Hati ini sudah membaik dibanding sebulan sebelumnya. Segala yang ingin ku utarakan telah tersampaikan walau hanya dalam bentuk tulisan. Rasanya Dunia ini terasa lebih lega. Seperti memberi ruang yang nyaman untuk bebas bernafas. Tak ada rasa khawatir atau rasa cemas yang berlebihan lagi saat ini.
Aku tak berharap dapat balasan dari suratku karena menyadari betul kebiasaanku yang berbeda. Pun bila mengirimkan surat pada Pemilik Toko itu, Aku tak perlu menunggu balasannya. Yang penting keadaan akan kembali normal dan baik – baik saja seperti semula. Karena rata-rata suratku adalah sebuah penguatan saja.
Menjelang lebaran ini hatiku sudah membaik. Sangat bahagia. Ketenanganku sudah hampir pulih kembali. Segala rasa yang berkecamuk dalam dada, perlahan hilang entah kemana.
Aku mulai konsentrasi dan fokus kembali pada tugas-tugas kuliahku, menyelesaikan bagian-bagian yang tertunda dan berantakan. Kini, seolah – olah ada energi baru yang mendorongku untuk lebih semangat dan memberi keyakinan untuk melangkah dengan lebih pasti.
Di ujung Ramadhan, Aku tetap menyisihkan waktu. Menyempatkan untuk mengirimkan kartu ucapan Selamat Hari Raya sebagai hiburan yang mengasyikan bagiku karena sebagian dunia kebahagiaanku adalah menulis. Walaupun hanya menulis sebuah Kartu Ucapan Lebaran saja.
Pemilik Toko itu pun dapat jatah Kartu Lebaran yang sama seperti kekasihku. Aku mengirimkannya melalui Kantor Pos yang sama, dengan waktu yang sama pula.
Sahabat …
Ketika Aku berjanji mungkin pernah ku ingkari
Kala Aku mengucap kata mungkin pernah berdusta
Waktu kita bercanda pasti pernah kubuat hatimu luka.
Dengan lebaran ini,
Tulus kumohon. Maafkan. Dan lupakanlah!
Segala salahku padamu
Seperti Aku memberimu seluruh maafku
Lepas segala khilaf yang membekas di dada
Buang semua kecewa yang menyelinap dalam hati.
Segera kita ciptakan obrolan baru.
Senyum ceria. Peraga ramah serta sikap.
Tekad dan langkah yang reformis !
Menikmati fajar kemenangan
Mengembalikan fitrah kita sebagai Manusia
Hingga berarti di hadapan Allah SWT.
Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.
Selamat Hari Raya ‘ Idul Fitri
1 Syawal 1423 Hijriyyah
Minal Aidin Wal Fa’idzin.
Dari
Dani Sahabatmu
Dua Minggu kami tak bertemu semenjak libur sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka saat bertemu kembali, rona bahagia itu terpancar kuat di wajah Pemilik Toko itu.
“Terima kasih kiriman kartu lebarannya, Dan. Ijal suka Sekali.” Ungkapnya.
“ Sama – sama, A.” Senyumku merekah. “Sukanya dimana? Kan kartu Lebaran cuma begitu – begitu aja.”
“Kata- kata kamu itu, selalu menyentuh tepat dan pas sekali porsinya, Dan.” Jawab Ijal memuji.
“Bahasa suratmu menyejukan hati. Itu kelebihanmu. Dan, Aku dengan senang hati menikmatinya.” Lanjutnya membuatku tersanjung.
“Bajunya bagus. Baju baru ya?” Puji Ijal, sekali lagi.
Duh, dia ini ya!
Bisa detail sekali memperhatikan penampilanku. Bahkan, baju yang pertama kali ku kenakan hari ini dia pun tahu. Seserius itukah Dia memperhatikanku? Allah, tolong hamba-Mu ini. Ada ya yang sebegini jujurnya dan bikin tubuhku terasa ciut.
“Ach, Masa baju lebaran simpel gini.” Aku menyeringai geli.
Bisa-bisanya Dia berkelakar soal penampilan. Bergurau tapi ada makna tersirat yang tersemat yang kutangkap. Dia masih peduli memperhatikan apa yang kukenakan. Dan, tak segan mengungkapkannya padaku.
Kau memang paling bisa membuat kulit pipiku yang sudah kemerahan tambah merona, Ucapku dalam hati.
