Sore itu, di sebuah kafe mewah di kawasan Jakarta Selatan, Dina duduk gelisah sambil menatap jam di pergelangan tangannya. Jam itu baru saja dibelinya dari hasil tabungan selama tiga bulan, investasi kecil untuk mendukung penampilannya dalam misinya kali ini. Usianya sudah 28 tahun, dan Dina merasa semakin terdesak untuk menemukan pria mapan yang bisa memberikannya kenyamanan hidup.
“Semoga ini berhasil,” bisik Dina dalam hati sambil merapikan rambutnya.
Sudah beberapa kali ia bertemu pria kaya lewat aplikasi kencan, namun semuanya berakhir mengecewakan. Reza, pria yang akan ditemuinya sore ini, adalah sosok yang berbeda. Di aplikasi, Reza memperkenalkan dirinya sebagai pengusaha muda yang sukses, dengan tampilan foto-foto yang menonjolkan gaya hidup kelas atas. Tak hanya tampan, obrolan mereka juga terasa menyenangkan—ia tahu betul bagaimana membuat seorang wanita merasa istimewa.
Ketika pintu kafe terbuka, Dina mendongak dan melihat Reza melangkah masuk. Pria itu tinggi, dengan rahang tegas dan setelan jas yang tampak mahal, persis seperti yang ia gambarkan dalam percakapan mereka. Reza menatap ke arahnya dan tersenyum, membuat jantung Dina berdebar sedikit lebih cepat.
“Hai, Dina.” Reza mengulurkan tangan.
“Maaf kalau menunggu lama. Jakarta sore-sore memang bikin orang terlambat.”
Dina tersenyum, mencoba terlihat anggun.
“Tidak apa-apa, aku juga baru datang.”
Mereka memesan minuman, dan percakapan langsung mengalir lancar. Reza bercerita tentang bisnisnya yang bergerak di bidang properti, proyek-proyek besar yang sedang ia kerjakan, serta rencananya untuk ekspansi ke luar negeri. Dina mendengarkan dengan penuh antusias, meskipun ia sesekali harus berpura-pura mengerti istilah bisnis yang tak ia pahami. Baginya, semua terdengar sempurna—calon suami yang kaya raya, penuh percaya diri, dan pastinya bisa memberikannya kehidupan yang selama ini ia dambakan.
Setelah hampir satu jam berbincang, Reza menatapnya dalam-dalam.
“Dina, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
Dina mengangkat alisnya, penasaran.
“Apa itu, Reza?”
“Aku nggak biasa langsung ngomongin hal ini sama perempuan yang baru aku kenal, tapi kamu kelihatan berbeda. Aku ngerasa nyaman banget,” katanya sambil menggenggam tangan Dina dengan lembut.
“Aku suka kejujuranmu, dan aku rasa kita punya kecocokan.”
Dina merasa tersanjung, dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia merasa selangkah lebih dekat menuju tujuannya.
“Tapi…” Reza terdiam sejenak, wajahnya terlihat ragu.
“Aku sedang ada sedikit masalah finansial sekarang. Bukan apa-apa, hanya ada satu proyek yang butuh suntikan dana dalam waktu cepat, dan dananya belum cair.”
Dina terkejut, namun ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.
“Oh, begitu ya… Jadi kamu butuh bantuan?”
“Ya, kalau boleh jujur. Ini proyek besar, dan aku hanya butuh suntikan dana sementara. Dana ini bisa berlipat ganda dalam waktu tiga bulan, Dina. Tentu, kalau kamu bisa bantu aku sekarang, aku janji akan melipatkan balik modalmu,” ucap Reza, suaranya terdengar penuh keyakinan.
Dina merasa sedikit ragu, tapi ia tak ingin menunjukkan kelemahan. Lagi pula, jika Reza benar-benar sukses seperti yang ia katakan, investasi ini bisa menjadi tiketnya untuk hidup lebih nyaman.
“Aku bisa bantu, Reza,” kata Dina akhirnya, mencoba tersenyum percaya diri.
“Berapa yang kamu butuhkan?”
“Tidak banyak kok. Lima puluh juta saja cukup, dan aku janji, dalam tiga bulan akan aku kembalikan dengan bunga. Aku ini pebisnis, Dina. Aku tahu kamu akan senang lihat hasilnya,” ucap Reza sambil tersenyum lebar.
Tanpa berpikir panjang, keesokan harinya Dina mengumpulkan uang dari tabungannya dan meminjam sisanya dari teman-teman terdekat. Di dalam pikirannya, bantuan ini adalah langkah awal untuk menjadi bagian dari kehidupan Reza. Baginya, lima puluh juta adalah pengorbanan kecil dibandingkan dengan masa depan yang ia impikan.
