Satu semester sudah kulalui sebagai mahasiswa Akademi Keperawatan. Rasanya seperti mimpi yang perlahan menjadi nyata. Betapa beratnya perjuangan untuk sampai di sini: meninggalkan kampung, meninggalkan keluarga, lalu menyesuaikan diri dengan pelajaran yang asing bagiku. Kata-kata seperti pathofisiologi, aseptik, kateterisasi, pengkajian, renpra dan entah apa lagi, dulu terdengar rumit dan menakutkan. Tapi hari demi hari, bersama teman-teman, aku belajar menaklukkan rasa asing itu.
Kini, setelah menempuh pembelajaran teori di kelas dan praktik di laboratorium, tibalah saat yang kami nantikan: memasuki tahap praktik klinik. Dan hari ini adalah pintu gerbangnya—hari yang disebut Capping Day. Hari di mana kami secara simbolis dikenakan cap putih dan mengucapkan janji suci sebagai calon perawat.
—
Sejak pukul tujuh pagi, aula kampus AKPER Depkes Malang sudah penuh kesibukan. Dari kejauhan aku mendengar suara riuh rendah: tawa, suara kursi digeser, serta bunyi klik kamera analog yang dibawa beberapa orang tua mahasiswa. Aula itu, yang sehari-hari sederhana, kini tampak berbeda. Lantai sudah dipoles mengilap, kursi tersusun rapi berjejer, sementara di depan terpampang spanduk besar bertuliskan:
“CAPPING DAY AKPER DEPKES MALANG– Angkatan XII”
Hiasan pita kuning melintang di dinding, berpadu dengan bunga melati segar yang ditata dalam vas di panggung utama. Di sudut ruangan, terlihat seorang bapak berdiri kikuk dengan kamera tua di tangannya. Ia tampak belajar mengatur fokus, sementara sang anak berpose sambil tersipu malu.
Aku sendiri sudah bersiap dengan seragam putih. Kemeja ini terasa agak kaku, hasil setrika semalaman. Sepatuku yang putih berkilat, baru selesai dipoles dengan semir khusus semalam. Di sampingku, Ifa sibuk merapikan kerudung putihnya dengan strip kuning tipis di tepi.
“Pin dipasang di kiri apa di kanan?” tanyanya sambil menoleh.
“Pin di kiri, nama di kanan,” jawabku sambil menunduk memeriksa letak pin yang terpasang di dadaku.
Mahasiswa putri tampak anggun dengan polesan tipis lipstik merah muda. Rambut mereka sebagian digelung rapi dengan hairnet, sebagian lagi tertutup kerudung putih. Mahasiswa putra, meski jumlahnya sedikit, tampil gagah dengan kemeja putih berkerah tegak, celana panjang putih, dan sepatu yang tak kalah mengkilap.
Sementara itu, kursi-kursi bagian belakang aula dipenuhi wajah-wajah haru: ayah, ibu, kakak, dan adik yang datang jauh-jauh untuk menyaksikan. Beberapa ibu tampak sibuk mengibas kipas kertas, menahan udara pengap aula. Seorang ayah berbatik duduk tegak, matanya tak lepas memandang ke depan, seolah menahan rasa bangga.
—
Acara dimulai dengan derap langkah pembawa acara yang mantap. Musik instrumental pelan mengiringi, menciptakan suasana sakral. Kami berdiri dengan posisi tegak, seragam putih berbaris rapi.
Satu per satu nama dipanggil. Teman-teman maju ke panggung dengan langkah tenang, meski aku tahu hati mereka pasti berdebar sama kerasnya denganku. Saat giliran namaku disebut, seluruh tubuhku terasa panas. Aku melangkah, menundukkan kepala ketika dosen senior berdiri di depanku.
Dengan gerakan penuh kehati-hatian, beliau menyematkan cap putih di atas kepalaku. “Selamat, nak. Jagalah kehormatan topi ini, karena mulai hari ini engkau bukan hanya mahasiswa, tapi calon perawat yang membawa nama baik profesi,” ucapnya lembut.
Aku menunduk dalam, menahan rasa haru yang menyesak. Saat melangkah turun dari panggung, mataku mencari ke barisan tamu. Aku melihat Ayah tersenyum kaku, seolah menahan gejolak yang ingin pecah, sementara Ibu mengusap sudut matanya dengan ujung kerudung. Sejenak aku merasa betapa besar tanggung jawab yang ada di pundakku setelah ini. Menjalani hari-hari sebagai seorang perawat dengan tugas dinas pagi, sore atau malam……
—
Setelah semua cap terpasang, tibalah saat yang paling ditunggu. Kami berdiri tegak, menghadap panggung,
Bayangan Florence Nightingale seolah hadir dalam prosesi itu yang tergambarkan oleh. Di tengah cahaya lampu aula yang sedikit redup, suara pembawa acara memecah kesunyian, mengisahkan sosok perempuan penuh dedikasi di abad ke-19 itu.
