhasil menguasai hatiku.
“Ibu inget Bapak, ya? Ibu jangan nangis teyus. Kan Bapak menunggu kita di surga. Di sini masih ada Aya, dek Ayi, Mas Fayuq, Mas Zamzami,” ujar Aya di waktu yang lain dengan suara cadelnya.
Malam itu selesai acara yasinan tujuh hari mengirim do’a untuk suamiku. Acara kirim do’a selepas Ashar dan berakhir sebelum Maghrib itu hanya dihadiri oleh beberapa orang saja dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, duduk yang berjarak, masing-masing menggunakan masker, mencuci tangan menggunakan sabun, dan memakai hand sanitizer saat akan masuk rumah.
Aya, bungsuku yang masih berusia 4 tahun mendekat, mengelus pipiku dengan tangannya yang lembut, memberikan kenyamanan dalam hatiku. Selepas sholat maghrib aku memang sengaja masuk ke kamar, menumpahkan perasaan sedihku saat teringat mendiang suamiku.
Seketika isak tangisku bertambah kencang mendengar celoteh balitaku. Dia bak malaikat kecil yang diturunkan untuk menghibur hati ibunya. Aku menoleh, mencoba untuk tersenyum meski air mata terus saja membasahi pipiku. senyum itu terasa ganjil bagiku. Aku meraih tubuh mungilnya, memeluknya dengan rasa yang tak dapat aku definisikan. Rasa itu bercampur aduk memenuhi hati. ku cium pipinya yang tembem, ku pandang matanya yang bulat menggemaskan, dia mengerjap-ngerjap.
Di belakangnya tampak adiknya, Ayi, datang mendekat perlahan. Dia memeluk tubuhku yang masih menahan isak tangis yang tak juga berhenti. Aya dan Ayi, sebenarnya mereka kembar. Tapi aku membiasakan mereka untuk memanggil dengan panggilan “Mbak” dan “Adik”.
“Ayi jadi ikut nangis kalau ibu nangis teyus,” ujar Ayi menambahkan. Aku tak dapat berkata-kata. Kurengkuh putri kembarku dengan kedua tanganku. Sesekali ku mengelap air mata menggunakan jilbab biru yang ku pakai. Ucapan kembarku membangunkan kesadaran bahwa bukan hanya aku yang kehilangan. Tetapi, balita kembarku, mereka masih sangat membutuhkan kehadiran cinta pertamanya, Bapaknya. Terbayang di pelupuk mataku kenangan-kenangan indah kembarku bersama Bapaknya. Binar mata Bapak saat menggendong kembarku secara berbarengan, tawa lepas terdengar setiap kali beliau mengangkat Aya dan Ayi dengan kedua tangannya yang kokoh. Kini kembarku harus menerima takdirnya, menjadi anak yatim di usia yang masih sangat kecil. Tangisku kembali meledak. Tubuhku terguncang keras sambil memeluk kedua putriku.
Aku teringat kedua anak lelakiku, mereka sangat membutuhkan sosok seorang ayah yang akan mendidik mereka menjalani hidup. Di usia mereka yang masih sangat labil, mereka kehilangan sosok itu.
Di rumah sederhana ini, aku tinggal bersama ke 4 anakku dan mamak mertuaku. Anak pertama dan keduaku, mereka telah menginjak remaja. Sulungku, Faruq yang kini duduk di bangku SMA tinggal di asrama di sebuah pondok pesantren yang terletak di tengah kota. Sedangkan adiknya, Zamzami, juga masuk bangku SMP di kampung kami.
Mamak mertuaku, beliau sedang berada di rumah kakak suamiku, di kota. Beliau juga sedang dalam kondisi tidak sehat. Beberapa hari beliau di rawat di rumah sakit. Kabar kematian anak lelakinya sengaja kami sembunyikan dari beliau, menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Mungkin nanti setelah kesehatan beliau kembali pulih, kami baru akan berani menyampaikan berita duka itu.
Acara 7 hari suamiku, sengaja kakak tidak ku perkenankan hadir, karena khawatir akan membuat Mamak mertuaku curiga. Maka inilah aku, dengan dibantu beberapa orang tetangga, aku mengirim doa untuk ayah anak-anakku. Kakak mengirimkan barang-barang belanjaan tanpa sepengetahuan mamak. Kami sangat khawatir dengan kondisi mamak yang masih sakit, akan berpengaruh terhadap proses kesembuhannya jika sampai mamak tahu kabar yang sesungguhnya.
Kami baru memberinya kabar setelah Mamak benar-benar terlihat pulih, sebulan setelah sakit yang dideritanya. Malam itu di ruang tamu di rumah kakak, dengan sangat hati-hati, kakak menyampaikan berita duka meninggalnya anak lelakinya. Mamak terlihat terguncang.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un. ya Allah,” jerit tertahan dari lisannya. Air mata seketika meluncur deras dari pipinya yang sudah terlihat berkeriput. Tatap matanya redup. Mamak menunduk, mengelus dadanya sambil merapal istighfar. Kakak mendekati Mamak, merangkul bahunya, membisikkan kata-kata agar Mamak Ikhlas dan sabar dengan ketentuan Allah. Ruangan itu dipenuhi air mata. Walau mereka mencoba menahan agar tidak ada air mata, namun duka itu kembali menyapa hati mereka.
Malam itu hingga pagi menjelang, Mamak tak dapat memejamkan matanya. Dia bersikeras minta pulang kerumah anak lelakinya. Keesokan paginya, kakak mengantarkan Mamak pulang. Aku menyambut kedatangan mereka dengan deraian air mata. Tangisku menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Anak-anakku mendekat, memeluk tubuhku. Kurengkuh tubuh ketiga anakku dalam dekapanku.
“Sabar ya, Bulek,” ucap Kakak menghampiriku. Merengkuh bahuku, memeluk ketiga anakku.
Aku tak bisa berkata-kata. Mamak memandangku dengan tatapannya yang tertutup embun di matanya. Aku melepaskan diri dari pelukan kakak, perlahan aku melangkah masuk ke dalam kamar. Aku butuh sendiri. Aku mengabaikan mereka sementara waktu. Meski itu sikap egois.
Mengingat perjalanan hidup anak-anakku yang masih panjang, air mataku kembali membuncah. Sanggupkah aku mengurus keempat buah hatiku? Aku merasa terpuruk di lubang keputusasaan. Sanggupkah aku hidup sebagai orang tua Tunggal dengan 4 orang anak yang masih kecil-kecil ini?.
Meski aku bekerja sebagai guru PNS di sebuah sekolah, namun aku merasa tak berdaya tanpa hadirnya suamiku. Tubuhku lunglai tak bertulang. Bukan aku tak bersyukur, bukan pula aku tak yakin kepada sang Maha Pemberi rezeki. Aku sudah 19 tahun mengabdi sebagai guru, aku juga sudah sertifikasi. Tapi aku merasa terpuruk.
Hatiku merasa hancur, aku ingin ikut bersama suamiku. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyusulnya.
“Astaghfirullahal’adzim.” Lisanku gemetar merapal istighfar, berucap tersadar. “Allah, bantu aku merelakan kepergian suamiku. Tolong aku mengurus keempat amanah yang Engkau titipkan kepadaku.” Tangisku perlahan mereda, berganti isak tertahan.
Kreator : Suharni
Comment Closed: Dari Titik Nadhir
Sorry, comment are closed for this post.