“ Permisi, Suster “ ucap Sumi. Wajahnya sedikit malu.
“ Aku harus lakukan demi anak-anakku. “ bisiknya dalam hati.
“ Mari, bu, silahkan masuk “ senyum ramah suster kepala sekolah menyambutnya. Seperti sebuah ritual, setiap tahun Sumi datang menghadap pimpinan sekolah favorit tempat anaknya menimba ilmu.
“ Mari bu, silahkan duduk. Bagaimana bu, ada yang bisa saya bantu ? “
“ Mohon maaf Suster, saya datang lagi. Ini lho Suster, saya mau minta di urek-urek (dicoret). Saya mohon keringanan Suster. ” suara Sumi bergetar menahan tangis.
Suster kepala Sekolah tersenyum.
“ Saya mengerti bu. Tapi untuk ketiga anak ibu saya sudah berikan kenaikan SPP sekecil mungkin. Saya sudah berikan banyak dispensasi bu. “
Dalam hatinya, Sumi membenarkan. Jika dibandingkan dengan anak konglomerat yang lain, kenaikan SPP ketiga anaknya sejauh bumi dan langit.
“ Mohon maaf Suster, tapi kalau tahun ini naik lagi, kami agak kewalahan. Bapaknya anak-anak cuma karyawan pabrik. Kami tidak punya sumber pendapatan lain. “ Sumi mencoba meyakinkan.
Lama suster kepala sekolah berpikir sambil membolak-balik catatannya. Sesekali dahinya berkerut, mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya suster menyampaikan bahwa keringanan hanya bisa diberikan pada 2 anak di kelas atas, sementara adik di kelas bawah harus membayar penuh.
Sumi menarik napas panjang. Tidak tahu, haruskah ia bersyukur atau bersedih. Setelah beberapa saat berdiskusi tentang kelanjutan studi Wiwin, anak sulungnya, ia pun pamit dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Beberapa langkah keluar dari pintu ruangan kepala sekolah, sepasang mata mungil menatapnya penuh tanya.
“ Ibu, kenapa ada di sini ? ” tanya Wiwin yang ternyata dari tadi menunggu Sumi dengan gelisah.
Sumi tersenyum, tak ingin putrinya ikut berpikir di saat dia harus mempersiapkan diri untuk ujian akhir.
“ Bukan dipanggil, ibu yang menghadap, untuk mengucapkan terima kasih karena sekolah sudah bimbing kamu. Sudah kembali ke kelas sana. Ibu mau pulang untuk siapkan makan siang. ” ucap Sumi berbohong demi menenangkan putri yang selalu turut merasakan kesedihannya.
Sumi berjalan menyusuri trotoar. Sengaja Sumi memilih untuk menembus teriknya matahari dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer demi untuk menghemat uang transport.
Sampai di warung kelontong mbak Ati, Sumi membeli sayur pare dan sepotong tempe. “ Untung tadi aku gak jadi naik angkot. ”, gumamnya dalam hati sambil menyodorkan uang receh terakhir dalam dompetnya.
“ Utang lama masih banyak lho bu. Kapan mau dibayar ? ” pemilik warung mulai mengomel.
“ Tunggu sedikit lagi ya mbak, bapaknya anak-anak belum gajian. Kalau sudah ada pasti saya datang bayar. ” Sumi segera berlalu. Tak ingin orang lain mendengar omelan mbak Ati tentang utangnya.
Sampai di rumah, Sumi melihat suaminya sedang tidur. Dengan cepat ia berganti pakaian dan segera ke dapur. Sambil mengolah bahan untuk makan siang, ia membayangkan anak-anak bersorak melihat nasi mengepul bersanding tumis pare dan tempe goreng.
“ Sudah pulang kamu. Urus begitu saja kok lama sekali. Gimana hasilnya ? ” Hal yang paling ditakuti Sumi terjadi. Suaminya terbangun dan menginterogasi.
Dengan penuh beban ia menarik napas panjang dan mulai menceritakan hasil pembicaraannya dengan suster kepala sekolah.
“ Dasar perempuan bodoh. Kamu pikir siapa yang akan bayar SPP full ? Urus minta keringanan saja tidak becus. ” suami Sumi meluapkan kekesalannya.
“ Tiap tahun aku menghadap kepala sekolah minta keringanan biaya. Itu juga masih belum cukup bagimu ? Aku malu pak. ” balas Sumi membela diri.
“ Malu katamu ? Lalu bisamu apa ? Kerja bantu suami tidak bisa. Minta keringanan uang sekolah tidak bisa. Jadi maumu makan tidur saja begitu ? ”
Tak tahan lagi mendengar kemarahan suaminya, Sumi beranjak meninggalkan dapur.
Tanpa alas kaki, sekali lagi Sumi menembus teriknya matahari. Pengorbanan Sumi tak berharga di mata suaminya. Mengelola uang sekadarnya yang diberikan suami dianggap belum cukup membantu keluarga. Dengan keterbatasan usia dan pendidikan, ia masih dituntut untuk bekerja agar mendapatkan gaji.
Tak terasa sudah satu setengah kilometer Sumi berjalan tanpa tujuan.
“ Sumi ! Sini ! ” seorang wanita paruh baya berteriak sambil melambaikan tangan. Sumi tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah suara memanggil. Ia mengusap matanya lalu berjalan mendekati orang yang ternyata adalah temannya.
Setelah beberapa saat menikmati segelas air yang disodorkan temannya, Sumi mulai menangis lagi, menceritakan apa yang dialaminya.
“ Ibuuuuu…. “ Bambang segera menghambur dalam pelukan Sumi.
“ Ibu sudah pulang… ibu sudah pulang… “ Titin menyanyikan lagu ciptaannya sambil bertepuk tangan dan berlompat kegirangan.
Sementara Wiwin si sulung hanya berdiri terpaku menatap ibunya dari ujung mata yang masih sembab hingga kaki yang tanpa alas.
“ Ibu ke mana saja ? Jangan pergi lagi ya bu, bapak tidak tahu masak pare. Tidak sama seperti masakan ibu. “
Dengan berlinangan air mata Sumi memeluk erat Bambang, laki-laki bungsu yang paling dekat dengannya.
“ Benar kata temanku, lukaku tak sebanding dengan luka yang akan dialami anak-anakku ” aku Sumi dalam hati.
Kreator : UC Wind
Comment Closed: Di Bawah Terik
Sorry, comment are closed for this post.