Hujan deras membasahi jalanan malam itu, membiaskan lampu-lampu kota kecil yang suram. Di dalam rumah yang sepi, Nina duduk di tepi ranjang, pandangannya menerawang ke jendela yang diselimuti embun. Di luar sana, bulan tampak remang-remang, seakan ikut bersembunyi di balik awan pekat. Perasaan asing menyelimuti hatinya—ia merasa seperti berada dalam jeruji yang tak kasat mata, terperangkap di dalam dinding gelap yang pelan-pelan menyesakkan.
Sudah berbulan-bulan ia menjalani pernikahan sirinya dengan Rudi, pria yang awalnya ia kira adalah jawabannya untuk kehidupan yang bahagia. Mereka menikah diam-diam, dengan janji Rudi untuk meresmikan hubungan mereka “nanti, ketika waktunya tepat.” Janji itu membuat Nina bertahan, berharap akan masa depan bersama sebagai suami-istri yang sah. Namun, semakin hari, ia justru semakin terjerumus dalam penantian panjang yang penuh ketidakpastian.
Nina menghela napas panjang.
“Apa semuanya akan selamanya begini?” gumamnya, nyaris tak terdengar, seiring dengan suara hujan yang mengetuk jendela.
Tak lama kemudian, suara pintu depan berderit terbuka, diikuti langkah berat yang familiar. Rudi memasuki kamar, tubuhnya tampak kelelahan dan rambutnya basah oleh sisa hujan.
“Nina…”
Rudi menatapnya, senyuman tipis terulas di bibirnya, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya malam itu.
“Kamu baru pulang?” tanya Nina, berusaha menjaga nada suaranya agar terdengar biasa saja. Padahal dalam hatinya, perasaan kecewa dan marah selalu merayap ketika Rudi datang terlambat seperti ini. Terlalu sering Rudi pulang larut malam, tanpa ada penjelasan.
Rudi mengangguk, berjalan mendekati ranjang.
“Maaf, aku sibuk dengan urusan pekerjaan. Tadi harus rapat sampai malam.”
Nina hanya diam, menunduk dan menahan keresahan di dalam dirinya. Ia sudah sering mendengar alasan yang sama. Rudi selalu datang, seakan menyelinap ke dalam hidupnya, lalu pergi lagi begitu saja meninggalkan ruang kosong yang semakin hari semakin menganga.
“Rudi…” Nina menatapnya dengan tajam.
“Sampai kapan aku harus menunggu kamu menepati janji? Kamu bilang, kita akan menikah resmi. Tapi kenyataannya?”
Rudi terdiam, wajahnya sedikit tegang. Ia tak menjawab, hanya memandang Nina dengan tatapan yang penuh beban.
“Kenapa kamu diam?” Nina melanjutkan dengan suara lirih. “Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?”
Rudi mengalihkan pandangannya. “Nina, aku… aku akan jelaskan nanti.”
“Nanti? Kamu selalu bilang nanti, Rudi! Sampai kapan aku harus menunggu?” Nada suara Nina meninggi. “Apa ada sesuatu yang kamu rahasiakan dari aku?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Hening yang mencekam mengisi ruangan, diiringi hanya oleh suara hujan yang terus turun di luar sana. Lalu, tiba-tiba Rudi bangkit dari tempat tidur, matanya menghindar dari tatapan Nina.
“Aku akan pergi,” katanya singkat.
“Pergi?” Nina terpaku.
“Maksudmu?”
“Ada urusan penting. Aku harus pergi sekarang,” jawab Rudi, hampir berbisik.
Nina hanya bisa menatapnya bingung, sementara Rudi mengambil jaket dan bergegas keluar. Dalam sekejap, bayangannya sudah menghilang di balik pintu, meninggalkan Nina yang terpaku dalam kesedihan dan kebingungan.
—
Esok harinya, Nina tak tahan lagi. Perasaan curiga yang sudah lama menghantuinya memaksanya untuk mencari tahu kebenaran. Ia memutuskan untuk mengikuti Rudi, berharap bisa menemukan jawaban atas semua kebisuan dan ketidakpastian selama ini.
Mengumpulkan keberanian, Nina menunggu hingga malam tiba dan menunggu Rudi meninggalkan rumah. Setelah menempuh perjalanan jauh, ia melihat Rudi menghentikan mobilnya di sebuah perumahan elit, lalu turun dan memasuki salah satu rumah. Hatinya berdebar kencang saat mengikuti langkah Rudi dengan perlahan.
Saat ia mendekati rumah itu, ia tertegun melihat seorang wanita membuka pintu, tersenyum menyambut Rudi dengan hangat. Di belakang wanita itu, tampak seorang anak kecil yang langsung berlari memeluk Rudi, memanggilnya dengan sebutan yang membuat Nina merasa tubuhnya seakan runtuh.
