Penulis : Iis Istiqomah (Member KMO Alineaku)
Difa masih duduk terdiam di depan meja belajarnya. Sesekali masih terdengar isak tangisnya meski dia berusaha menahannya. Soal matematika di hadapannya belum dikerjakan sama sekali. Padahal aku sudah berulang kali menjelaskannya. Kepalaku sampai pening, tak tahu harus menjelaskan dengan cara bagaimana lagi.
“Difa, kamu sebenarnya udah ngerti belum sih? Kan Mama udah jelasin berkali-kali,” suaraku masih tinggi meskipun sudah mencoba menarik nafas panjang.
Anakku masih membisu. Bulir air mata mulai membasahi kedua pipinya. Tangannya memainkan pensil yang sejak tadi masih dia pegang.
“Difa, kamu jangan diam aja dong. Mau sampai kapan kamu duduk di situ?”
Masih belum terdengar suaranya. Kesabaranku sudah hampir habis rasanya.
“Kamu dengar Mama nggak sih?” suaraku makin tinggi.
“Denger Ma,” akhirnya Difa bersuara.
“Difa, ini kan soalnya gampang banget, masa kamu gak bisa sih.”
Difa menundukkan kepalanya semakin dalam. Aku sudah putus asa menghadapinya. Kadang aku berpikir, kenapa dia berbeda sekali denganku. Dulu aku selalu juara kelas di sekolah. Tak hanya itu, aku juga sering menjadi juara dalam berbagai perlombaan. Lomba cerdas cermat, menari, baca puisi, pidato, olahraga dan sebagainya.
Aku sangat berharap Difa bisa menjadi seperti diriku. Menjadi anak yang bisa kubanggakan, dan menjadi teladan bagi adiknya. Namun sepertinya harapanku itu sangat sulit aku raih. Aku merasa gagal dalam mendidiknya.
Keesokan harinya, aku mengantar Difa ke tempat les Bahasa Inggris sepulang sekolah. Rupanya kami tiba terlalu cepat, waktu les masih kurang setengah jam lagi.
“Assalamu’alaikum Miss Dewi,” aku mengucap salam tatkala Miss Dewi, guru les Difa keluar menghampiri.
“Wa’alaikumsalam Bunda, apa kabar?”
“Alhamdulillah baik Miss.”
Difa langsung meraih tangan Miss Dewi dan menciumnya. Miss Dewi mengelus kepala Difa sambal tersenyum.
“Difa main dulu sama temen-temen ya, tuh ada Ana dan Rara di dalam,” Miss Dewi duduk di sampingku.
“Bun, Difa itu hebat lho, pesat sekali perkembangannya,” Miss Dewi membuka pembicaraan.
“Masa sih Miss?” aku seakan meragukan perkataan Miss Dewi.
“Betul Bun, sekarang dia semakin percaya diri ketika berbicara di depan teman-temannya,” Miss Dewi berusaha meyakinkanku.
“Alhamdulillah Miss jika memang benar demikian,” jawabku.
“Yang luar biasa lagi waktu les minggu lalu Bun. Anak-anak kan bermain puzzle. Saya sengaja memberi mereka waktu bermain sejenak supaya tidak bosan. Difa selesai menyusun puzzle paling duluan lho Bun, padahal dia menyusun sendiri, sedangkan teman-temannya ada yang berdua atau bertiga, bahkan ada yang usianya jauh di atas Difa. Teman-temannya sampai heran, kok Difa bisa katanya,” Miss Dewi bercerita panjang lebar.
“Senang sekali mendengarnya Miss. Karena saya selama ini merasa Difa sangat sulit mengikuti pelajaran. Sampai stress kalau mengajarinya di rumah.”
“Setiap anak pasti memiliki keistimewaannya masing-masing Bun, termasuk Difa. Semua akan ada saatnya.”
“Iya Miss, terima kasih sudah mengingatkan saya.”
“Maaf Bun, sepertinya saya harus mulai mengajar.”
“Silahkan Miss, saya juga mau pamit pulang. Nanti Difa dijemput oleh ayahnya.”
“Ooo baik Bun.”
“Assalamu’alaikum Miss.”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati ya Bun.”
“Terima kasih Miss.”
Setiba di rumah, aku masih terngiang ucapan Miss Dewi tadi. Rasa bersalah merasuk di dada mengingat apa yang selama ini aku lakukan terhadap Difa. Betapa jahatnya diriku sebagai seorang ibu, merendahkan anak sendiri, menghancurkan rasa percaya dirinya. Tanpa kusadari, rasa ambisiku telah menutup naluriku sebagai seorang ibu, yang seharusnya dapat membuat anakku percaya akan kemampuan dirinya.
Sekarang aku sadar, Difa adalah Difa, bukan diriku. Benar kata Miss Dewi, dia ternyata punya keistimewaan tersendiri, yang mungkin tidak aku miliki. Tak seharusnya aku memaksa dia untuk menjadi sepertiku. Aku sama sekali tak memikirkan kebahagiaan anakku sendiri, demi sebuah kebanggaan yang ingin kutunjukkan pada orang-orang.
Tak terasa bulir air mata jatuh di pipiku. Tiba-tiba aku merasa sangat merindukan Difa. Aku ingin memeluknya, menciumnya. Engkau adalah Difa, anakku yang aku banggakan. Dan yang paling penting, aku hanya ingin dia bahagia.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku, isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis”
Comment Closed: Dia Bukan Diriku
Sorry, comment are closed for this post.