Padahal menggunakan baju ini sungguh tak membuatku percaya diri. Baju yang dipola Ibuku tapi salah perhitungan. Jadi sih jadi memang, tapi tidak sesuai ekspektasiku semula. Hanya kerudung pasangannya yang menutupi kekurang-sempurnaan bajuku ini. Karena warna yang sepadan dan dijahit bagian depannya menjadi kerudung instan yang simpel dan tidak membuat ribet saat memakainya. Sederhana, tapi ada kesan manis dan tidak berlebihan.
Makanya, saat Ia bilang bajuku bagus, aslinya ingin sekali tertawa terbahak- bahak. Memang kadang merasa ia sedang bercanda. Atau tak ada pembicaraan lain lagi mungkin. Dia memang ada – ada saja. Sekedar basa – basi karena tak ada obrolan yang lain yang lebih penting lagi.
Aku sudah mulai bisa mengendalikan sikap yang lebih tenang di hadapannya. Menganggap hal yang terjadi dua bulan ke belakang adalah nuansa yang menyertai perjalanan yang harus kulalui. Kehidupan ini memang butuh warna lain selain putih. Hitam, Jingga dan temaram.
Perhatiannya sudah kuanggap hal yang biasa, bahkan kadang tak segan kami bercanda, membahas pandangan masing – masing tentang masalah – masalah agama. Terkadang membandingkan pemahamanku dengan pemahamannya. Memanfaatkan waktu – waktu singkat saat menunggu bis. Mungkin saja ngetes wawasanku atau tak ada pembicaraan lain. Entah apa, bisa – bisanya aku merasa nyaman begini. Padahal, sebenarnya Aku ini sedang galau.
Bukan galau karenanya. Sejujurnya akhir – akhir ini banyak sekali masalah menghampiriku. Memang sebagian sudah mampu ku atasi, tapi sebagian yang lain masih butuh tenaga dan pikiran untuk menyelesaikannya.
Bulan Desember lalu Adikku, Tauhid, sudah resmi di khitbah. Di khitbah oleh seseorang yang bener – bener tulus mencintainya. Dia tak ingin lama – lama membiarkan adikku tanpa ikatan sebelum pernikahan. Sikapnya yang lebih dewasa untuk mengikat adikku dari pinangan orang lain itu, membuktikan bahwa ia serius dan tak main – main mengharapkan adikku jadi bagian dari masa depannya yang harus diperjuangkan. Dia melegalkan hubungannya agar lebih tenang dan membiarkan Adikku itu menyelesaikan kuliah. Kekhawatiran yang membuat ia bertindak cepat. Sesuatu keputusan yang layak ku acungi jempol.
Awalnya Ayahku menolak menerima pinangan itu, mengingat Aku sebagai kakaknya belum ada yang mengikat. Jika seorang kakak laki – laki didahului adiknya, tak begitu bermasalah menurut Ayah Ibuku. Sedangkan, Aku seorang kakak perempuan yang pantasnya mendapatkan pinangan itu lebih dulu.
Aku sama sekali tak keberatan soal ini. Aku yakin Allah itu Maha Baik dan telah memiliki rencana lain yang lebih indah. Itu keyakinanku.
“Aku rela. Aku tak masalah. Aku ridha dan Aku ikhlas.” Ucapku pada Ayah.
Jujur, Aku bahagia karena Tauhid ada yang mencintainya dengan tulus. Membuktikan dengan tindakan yang nyata dan serius.
“Meskipun Aku kakaknya, terlahir lebih dulu, bukan berarti Aku harus bahagia lebih dulu juga.” Aku meyakinkan Ayah.
“Bahagiaku mungkin masih Allah tangguhkan. Dan aku masih harus bersabar.”
“Terimalah pinangan Teman sekelas Adikku itu. Tak perlu menimbang – nimbang begitu rupa. Yang penting, keduanya sudah saling cocok dan siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan yang sesungguhnya.” Aku Menguatkan pernyataanku.
“Tadinya Apa dan Emah khawatir menyakiti perasaanmu, Nak. Tapi kalau An ridha, Apa akan mengabulkan pinangan adikmu dengan tenang.” Jawab Ayah.
“Terima kasih ya, sudah menjadi kakak yang baik.” Ayah berucap sambil berkaca – kaca. Kami semua saling berpelukan haru saat itu.
