KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Daya Lenting

    Daya Lenting

    BY 27 Okt 2024 Dilihat: 256 kali
    Daya Lenting_alineaku

    Hari terus berlalu, bulan berganti bulan, perlahan tapi pasti, rasa duka mulai terobati. Aku mulai dapat menguasai hati meski belum sepenuhnya. 

    Kenangan-kenangan indah bersama suami kujadikan sebagai semangat untuk terus bangkit. Hatiku mulai bisa menerima takdir yang telah ditentukan untukku. Ku peluk semua luka yang menganga di dasar jiwa. Bahuku kini kusediakan untuk keempat buah hati yang terus tumbuh meniti masa depan mereka. 

    Kesadaran yang menggugah jiwa, membuatku harus berlari mengejar ketertinggalan selama proses penyembuhan luka. Perlahan kuhapus air mata yang selalu membasahi pipi. 

    “Bapak tenang di sana, ya. Tunggu kami di surga-Nya. Aku akan berusaha keras menemani anak-anak menjemput takdir baiknya.” Aku mengucap lirih sembari mencium foto suamiku yang masih tersimpan rapi di galeri ponselku. Air mata kembali menetes bersama harapan yang bersemi.

    Aku harus menjadi pribadi yang tangguh meski kini menjadi orang tua tunggal. Walau kadang ragaku terasa lelah, pikiran lelah, hati juga terasa sempit.

    “Engkau hanya perlu tempat bersujud untuk mengadukan semua beban yang kini menghimpitmu, Nik,” ucap Isti, sahabatku suatu ketika.

    Ucapan yang kutanam dalam hati dan pikiran.

    “Yakini dalam hati, Dia tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Aku tahu, semua ini pasti sangat berat bagimu. Tapi aku yakin, kamu akan mampu melewatinya dengan indah.” Tambahnya menguatkan.

    Yah, aku hanya perlu tempat bersujud untuk mencurahkan segala penat yang menghimpit hati. kalimat ini begitu sakti mengobati duka di hatiku. Kucoba memeluk semuanya dengan kepasrahan dan penerimaan akan takdir yang telah digariskan-Nya. Aku mencoba berprasangka baik dan meyakini akan pertolongan-Nya,  seperti malam yang pekat, pasti akan segera berganti pagi. Seperti pelangi yang indah akan muncul setelah hujan. 

    Maka, setiap kali rasa sedih mendera, kalimat sakti itu terngiang jelas di ingatanku. Membuatku kembali tersadar dan memompa semangat untuk terus bangkit, bergerak mencari aktifitas yang baru. 

    Malam itu di luar langit tampak cerah, berjuta bintang bertaburan menghiasi. Sungguh pemandangan yang indah, namun aku memilih duduk sendiri di sofa ruang tamu, anak-anakku dari selepas Isya telah terlelap dalam tidurnya. Suara jarum jam dinding yang berputar bagaikan alunan irama yang syahdu. Aku melirik dengan ekor mataku, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB, namun mata ini belum juga mengantuk. Aku berdiri dan berjalan menuju kamar anak-anakku, menengok mereka yang damai dalam lelap tidurnya. Kemudian aku kembali duduk di sofa  ruang tamu. Aku merenung, memikirkan tentang kehidupanku selanjutnya.

    Terbesit tanya dalam hatiku, apakah aku akan terus seperti ini? larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, sedangkan anak-anakku masih sangat membutuhkan waktu dan perhatian dari aku, ibunya. Satu-satunya orang yang mereka harapkan setelah ayahnya tiada?

    Pertanyaan-pertanyaan yang hadir dalam hatiku itu membuatku menangis. 

    “Aku tidak boleh seperti ini,” ucapku pelan.

    Hari-hari aku lalui dengan perasaan yang kosong. Meski aku mencoba berdamai dengan keadaan, namun ada kalanya, ingatan tentang suami kembali menghempaskanku dalam duka kesedihan. 

    Suatu siang, saat baru saja keluar dari kelas, aku duduk di kantor guru tanpa memperhatikan siapapun. Aku diam menyendiri, pandanganku menerawang. 

    “Nik…” panggil Bu Desi, salah satu temanku, membuyarkan lamunanku. 

    “Iya, Bu.”

    “Gimana kabar anak-anakmu? Sehat, kan?” tanyanya.