Florence digambarkan sebagai gadis bergaun putih dengan topi kain penutup kepalanya, berjalan menyusuri lorong rumah sakit lapangan di tengah perang Krimea, lampu minyak kecil tergenggam di tangannya menjadi penerang langkahnya.
Ia mendekati para prajurit yang terluka, memberikan perawatan dengan penuh kasih, tanpa memandang siapa mereka.
Gambaran itu membuat suasana hening sejenak. Kami, yang berdiri dengan cap putih di kepala, seperti diingatkan bahwa profesi ini lahir dari pengabdian yang tulus.
Lampu yang dibawa Florence bukan hanya cahaya penerang malam, melainkan simbol harapan, kasih sayang, dan keberanian seorang perawat.
Seorang dosen berujar pelan:
“Seperti lampu yang dibawa Florence, jadilah penerang di tengah gelapnya penderitaan pasien. Bawalah cahaya kasih itu ke mana pun kalian melangkah.”
Kami menunduk, merasakan seakan-akan nyala lampu itu kini berpindah ke dalam hati kami masing-masing.
Selanjutnya suara dosen kami terdengar kembali membacakan janji. Suara kami serentak, lantang, memenuhi aula.
“Demi Tuhan Yang Maha Esa,
Kami mahasiswa keperawatan berjanji:
Akan menegakkan dan menjunjung tinggi martabat profesi keperawatan,
Akan menjaga rahasia pasien dengan penuh tanggung jawab,
Akan melaksanakan tugas dengan hati nurani, kasih, dan keikhlasan,
Akan menjadikan Florence Nightingale sebagai teladan pengabdian,
Serta senantiasa berusaha menambah ilmu demi pelayanan terbaik bagi sesama manusia.”
Suara itu bergema, membekas di dinding aula, menembus ke hati setiap orang tua yang hadir. Ada yang menunduk berdoa, ada pula yang menitikkan air mata.
Aku sendiri mengucapkannya dengan dada bergetar. Setiap kalimat terasa berat, seolah mengikatkan janji langsung pada nurani. Sungguh, bukan sekadar kata-kata. Janji itu akan menjadi pegangan hidup dalam dunia klinik yang penuh suka duka.
—
Acara ditutup dengan doa dan persembahan lagu Syukur dan Bagimu Negeri. Aula dipenuhi tepuk tangan meriah. Setelah itu, suasana menjadi lebih cair. Kami berfoto bersama orang tua, dosen, dan teman-teman seangkatan.
Aku masih ingat jelas, seorang teman laki-laki bernama Ical, menghampiri kami yang Tengah bergerombol sambil berkata:
“Eh hati-hati, jangan sampai cap-nya jatuh. Bisa dianggap melanggar janji,” katanya, membuat kami tertawa lepas.
Kamera-kamera analog berderet bekerja. Beberapa orang tua bahkan rela antre untuk bisa mengabadikan momen ini. Ada pula yang membawa camilan dari rumah—pisang goreng, rengginang, atau kue lapis—dibagikan di luar aula. Suasana sederhana, tapi hangat dan penuh cinta.
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, aku berdiri di halaman kampus. Cap putih masih bertengger di kepalaku. Angin Malang berhembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari taman kecil di depan aula.
Aku menoleh pada Ayah dan Ibu yang masih sibuk menyimpan foto ke dalam amplop coklat. Dalam hati, aku berjanji: Hari Senin kami akan mulai memasuki gerbang kehidupan di rumah sakit. Menjadi mahasiswa perawat bukan sekadar menjalankan pekerjaan perawat, melainkan panggilan jiwa yang harus tetap dijaga seperti nyala lampu florence. Dan hari ini, Capping Day, adalah awal dari segalanya.
—
Malam itu, kembali ke asrama, aku melepas cap putih dengan hati-hati, dan meletakkannya di atas meja belajar. Cahaya lampu pijar menerangi ruangan sederhana itu. Aku menatapnya lama-lama, seolah melihat bayangan masa depan. Cap putih itu bukan sekadar penghias kepala—ia adalah simbol tanggung jawab, kasih sayang, dan pengabdian.
Aku tersenyum kecil, lalu berbisik dalam hati:
“Selamat datang, jalan panjang keperawatan. Aku siap.”
Kreator : ERNA RAHMA YANI
Comment Closed: Di Bawah Cahaya Florence
Sorry, comment are closed for this post.