Setelah menerima uang itu, Reza semakin sering menghubungi Dina, membuatnya merasa semakin dekat dan percaya diri bahwa hubungan mereka semakin serius. Tapi seiring berjalannya waktu, Reza mulai semakin sulit dihubungi. Pesan-pesan Dina kerap tak berbalas, dan panggilannya sering diabaikan. Dina mulai gelisah. Namun, ia berusaha berpikir positif dan meyakinkan dirinya bahwa Reza hanya sibuk dengan proyeknya.
Suatu malam, setelah berhari-hari tidak mendapat kabar, Dina menerima pesan singkat dari Reza. Pesannya singkat dan dingin, mengabarkan bahwa ia tak bisa melanjutkan hubungan ini karena perbedaan visi hidup. Dina tak percaya dengan apa yang ia baca.
“Apa maksudnya ini, Reza?” tanya Dina saat akhirnya berhasil menghubungi Reza.
“Dina, maaf… Aku rasa kita memang nggak cocok. Kamu perempuan yang baik, tapi aku nggak bisa lanjut. Kita lebih baik berpisah.”
Dina merasa seperti ditampar. Seluruh dunianya hancur dalam sekejap.
“Lalu bagaimana dengan uang yang kupinjamkan padamu?”
Suara Reza terdengar dingin. “Uang itu? Kamu tahu, kan, setiap investasi ada risikonya?”
“Risiko? Ini bukan investasi, Reza! Kamu janji mengembalikannya!”
“Aku memang janji, tapi kondisi sudah berubah, Dina. Bisnis tidak berjalan lancar,” jawab Reza ringan, membuat Dina semakin muak.
Malam itu, Dina tak bisa tidur. Ia menangis dalam diam, merenungi kebodohannya yang begitu mudah tertipu oleh mimpi-mimpi indah yang dijanjikan Reza. Ia merasa terhina, terjebak dalam perasaan pahit yang mendalam. Semua impiannya tentang kehidupan nyaman, suami kaya, dan masa depan bahagia, hancur seketika.
Pagi harinya, Dina memutuskan untuk mengusut siapa sebenarnya Reza. Ia menghubungi beberapa kenalan yang bergerak di bidang bisnis properti dan berhasil menemukan kebenaran yang mengejutkan. Reza ternyata bukan seorang pengusaha kaya. Ia hanyalah seorang pria yang sering memanfaatkan perempuan demi memenuhi gaya hidupnya yang mewah. Sudah banyak wanita yang menjadi korban dengan modus yang sama—janji bisnis dan pengembalian modal yang tak pernah terealisasi.
Dina menatap dirinya di cermin, wajahnya yang kemarin penuh ambisi kini tampak letih. Namun dirinya tak bisa hanya tinggal diam.
Dina mulai mengumpulkan bukti-bukti tentang Reza. Berkat bantuan seorang teman yang memiliki koneksi di media, kisah penipuan yang dilakukan Reza akhirnya diangkat ke permukaan. Publikasi itu membuat Reza panik dan ia akhirnya mencoba menghubungi Dina.
“Aku bisa jelaskan, Dina. Tolong, jangan lakukan ini. Kita bisa selesaikan baik-baik,” ucap Reza, suaranya terdengar putus asa di ujung telepon.
“Terlambat, Reza. Kamu sudah menghancurkan banyak hati, termasuk hatiku. Kamu harus menanggung akibatnya.”
Beberapa minggu kemudian, Reza dihadapkan pada tuntutan hukum atas kasus penipuan berantai. Dina berhasil bangkit dan belajar dari kejadian ini. Ia sadar bahwa hidup bahagia tak melulu soal mencari pasangan kaya raya, melainkan berdiri teguh dan berharga atas dirinya sendiri. Tak ada lagi pria kaya dalam impiannya, melainkan dirinya sendiri yang bisa menentukan jalan hidupnya.
–Tamat–
Catatan Penulis:
Pesan moral dari cerita ini, adalah pentingnya menghargai diri sendiri dan tidak menjadikan materi atau status sosial sebagai patokan kebahagiaan. Perempuan harus belajar untuk tidak mengorbankan nilai diri demi memenuhi harapan orang lain.
Kreator : Shinta Larasati Hardjono
Comment Closed: Di Bawah Langit Para Hawa : Calon Suami Kaya
Sorry, comment are closed for this post.