Di lain sisi, Aku tak mengabari kekasihku tentang Adikku yang telah di khitbah. Bahkan, berita ini ku tutup rapat rapat, karena sesungguhnya Islam mengajarkan untuk merahasiakan khitbah dan mengumumkan pernikahan. Aku menginginkan bahwa suatu saat aku akan di khitbah dari kesadaran sendiri kekasihku, bukan karena melihat Adikku yang sudah di khitbah. Atau karena rasa kasihan dan iba atau apalah namanya. Aku ingin saat ia mengkhitbahku adalah benar – benar murni kesadaran sendiri, tanpa paksaan atau tanpa ada hal yang membuat terpaksa, ikhlas dan tak terbebani.
Aku berhasil menutupi itu semua. Aku tak pernah membahas hal – hal itu di depannya saat ia datang atau di surat – suratku yang ku kirim kepadanya. Bukan Aku tak ingin disegerakan, tapi menanggapi sikap santai yang ia tunjukkan membuatku hatiku enggan menyinggung sampai ke sana.
Sayangnya, Ia terlampau cuek. Kalau kubahasakan bisa dibilang terlalu ‘hare – hare’ dan menormalisasi hubungan yang sudah hampir enam tahun ini begini – begini saja tanpa kepastian yang berarti. Kadang pula malah menciutkan nyali, mengecilkan harapan, membuat keragu – raguan datang berkali-kali.
Seperti saat ini. Aku menunggunya datang di halte depan kampus yang janjinya sebelum jadwal kepulangan kuliah dia telah berada menunggu di sana. Tapi nyatanya, setelah hampir tiga puluh menit Aku berdiri sambil berharap di tiap angkot yang lewat itu ada dia salah satunya. Tapi sampai hatiku kesal, Aku tak ditemuinya. Kulangkahkan kaki meninggalkan halte itu. Tak ingin berkorban menunggunya sampai senja makin memerah. Aku harus pulang. Keselamatanku jauh lebih penting ku prioritaskan dan kujaga dari apapun.
“Senja, jangan pergi. Tunggu Aku sampai Pangeranku menemui.” gumamku.
Tapi, senja tetap berlari sebelum Aku benar – benar siap untuk kembali. Ada butir kristal yang menggantung di ujung mataku. Menatap pemandangan sore yang begitu dramatis dari kaca jendela elf yang berlari kencang. Pemandangan indah yang hampir kunikmati tiap hari sepulang kuliah. Hari ini begitu mengusik sisi perempuanku yang sedang kecewa dan merana.
Mungkin bukan hal yang besar. Tapi dalam hubunganku, yang begini kadang membuatku dongkol tingkat tinggi. Jelas saja, pertemuanku dengannya paling dekat tiga bulan sekali, bahkan kadang lebih dari itu. Itupun jika kebetulan liburan semester dia pulang. Jadi janji – janji mau menemuiku terasa menyakitkan jika pada akhirnya tak bisa dibuktikan.
“Memangnya menunggu dan menanti itu tanpa jiwa dan perasaan?” Gerutu batinku kesal.
Padahal, aku ingin berbagi cerita mengenai kuliahku. Memintakan sarannya untuk bahan Skripsiku. Mungkin kedatangannya akan menjadi support system yang luar biasa bagi kelancaran penggarapannya. Tapi, itu hanya angan – angan saja. Sedang yang ku maksudkan tak ada pikiran sampai di sana. Hingga tubuhku beku jadi batu sekalipun. Mungkin.
Aku merasa masalahku bersamanya tak begitu rumit, masalah – masalah sepele saja. tapi tetap mengganggu pikiranku, membuat titik kekecewaan yang lekat tak bisa hilang. Jika terus begini mana bisa aku bertahan. Cinta memang harus dirawat dipupuk dan terus – menerus disiram mengabaikannya sama saja membuat layu meranggas dan akhirnya mati dan tinggal kenangan. Itu yang akhir – akhir ini ku khawatirkan.
Di kampungku, berita Adikku di khitbah itu cepat sekali menyebar. Namanya juga orang kampung yang selalu kepo tingkat dewa. Hal – hal yang begini jangan ditanya dan tak perlu memerlukan waktu lama untuk menyebar. Kuping mereka bisa menangkap frekuensi berita lebih cepat beberapa kali lipat. Tak perlu pengumuman pakai pengeras suara Masjid atau mikrofon. Jelas mereka sudah menangkap lebih pintar dan lebih lihai. Walaupun si empunya dalam keadaan silent mode.