    “Alhamdulillah, Bu. Mereka sehat,” jawabku.

    Bu Desi menanyakan satu persatu kabar anakku.

    “Yang di pondok, siapa yang antar jemput?” tanyanya kemudian.

    “Aku minta tolong tetangga untuk mengantar jemput anakku, Bu.”

    “Nik, kamu kan punya mobil. Coba deh kamu belajar nyetir mobil,” usulnya.

    “Sayang lho, punya mobil nggak bisa nyetir. Kamu bisa antar jemput Si Sulung tanpa harus bergantung sama orang lain. Apa iya kamu kemana-mana mau selalu minta tolong orang?” tambahnya mencoba membuka pikiranku.

    “Aku takut, Bu. Aku orangnya gampang panik. Mobil kan resikonya besar,” kilahku.

    “Ikut kursus nyetir aja. Nanti ada yang melatih, kamu nggak dibiarin belajar sendiri. Yakin aja, Nik, kamu pasti bisa.” ujarnya lagi.

    Bu Desi kemudian menceritakan kisah tetangganya yang menyesal tidak belajar menyetir mobil ketika suaminya masih ada. Dia juga menceritakan bagaimana perjuangannya ketika belajar nyetir mobil, tantangan yang dihadapinya dan dukungan dari orang-orang disekitarnya.

    Aku memikirkan saran yang disampaikan Bu Desi. Tidak ada salahnya jika aku mencoba. Jika aku bisa membawa mobil sendiri, aku tidak akan tergantung dengan orang lain. Perlahan tapi pasti rasa ingin mencoba mulai hadir. Rasa takut tapi penasaran menguasai hatiku. 

    “Iya, aku harus belajar. Kalau aku bisa nyetir mobil, aku tidak perlu selalu mengandalkan orang lain. Aku juga bisa antar jemput anakku, sendiri.” Aku bermonolog.

    Aku mencari informasi tentang kursus setir mobil. Beberapa teman aku ajak sharing tentang belajar menyetir mobil ini. Aku juga konsultasi dengan saudara-saudaraku. Mereka juga mendukung keinginanku itu.

    Hari demi hari proses latihan aku jalani. Aku mengikuti kursus setir mobil. Tidak hanya mengandalkan latihan di tempat kursus, aku meminta tolong Ahmad, salah satu teman kantor yang bekerja sebagai TU di sekolah untuk mendampingiku belajar membawa mobil dari rumah ke sekolah. 

    Dengan sabar, Ahmad mengajariku beberapa teknik dalam menyetir mobil. Terkadang aku juga meminta bantuan tetanggaku untuk mengajariku jika Ahmad sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hingga akhirnya aku percaya diri membawa mobil sendiri ke sekolah, juga antar jemput anakku di pondok.

    Rasa percaya diriku kembali bangkit. Satu tantangan telah aku taklukkan sekaligus mampu sedikit membantu menata hatiku. Meski belum sepenuhnya duka hatiku terobati. Dan, aku tidak yakin akan benar-benar terobati, tapi setidaknya aku harus menjadi pribadi yang tegar, mandiri, dan tangguh. Tekad itu membuatku kembali mencari aktifitas yang lain, aku mulai sibuk mencari tantangan berikutnya. Tantangan yang akan membuatku sepenuhnya bangkit dari keterpurukan hati. 

    Tiba-tiba aku teringat apa yang disampaikan Kepala Sekolah dimana aku bekerja dan mengabdi. Beliau pernah menghimbau para dewan guru agar mengikuti sebuah program yang dicanangkan oleh pemerintah yang diperuntukkan bagi para tenaga pendidik. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan kualitas pembelajaran. Program itu adalah Program Guru Penggerak. 

    Esok harinya, aku masih beraktivitas seperti biasa. Aku pergi ke sekolah dengan semangat yang seolah  hidup kembali. Di sela-sela aktivitas mengajar, aku sengaja meluangkan waktu, ngobrol dengan rekan guru di kantor. Mereka terlihat sangat senang melihat kemajuan yang ada, wajahku yang sebelumnya redup kini mulai bercahaya kembali. Bercahaya oleh semangat yang mulai tumbuh.

    “Sini, Mbak.” sambut teman-temanku dengan bahagia. 

