KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Bersambung
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Madhoe Retna
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Detik Terakhir

    Detik Terakhir

    BY 29 Jan 2025 Dilihat: 171 kali
    Detik Terakhir_alineaku

    Pukul 10.42 … 

    Aku mendengar suara lolongan. Ya betul, aku tajamkan lagi pendengaran. Suara itu datang dari kamar di lantai bawah. Tempat juraganku menghabiskan hari-harinya setelah pensiun. 

    Ada apa? Bulu kudukku seketika meremang. Seperti ada rasa sakit yang amat sangat di balik suara itu.

    Aku sibakkan selimut, dan bangkit perlahan dari tempat tidur. Tujuanku ke kamar sebelah, membangunkan Asih rekan kerja di rumah ini.

    Aku ketuk pintu kamarnya. Tiga kali ketukan berulang tidak juga dibuka. Aku paksakan membuka pintu yang tak terkunci. 

    Kakiku melangkah mendekati tubuh Asih yang diselimuti kain batik, menggoyangkan kakinya sambil berkata, “Asih, ayo bangun temani aku ke bawah, seperti ada suara aneh dari kamar Bapak.”

    Asih membuka matanya. 

    “Ada apa?” tanyanya sambil menguncir rambut.

    Aku mengangkat kedua bahuku. 

    “Tidak tahu, seperti Bapak mengerang kesakitan.”

    “Ah apa iya?” tanyanya tidak percaya.

    “Ayo cepat kita ke bawah saja.” 

    Aku sudah berdiri di pintu untuk segera menuju tangga ke ruang bawah.

    “Tidak ada apa-apa,” kata Asih yang berjalan membuntutiku.

    Kami hanya tinggal bertiga di rumah besar ini. 

    Langkah kaki kami melambat di ruang makan, sebentar lagi kami akan sampai di depan kamar Bapak.

    Aku melayangkan pandangan ke sekitar ruangan yang temaram. Foto Bapak dan almarhum istrinya membuatku merinding. Tatapan wanita itu sepertinya mengikutiku.

    “Asih, nyalakan lampu.” kataku setengah berbisik.

    Asih menurut. Kami lalu berdiri terpaku di depan kamar Bapak.

    “Mau apa kita? Bapak pasti masih tidur,” kata Asih.

    “Sstt… coba dengar.” kataku sambil mendekatkan telinga ke pintu.

    “Kita harus masuk, Sih. Kamu tidak dengar Bapak seperti sedang tidak baik-baik saja. Kamu dengar tidak suara nafasnya? Kok sampai seperti orang menggigil?”

    “Ya, Teteh. Buka saja pintunya, Asih takut.”

    “Bismillah.” ucapku memutuskan untuk mengetuk pintu dulu.

    Tak ada respon. Kuketuk lebih keras, masih tak ada sahutan. Aku pun memberanikan diri membuka pintu perlahan. 

    Bunyi pintu tua berderit membuat suasana malam itu menjadi lebih mencekam. Aku buka pintu selebar-lebarnya. Ketika pintu terbuka kami tidak bisa langsung melihat Bapak. Beliau ada di sisi kanan kamar. Kami harus masuk dulu beberapa langkah baru dapat melihat dengan jelas posisi Bapak sedang tidur terlentang di pembaringannya.

    Kedua tangannya seperti menghalau sesuatu yang lalu lalang di hadapan, tapi kami sama sekali tak melihat apa-apa.

    “Nyalakan lampu, Teh.” kata Asih.

    Aku mendekati tempat tidur Bapak dan menyalakan lampu kamar.

    “Pak.. Bapak sedang mimpi?” aku bertanya sambil berdiri persis di samping tempat tidurnya.

    Bapak tidak menghiraukan aku, lisannya menceracau, pelo, seperti mengusir sesuatu atau seseorang. Beliau tidak sadar ada aku dan Asih di dalam kamarnya.

    Aku dan Asih menjadi terpaku berhadapan. Kami berdua untuk beberapa saat tidak bisa berbuat apa-apa. 