“Ayah!” teriak anak itu, penuh suka cita.
Nina menahan napas. Kenyataan yang menyakitkan itu terpampang jelas di depan matanya. Rudi sudah memiliki keluarga. Wanita yang sedang memeluknya dengan penuh kasih itu bukanlah sekadar teman atau rekan kerja. Mereka adalah keluarga Rudi yang sesungguhnya, yang selama ini ia sembunyikan dari Nina.
Hatinya hancur. Semua janji manis yang diucapkan Rudi kepadanya kini terasa seperti kepalsuan belaka.
Dengan tangan bergetar, Nina berbalik dan pergi dari tempat itu. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan derasnya hujan yang mulai turun lagi. Hatinya yang pernah dipenuhi harapan kini terasa kosong, seakan semua kebahagiaan yang ia impikan direnggut darinya dalam sekejap.
—-
Beberapa hari kemudian, Nina menunggu Rudi pulang ke rumah. Rasa sakit itu semakin membakar hatinya, dan ia merasa harus mendapatkan penjelasan dari Rudi meskipun ia sudah tahu kebenarannya.
Ketika Rudi akhirnya pulang, Nina menatapnya dengan tajam.
“Kamu sudah punya istri dan anak, Rudi. Kenapa kamu tidak bilang padaku sejak awal?” suara Nina terdengar pelan, namun tegas.
Rudi terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Nina, aku bisa jelaskan…”
“Tidak perlu penjelasan lagi,” potong Nina, matanya penuh luka.
“Kamu sudah berbohong padaku selama ini. Kamu janji akan menikahiku secara resmi, tapi kamu tidak pernah punya niat untuk melakukannya, kan?”
Rudi tertunduk, seakan tak bisa membantah.
“Maafkan aku, Nina. Aku hanya tidak ingin menyakitimu.”
“Tidak ingin menyakitiku?” Nina tertawa getir.
“Tapi kamu sudah melakukannya, Rudi. Kamu sudah menghancurkan semua harapanku. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati, tapi kamu memperlakukanku seperti… seperti aku ini tidak ada artinya.”
Rudi mencoba mendekatinya, tapi Nina mundur, menahan tangis yang sudah tidak terbendung lagi.
“Aku adalah istri cadangan, ya? Seseorang yang bisa kamu datangi kapan saja saat kamu butuh, tapi bukan bagian dari hidupmu yang sebenarnya.”
“Nina, tolong dengarkan aku…”
“Tidak, Rudi. Aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku sudah cukup terluka.” Nina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
“Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini. Aku ingin kamu pergi dari hidupku.”
Rudi menatapnya dengan sedih, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi Nina segera berbalik, menghindari tatapannya. Ia tak ingin melihat wajah pria yang telah membohonginya begitu lama, yang telah menghancurkan semua mimpi indah yang pernah ia bangun dalam hatinya.
Dengan langkah berat, Rudi akhirnya pergi meninggalkan rumah itu. Dan ketika pintu tertutup, Nina merasa seolah belenggu yang selama ini menjeratnya telah lepas. Meski hatinya masih terluka, ia merasa bebas. Bebas dari kebohongan dan janji-janji yang tak pernah ditepati.
Malam itu, di bawah hujan deras, Nina memutuskan untuk melangkah maju. Meninggalkan semua luka dan kesakitan yang pernah ia rasakan, dan berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan yang sejati, tanpa bayangan Rudi yang terus menghantui hidupnya.
Di bawah langit para hawa, ia menemukan kekuatan untuk melepaskan dan memulai hidup baru, sendiri tapi merdeka.
—Tamat–
Catatan Penulis
Pesan moral dari cerita ini, adalah tentang pentingnya keberanian dan harga diri seorang perempuan. Nina, yang terjebak dalam pernikahan siri dengan Rudi, mencerminkan banyak perempuan yang sering kali menempatkan diri mereka dalam posisi yang merugikan demi berharap pada janji-janji yang tak pasti. Cerita ini mengajarkan bahwa perempuan seharusnya tidak perlu menunggu atau menerima perlakuan yang tidak adil hanya untuk mendapatkan kasih sayang atau perhatian. Sebaliknya, perempuan harus berani menghargai diri mereka, menetapkan batasan dalam hubungan, dan memilih untuk hidup dengan integritas, bukan dengan harapan palsu yang hanya membuat mereka terperangkap. Dalam konteks persahabatan dan solidaritas antar perempuan, cerita ini juga mengingatkan bahwa perempuan harus saling mendukung dalam menjaga martabat dan kebahagiaan mereka, serta berjuang untuk hidup yang lebih baik dan lebih berarti di bawah langit yang sama.
Kreator : Shinta Larasati Hardjono
Comment Closed: Di Bawah Langit Para Hawa : Istri Cadangan
Sorry, comment are closed for this post.