    Aku pun bergabung dengan mereka. Mengobrol tentang berbagai hal. Hingga akhirnya, aku menyampaikan beberapa pertanyaan terkait Program Guru Penggerak yang pernah disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah. Sebelum memutuskan untuk mengikuti program tersebut, aku ingin tahu tentang program tersebut, apa tujuannya? Bagaimana kegiatannya? Bagaimana prosesnya? dan segala hal berkaitan dengan Program Guru Penggerak.  

    “Aku ingin mengalihkan perasaan hatiku yang masih sering on off,” ucapku menyampaikan alasanku ingin ikut program tersebut.

    “Kalau mbak Anik ingin sibuk untuk mengusir rasa sedih, program ini cocok banget buat Mbak Anik,” ucap Rusti, rekan guru di sekolahku. 

    Dia kemudian menceritakan sahabatnya yang mengikuti Program Guru Penggerak. Kesibukan yang dijalaninya, tugas yang setiap hari harus dikerjakannya, dan berbagai informasi lain. Cerita Rusti tentang sahabatnya itu menambah keinginanku untuk ikut program tersebut semakin kuat.

    “Ikut yuk, Mbak.” Ajakku.

    “Terima kasih, Mbak. Saat ini prioritasku pingin punya anak lagi. Aku fokus ke situ.” Jawabnya sambil tersenyum tipis.

    Aku mulai mengajak beberapa rekan guru yang lain untuk ikut program tersebut, namun tak ada seorang pun yang bersedia mengikuti program tersebut dengan alasan repot, dan sebagainya.

    “Anakku masih terlalu kecil, Bu. Kasihan mereka kurang perhatian kalau aku terlalu sibuk,” jawab rekanku yang lain.

    “Aku nggak ikut lah, aku sudah cukup merasa kerepotan dengan tugas mengajar.” Ucap yang lain.

    Dan berbagai alasan yang dikemukakan oleh teman-temanku. Pada akhirnya, aku mendaftar sendiri meski dengan kondisi hati yang tak menentu.  

    Dengan harapan kegiatan dalam Program Guru Penggerak akan mampu mengalihkan perasaan sedih yang mendera hati.

    Waktu terus berlalu. Program Pendidikan Guru Penggerak aku jalani dengan aneka perasaan yang hadir dalam hatiku. Kadang aku bisa merasa bahagia menjalaninya, namun di lain waktu aku seperti ingin berhenti dari kegiatan ini. 

    Kebimbangan hati kurasakan ketika ku pandang foto anak-anakku yang tersimpan di galeri ponsel. Ada rasa bersalah menyelinap dalam hatiku, mereka kadang terabaikan karena ibunya sibuk dengan tugas-tugas di CGP. 

    “Maafkan Ibu, Nak,” ucapku lirih. 

    “Ibu terlalu egois menghadapi kehilangan ini.”

    Aku mencoba membagi waktu secara proporsional antara keluarga, kewajiban di sekolah, dan tugas-tugas di Program Guru Penggerak. Pagi hingga siang hari aku beraktivitas di sekolah. Sementara untuk anak-anakku kusediakan sore hingga malam hari waktu untuk mereka. Aku menemani kembar bermain, mengantarkan mereka tidur dengan membacakan buku favorit mereka, mengelus tubuh mereka, kuiringi dengan do’a. Setelah kembar tertidur, aku menemani anak tengahku belajar. Aku menanyakan kabarnya hari ini, mengajaknya bercerita tentang sekolahnya hari ini. 

    Setelah mereka terlelap dalam tidur, aku membuka laptop. Membuka modul-modul Guru Penggerak dan mulai mengerjakan tugas-tugas hingga tengah malam. Terkadang aku meluangkan waktu mengerjakan tugas CGP kala siang hari di sekolah, setelah sekolah bubar atau saat ada jeda jam mengajar. Bagiku, waktu sesempit apapun sangat berharga. 

    Kesibukan dan rutinitas yang padat seperti itu ternyata cukup efektif membuatku bangkit dari keterpurukan. Perlahan hatiku mulai tertata. Walaupun di sisi lain ada yang harus ku korbankan. Waktu dan perhatian untuk buah hatiku, meski aku berusaha keras tugas CGP tidak mengganggu perhatianku untuk mereka. Namun ternyata mau tidak mau, perhatian itu tetap saja berkurang. Aku menyadari hal itu, namun mereka seolah sok dewasa, sok mengerti akan “kesibukan” ibunya. Mereka tidak menuntut lebih selain minta ditemani bermain meski kadang mau tidak mau aku menemani sembari mengerjakan tugas. 

