Alhamdulillah, di tahun 1443 Hijriah lalu, usia pernikahan kami sudah masuk bilangan ke 30 tahun. Ya, tepat di 13 Dzulhijjah 1413 H atau 10 Juni 1993, kami melangsungkan akad nikah dalam kesederhanaan yang penuh kebahagiaan. Namun, jujur, di sudut hati yang paling dalam, aku masih membayangkan betapa sempurnanya kebahagiaanku ini jika papa, mama, dan adikku satu-satunya masih ada membersamai hari bersejarahku bersama lelaki soleh bernama Mochammad Ilmi ini.
Tak dapat kubayangkan, bagaimana ekspresi bahagia Papa saat melepas putri satu-satunya dipersunting mantan murid SMA-nya dulu. Sepertinya, semua akan merasakan ketakjuban atas skenario Allah yang penuh misteri ini, punya mantu mantan murid sendiri. Tetapi, ternyata, aku akhirnya menikah di tahun ke-9 kepergian papa, mama, dan adikku yang meninggal di tahun 1984 karena kecelakaan di lintasan kereta api Wonocolo. Kereta dari Blitar yang akan masuk Stasiun Wonokromo harus berhenti beberapa waktu setelah melanggar mobil yang ditumpangi kedua orang tua dan adikku. Aku menikah sebagai anak yatim piatu.
Mas Eko, saudara kandungku satu-satunya yang masih hidup (karena kami berdua tidak turut dalam kecelakaan di Sabtu sore 12 Mei 1984 itu) yang menjadi wali nikahku. Selanjutnya, Mas Eko pasrah wali kepada kakak laki-laki tertua almarhum Papa, yaitu pakde Man yang biasa kupanggil BA. Maka, di hari Kamis, 10 Juni 1993 itu, sahlah aku menjadi istri mas Ilmi. Alhamdulillah, dengan niat suci karena Allah, aku menyempurnakan kebahagiaan keluarga besar dengan wisuda sarjana (beroleh ijazah di bulan Mei) dan wisuda sebagai istri (menjalani ijab sah di bulan Juni 1993).
Dalam acara akad nikah kami hari itu, hadir ulama besar Jawa Timur kala itu. Kyai Haji Bey Arifin nama beliau (penulis buku Samudra Al-Fatihah dan Hidup Sesudah Mati yang best seller di masa itu). Beliau menyampaikan khutbah nikah penuh pesan dan nasihat bagi kami sebagai pengantin baru juga hadirin.
Penggalan kalimat khutbah beliau yang paling berkesan bagi kami dan kami ingat sampai saat ini adalah “Bahwa dalam pernikahan, orang yang sebelumnya batuk-batuk (sakit-sakitan) bisa menjadi sehat atau sebaliknya, orang yang sebelumnya sehat bisa menjadi batuk-batuk (sakit-sakitan).”
Jadi, semua itu tergantung niat awal kita dan pribadi kita dalam menyikapi sebuah lembaga yang bernama pernikahan itu. Bisa bahagia atau sebaliknya, bisa ringan-ringan saja atau justru berat. Istilah Jawanya, digawe enteng yo dadi enteng, digawe abot yo dadi abot atau biso dadi enteng yen digawe enteng lan biso dadi abot yen digawe abot.
So, semua berpulang pada diri pribadi kita masing-masing. Mau menjadikan keluarga sebagai surga dunia atau sebaliknya. Namun, aku yakin banget, semua pasangan pasti menginginkan bahtera rumah tangganya adalah surga dunia yang penuh kebahagiaan.
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: Dengan Menikah Bisa Jadi Sehat atau Malah Batuk-Batuk
Sorry, comment are closed for this post.