Bip.
Suara notifikasi pesan masuk di akun Facebookku sore itu. Kuraih gawai yang terletak tak jauh dari tempatku duduk.
Mataku tercekat. Terasa detak jantungku berdegup lebih cepat. Aku seolah merasakan dejavu. Kutengok sekali lagi nama pengirim pesan tersebut.Tidak mungkin.
[Apa kabar, Riani?]
Ragu-ragu ku buka pesan itu kemudian membalas.
[Baik, Alhamdulillah] jawabku sekenanya.
[Aku sekarang di Bukit Dalam, jadi teringat kamu.]
[Kenapa kamu kembali kesini, Bang?] tanyaku
[Aku kebetulan dapat tawaran di salah satu perusahaan, ternyata di tempatkan di kota ini.]
***
Flashback 6 tahun lalu.
Perkenalanku dengan Bang Arqim dimulai saat kami bekerja pada salah satu perusahaan jasa di Bukit Dalam. Saat itu aku hanya sebatas kenal namanya saja. Karena kami berbeda divisi jadi hampir tidak pernah berkontak langsung kecuali saat ada acara atau beberapa pertemuan gabungan antar divisi.
Selang beberapa waktu kemudian kantor perusahaan harus pindah ke lokasi yang baru. Sebagian karyawan memutuskan untuk ikut pindah sementara yang lainnya memilih berhenti dan tetap tinggal di Bukit Barisan, termasuk aku. Sedang Bang Arqim ikut pindah. Perpisahan kala itu tak ada artinya bagiku. Aku memilih mencari pekerjaan lain.
Hidupku terus berjalan, aku sudah mendapatkan pekerjaan lain di Kota Bukit Dalam ini. Suatu hari ada pesan masuk di akun Facebookku.
[Hai, Riani. Apa kabar?
Kuperhatikan nama pengirimnya. Mencoba mengingat-ingat. Gagal.
[Baik, maaf dengan siapa ini?]
[Emot tersenyum- Ini Arqim yang dulu sama-sama bekerja di Bukit Dalam sebelum pindah.]
Tak langsung membalas. Kubuka profil Facebooknya, mencari-cari foto terbarunya. Jujur saja aku masih tidak mengenali siapa dia. Tak lama, kudapati beberapa foto dia dan beberapa temannya yang sebagian masih kuingat. Kuperbesar gambar di layar gawaiku. Memperhatikan satu per satu dengan seksama.
“Ah, ternyata dia.” Gumamku dengan sunggingan senyum.
[Oh, Bang Arqim dari divisi service, ya?] Jawabku sok kenal
[Iya, -emotikon tertawa- boleh minta kontak telepon nya, Riani?]
[Boleh]
“Ups.”
Jemari tanganku bergerak lebih cepat dari yang kupikirkan. Malu sekali rasanya pesan terkirim tanpa kusadari. Segera saja kulanjut mengetik dua belas digit nomor teleponku..
Bip bip bip.
Panggilan masuk. Sengaja kubiarkan berdering beberapa kali sebelum akhirnya menjawab.
“Halo, Riani.”
Terdengar suara halusnya di sambungan telepon.
***
Aku memutuskan untuk mengabaikan pesannya. Bukan tanpa sebab, karena saat ini aku sudah berkeluarga.
Comment Closed: Dejavu
Sorry, comment are closed for this post.