    Di hadapan kami, tubuh Bapak menegang dalam piyama batiknya. Matanya terbuka tapi tak melihat kami. 

    “Teh, Bapak ngompol.” 

    Pandangan mataku menatap spring bed yang basah.

    Kami berdua kebingungan. Asih lebih sigap dari aku. Dia menuju kaki Bapak dan merasai telapak kakinya.

    “Astaghfirullah dingin sekali!” katanya sambil bergegas ke arah kepala Bapak.

    Seumur-umur kami tidak pernah duduk di atas tempat tidur Bapak, tugasku hanya membersihkan kamar dan merapikan tempat tidurnya. Tapi malam ini Asih duduk tepat di sisi Bapak dan membisikan kalimat tauhid.

    “La ilaha illallah…” suara Asih berhenti. Lalu ia mengulangi lagi, “La illaha ilallah..”

    Mendengar Asih melafadzkan kalimat itu aku menarik nafas panjang, tersadar. Bapak akan pergi.

    Perlahan tapi konsisten, Asih terus membisikkan kalimat tauhid di telinga Bapak. Sedangkan yang dibimbing hanya melotot menatap ke satu titik. Mulutnya terbuka tapi tak mampu mengulangi perkataan Asih. Kedua tangannya dengan gerakan kaku, masih berusaha mengusir sesuatu.

    “Pak.. Pak.. Tenang, Pak.. Dengarkan Asih ya.” kedua tangan Bapak mulai melemah. “La illaha ilallah.”

    Aku melihat dada Asih bergemuruh. Air mata mengalir di kedua pipinya. Bibir Bapak kelihatan pucat dan tak mampu mengulang apa yang dikatakan Asih.

    “La illaha ilallah,” Asih tak putus asa.

    Aku mencari telepon genggam di kantongku untuk menelepon Bu Sinta, anak tertua Bapak.

    “Ya, besok pagi aku ke sana ya. Sekarang sudah malam,” demikian jawaban Ibu Sinta yang tampak sudah setengah tidur.

    Astaghfirullah, batinku. Ayahnya sedang sekarat dan ia tak sedikit pun tergerak untuk mendampinginya.

    “Telepon siapa?” tanya Asih. 

    “Bu Sinta, tapi belum mau ke sini malam ini.” jawabku murung. 

    Memang kami berdua telah bekerja untuk Bapak sepuluh tahun lebih. Tapi, dalam situasi dan kondisi seperti ini, kami sungguh mengharapkan kehadiran anak-anak Bapak.

    “Rekam saja, lalu kirim ke semuanya.” 

    Pikiran Asih aku rasa cukup jitu sehingga aku pun merekam kondisi Bapak dari ujung rambut sampai ujung kaki secara zoom in dan zoom out. Dengan harapan, semoga anak-anak Bapak segera datang.

    Sayang sekali mereka telah menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan pernah datang dua kali. Entah berapa lama akhirnya kondisi Bapak mulai tenang. Matanya terpejam, tangannya sudah tergeletak di sisi tubuh. Aku dan Asih bergantian membacakan apa saja surah yang kami hafal.

    Waktu terasa lama sekali berlalu. Kami masih berdua saja dalam ketegangan dan kebingungan menunggu kedatangan anak-anak Bapak. 

    Video Bapak dengan kondisi menggigil dan napas tersengal-sengal telah terkirim. Hanya centang satu. Sampai pukul berapa kami harus menunggu, entahlah.

     

    Pukul 2.43 dini hari. 

    Asih tertidur sambil duduk di sisi tempat tidur Bapak. Aku tak bisa sedikit pun memejamkan mata.

    Di hadapanku, Bapak tidak sekali pun membuka matanya. Tertutup rapat dengan nafas yang lembut sekali. Kadang-kadang bahu atau kakinya refleks bergerak sendiri. Tiba-tiba aku lihat sebutir air mata mengalir dari mata kirinya.