    Meski suasana hatiku kini sudah jauh lebih baik, aku sudah mampu menerima takdir kehilangan itu, dan kini aku disibukkan dengan program guru penggerak, namun tetap saja ada kala aku merasa ada ruang hatiku yang kosong. 

    Hari itu siang beranjak sore, matahari mulai tergelincir ke arah barat. Langitnya yang berwarna jingga menambah indah panorama. Aku sedang duduk di teras rumahku sambil menemani si kembar bermain. Tawa riang mereka membuat sudut bibirku tertarik ke atas membentuk sebuah senyum. Senyum yang beraneka makna, ada kegetiran menyapa hati. melihat mereka, kenangan bersama suamiku hadir kembali. Dalam usia yang masih balita, mereka “dipaksa harus dewasa” menjalani hidup tanpa seorang Ayah. Kebutuhan mereka untuk bermanja dengan sosok Ayah, tak ada lagi. Embun kembali menutupi mataku. Perlahan tetes air mata mengalir di pipiku. Segera aku beristighfar sambil menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ku hapus sisa air yang masih menggantung di mataku. 

    “Anak-anakku, mereka tidak boleh melihatku lemah,” bisik hatiku. 

    Langkah bujang kecil menghampiri, dia sempat melihat mataku yang memerah. 

    “Bu…” panggilnya. Dia menatap mataku, terbayang rona kesedihan di wajahnya. 

    Zamzami mendekat, ku peluk tubuhnya penuh kasih.

    “Kamu mau ke masjid, Nak?” tanyaku.

    “Iya, Bu. Sebentar lagi waktu maghrib tiba,” jawabnya.

    “Ibu jangan sedih, ya.” pintanya. Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya mengangguk.

    Jadi anak yang sholeh ya, nak,” aku hanya mampu mengucapkan itu dalam hatiku. 

    “Nduk, udah mau maghrib. Masuk, yuk,” ajakku kepada kembar. 

    “Bentar lagi, Bu. Masih seru, nih,” jawab mereka serempak.

    “Lima menit lagi,” ucap Aya.

    Aku tersenyum mendengar jawaban anakku. Mereka, sok tahu tentang waktu. 

    Perlahan malam menyelimuti. Suara jangkrik terdengar di luar rumah. Desau angin malam menerpa pepohonan. Di atas sana, langit dihiasi dengan jutaan bintang yang berkelip. Lalu lalang suara kendaraan di jalan raya depan rumah memecah keheningan malam.

    Selepas sholat maghrib kembar siap dengan iqro-nya. Anak tengahku, Zamzami, belum pulang dari masjid. Dia langsung mengaji di masjid setelah sholat maghrib berjamaah tadi. Mamak mertua istirahat di kamarnya. Kelelahan di siang harinya membuat tubuhnya yang renta membutuhkan istirahat yang cukup. Meski sudah berumur lanjut dan kondisi fisik tidak sekuat dulu, mamak adalah tipe orang yang tidak mau duduk diam. Pengapuran tulang pada kakinya membuatnya susah untuk berjalan tetapi tidak mengurangi semangatnya untuk bekerja. Ada saja pekerjaan yang dilakukannya. Mulai dari mencabuti rumput halaman rumah, memberi makan ayam peliharaannya, memotong pelepah kelapa yang jatuh untuk dijadikan kayu bakar, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang masih bisa dikerjakannya. 

    Bapak mertua sudah lama tiada. Menurut Mamak, Bapak meninggal sewaktu suamiku masih kuliah. Dari saat itu, mamak berjuang seorang diri menghidupi 3 orang anaknya. Sementara 3 orang kakaknya sudah berkeluarga. Aku banyak mengambil teladan dari kesabaran Mamak mertua yang ditinggalkan Bapak sejak anak-anaknya masih membutuhkan biaya besar.

    Aku menghela nafas mengingat peristiwa hidup yang kini tengah kujalani. Suara kembar yang bergiliran membaca iqro’ membuyarkan lamunanku. Aku kembali tersadar dari pikiran yang melintas.

     

     

    Kreator : Suharni

    Bagikan ke

    Comment Closed: Daya Lenting

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021