Gara – gara kegaduhan ini, ada yang datang menemui Ayahku. Menawarkan diri akan mengkhitbahku jika Aku mau. Siap dengan kondisi masih kuliah dan membiayainya pendidikanku selanjutnya. Karena alasan adiknya sudah di khitbah dan kakaknya belum. Memanfaatkan berita untuk mengambil keuntungan darinya. Sungguh tega. Batinku serasa diiris.
Jangan menganggap didahului khitbah begini karena tak laku dan menganggap permasalahanku dan permasalahan mereka sama. Bukankah ini adalah hal yang sama yang dilakukan kepada setiap gadis di kampungku yang ternyata belum menemukan jodohnya juga. Aku kira tak akan dapat giliran pertanyaan yang sama seperti gadis lain di kampungku. Dan, bukankah ia tidak mendukung dan tidak menyukai orang – orang yang bersekolah? Aku pernah mendengar langsung dari mulutnya. Bahkan, beberapa kali jika ikut kajiannya. Menafikan sekolah dan memandang yang berpendidikan pesantren jauh lebih baik. Aku ini kan kuliah tidak tepat dengan kriterianya selama ini.
Kalau hanya melihat materi, ia adalah pemuda mapan yang sudah berkecukupan. Rajin dan proaktif di setiap kegiatan kemasyarakatan. Ia pemuda yang cukup sholeh dan guru ngaji. Dia ulet dalam bekerja dan bertani. Ternak dombanya berhasil dan menjanjikan. Tapi sungguh, Aku tidak tertarik dengan hal yang demikian. Tak ada di kamus pribadiku harus menikah dengan tetangga kampung. Apalagi dengan pemuda yang pemahaman agamanya konservatif, yang keukeuh memandang hal-hal kolot. Dan, tak mau upgrade ke arah yang lebih modern. Itu bukan tipe yang kuharapkan untuk masa depanku.
Ayah itu demokratis dan tak pernah memaksakan kehendaknya. Ia memang menyampaikan kabar itu kepadaku dan meminta pendapatku walaupun ia juga sudah yakin Aku akan menolaknya. Bagi beliau, kebahagiaanku adalah kebahagiaannya juga.
Di kampung ini, Aku termasuk gadis paling tua yang belum menikah dan masih meneruskan Kuliah. Teman – teman sebayaku sudah pada menikah dan memiliki anak. Bahkan, ada anak sahabatku yang jadi anak muridku di sekolah TK dan sudah sebesar itu bahkan ada yang lebih besar lagi.
Hanya keluargaku yang semenjak dulu perhatian dan berminat terhadap pendidikan hingga jenjang kuliah. Dan, belum ada penerus dari keluarga lainnya di kampung ini. Hanya Saudara Ibu saja yang sampai hari ini tercatat kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Uwa-ku yang sudah PNS satu – satunya di kampungku berkat sekolah. Pamanku yang kuliah di IPB dan Bibi kecilku yang kuliah di IAIN. Dan, itu jadi motivasi Ayah untuk menyekolahkanku mengikuti jejak adik – adik Ibuku yang telah lebih dulu mengenyam bangku perkuliahan. Meskipun tak ditakdirkan harus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri.
Maka, tak heran jika tetangga kampung mencap kami sebagai keluarga yang terbiasa menikah tua. Julukan yang sebenarnya tidak mempengaruhi tujuan kami sedikitpun.
Aku hanya menyayangkan saja. Orang yang sebenarnya kuharapkan tak menyangkut – ataupun menyinggung perihal khitbah mengkhitbah ini sedikitpun. Sedangkan yang tak ada hubungan denganku seolah tiba-tiba mengharapkanku. Itu saja yang membuat hati ini terasa galau dan mempengaruhi aktivitas pikiranku. Ini tak bisa dihadapi dengan enteng dan tanpa beban. Tetap saja hal ini mengganggu kinerja otakku. Meski ku buang jauh – jauh rasa tidak mengenakan ini. Tetap saja menghampiri sisi terlemahku. Perempuan yang sensitif.
Kreator : Daniah Rijal
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Di Khitbah
Sorry, comment are closed for this post.