    Aku sudah mulai bisa menguasai kepanikan yang tadi, pikiran mulai dapat mencerna dan mengingat pernah mendengar seorang ustadz di Youtube mengatakan jangan tinggalkan orang yang sedang mengalami sakaratul maut. 

    Aku juga tak yakin apa yang sedang Bapak alami dalam tidurnya. Apakah ini yang dinamakan sakaratul maut. 

    Kemungkinan besar iya, karena usianya sudah mencapai 85 tahun. Tak sadar, air mataku mengalir sendiri.

    Dalam hati aku bersyukur juga, anak-anak Bapak tidak ada di sisinya. Mereka tidak pernah mendapat sedikit pun pengetahuan agama. 

    Bapak sedang mengalami peristiwa besar saat ini. Entah omong kosong apa yang akan diucapkan oleh anak-anaknya jika melihat aku dan Asih mengaji di sisi ayah mereka. 

    Teringat Asih, aku langsung bangunkan dia. “Asih, mungkin ini sudah saatnya.”

    Kalimat tauhid kembali kami bisikan dengan lembut di telinga Bapak meski tanpa respon. 

    La illaha illallah. Ya Allah, aku ingin pergi meninggalkan dunia dengan kalimat ini,”

    Dadaku terasa berat menyaksikan sendiri seseorang yang tak pernah melakukan perintah Allah, tak mampu menyebut asma-Nya di akhir hidup.

    Hatiku berdoa, “Ya Allah,  Engkaulah pemilik kehidupan. Jika kematian baik untuk Bapak, wafatkanlah ia sebaik-baiknya. Jika kehidupan baik untuknya, hidupkanlah dan jadikan dirinya hamba-Mu yang patuh.”

    Aku permisi sebentar kepada Asih untuk mengambil air wudhu.

    “Di kamar mandi Bapak saja, jangan di belakang.” aku turuti pintanya.

    Aku pun bergegas mengambil air wudhu, lalu mencipratkan dengan lembut sisa air wudhu yang menempal di tanganku kepada Bapak sebelum melaksanakan shalat malam dan witir. Semoga berkah air wudhu ini memberi ketenangan dan kedamaian untuk Bapak.

    Asih membacakan tiga surat Qul dan aku kembali men-talqin Bapak.

    Tak ada perubahan. Bapak tak membuka mata atau lisannya. Sampai ia tersengal lalu pergi.

    “Inna lillahi wa inna illaihi rajiun.”

    “Bapak, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” 

    Ada rasa enggan melanjutkan kalimat doaku dengan, “Semoga Allah menerima amal ibadahmu.”

    Aku tak pernah sekali pun melihatnya mendirikan shalat, berpuasa, membayar zakat, apalagi mengaji dan melaksanakan ibadah umroh atau mengaji.

    Segera kami tutup jasad Bapak dengan kain. Pesan pendek pun kami kirimkan kembali kepada putera puteri beliau mengabarkan ayahnya telah berpulang.

    Betapa sepinya hidup Bapak. Tak ada anak cucu menantu yang mendampingi kembali menghadap Allah.

    Aku pun mengirimkan pesan kepada Pak RT untuk mengabarkan berita yang sama, mengharapkan jenazah Bapak diurus sebaik-baiknya secara Islami karena aku yakin tak ada anak-anaknya yang paham mengenai hal ini.

    Aku tatap jasad Bapak. Ia tertidur kaku. Dan ketika terbangun raganya telah berpindah ke alam kubur. Kehidupan bukan lagi menjadi miliknya. Semoga ada sedikit amal yang bisa menemani di kehidupan selanjutnya.

     

     

    Kreator : Dini Masitah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Detik Terakhir

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan sosial emosional semakin banyak dibahas. Salah satu model yang mendapatkan perhatian khusus adalah **EMC2 sosial emosional**. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Definisi EMC2 sosial emosional? Mengapa pendekatan ini penting dalam pembelajaran? Mari kita bahas lebih lanjut untuk memahami bagaimana EMC2 berperan dalam perkembangan siswa secara keseluruhan. Definisi EMC2 Sosial […]

      Okt 02, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021