KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dia Pergi

    Dia Pergi

    BY 17 Okt 2024 Dilihat: 109 kali
    Dia Pergi_alineaku

    Sebenarnya Aku ingin curhat. Ingin menceritakan kesedihanku. Tapi sepertinya bukan ide yang bagus. Walau sekedar ingin bicara, tak peduli ada yang  mau dengar atau tidak. Aku ingin membebaskan segala beban hati ini. Tapi ternyata,  takut juga bila harus membebani orang lain. Kembali aku memilih diam.

    Aku sudah berusaha menjadi wanita tegar dan ceria, tapi nyatanya kali ini tak berhasil. Kadang merasa menjadi wanita yang munafik, memaksa untuk bahagia padahal sebenarnya hatiku sedih. Apa yang mesti ku lakukan, padahal banyak target yang harus aku selesaikan tahun ini. Tapi, aku begitu rapuh kalau menyangkut hal pribadi.

    Harusnya, memasuki awal Tahun Baru ini aku telah siap dengan semangat baru, target yang serba baru. Jauh sebelum Tahun Baru ini datang, seharusnya aku telah introspeksi diri, menimbang amal baik dan buruk serta menentukan langkah untuk segera memasuki Tahun Baru berikutnya, bukan malah galau begini.

    Bagi mereka yang tidak memiliki tujuan hidup, mungkin selain untuk bersenang – senang, barangkali perenungan ini tidak perlu. Tahun Baru Islam ternyata tidak mendapat tempat yang layak di hati umat muslim seluruhnya dan tidak dipersiapkan kedatangannya, malah terkesan tak peduli. Sangat berbeda dan tidak sesibuk menyambut kedatangan Tahun Baru Masehi pada umumnya. Saat ini aku merasa berada di posisi seperti mereka. Astaghfirullah.

    Bagiku, bagaimanapun peliknya kehidupan, bagaimanapun tidak berdaya dan rapuh sekali hati ini, tujuan hidup yang sesungguhnya adalah menuju keabadian akhirat. Perlu perjuangan, kesabaran, dan perlu juga materi untuk mewujudkannya. Kini, proses itu sedang dan akan selalu terus kujalani bagaimanapun kondisinya. Kesederhanaan dan keterbatasan telah menjadi bagian terbesar dalam hidup ini dan masih berharap Allah SWT memberikan kebaikan, menyiapkan kejutan menyenangkan di masa yang akan datang. Aku tersadarkan.

    Istiqomah dalam kebaikan ternyata bukanlah hal yang mudah. Ketika seseorang mengatakan dirinya mukmin, maka Allah segera mendatangkan ujian.  Macam – macam ujian  yang diberikan. Banyak yang lulus ujian, tapi lebih banyak yang tidak tahan uji. Betapa rawan aqidah keimanan ini. Selain karena ilmu yang terbatas dimiliki, keimanan yang lemah serta faktor ekonomi yang ikut mempengaruhi.

    Untuk bisa tetap survive ternyata bukanlah hal yang mudah. Tantangan demi tantangan semakin hari semakin menyulitkan. Kita masih bisa menyelesaikan satu  dua ujian  berpuluh – puluh cobaan datang silih berganti. Membuat semangat pun turun naik. Kadang merasa begitu lemah, pesimis,  statis, jenuh dan bosan.

    Padahal, seluruh kelemahan itu bukanlah ide yang bagus. Seorang mukmin harus kuat, tegar, tabah, dan tawakal. Jangan mudah kalah dan menyerah. Jangan berhenti oleh rintangan. Bukankah Allah tidak akan memberikan sesuatu di luar kemampuannya. Bukankah beserta kesulitan itu ada kemudahan. Bukankah sebaik – baiknya manusia adalah yang paling banyak ujiannya. Aku menghibur diriku sendiri. Mencoba membuang pikiran – pikiran negatif yang mempengaruhi caraku bekerja dan menentukan sikap.

    Meyakinkan diri bahwa Allah satu – satunya penolong, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Cobaan itu ibarat ujian naik kelas, naik tingkat atau naik level dan mustahil lulus tanpa melalui tahapan itu terlebih dahulu. Aku harus berdamai dengan ini semua. Ya, aku akan berusaha.

    Dua, tiga minggu setelah aku bisa mendamaikan gejolak dalam diriku sendiri dan merelakan yang terjadi. Di satu sore, Dia menghampiriku di tepi jalan itu juga. Di depan tokonya pula.

    “Dan. Warung ini hampir habis masa kontraknya. Besok – besok Ijal sudah tak jualan lagi di sini. Mungkin ini terakhir kita bertemu.”

    Serasa pernyataannya  menghantam dadaku. Ujung hati ini terasa ngilu. Tenggorokan terasa kering. Perasaan apa lagi yang kurasa saat ini. Isyarat apa, Aku tak mengerti.

    “Memangnya mau kemana?” tanyaku lirih, padahal hati ini terasa tak karuan.

    “Ijal memutuskan ikut saudara ke Cirebon, buka usaha di sana.” Ia menjawab pertanyaan ku dengan pasti.

    “Warung ini Cuma hak guna pakai dari seseorang yang berhutang. Tapi, limitnya sudah habis dan tidak diperpanjang.”

    “Oh … Begitu, ya.” Aku mengangguk pelan. Alasannya bukan karena menghindariku tentunya. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri.

    “Ini nomorku.”

    Dia menyodorkan secarik kertas bertuliskan sebelas digit angka tertera di sana. Aku menerima kertas itu. Memandang deretan nomor telepon yang baru saja  ia berikan.

    “Jangan lupa kabari jika Dani wisuda dan menikah, ya.” ucapnya lagi dengan senyum simpul yang terasa begitu getir.

    Abi moal ngarunghal Aa nikah. ( Saya tidak akan mendahului Aa menikah).” Jawabku. Kata – kata itu asli  meluncur dari bibirku tanpa ba bi bu.

    Dalam hatiku, Dia sudah cukup usia untuk menikah, tinggal menemukan calon. Bahkan, mungkin sudah siap. Usiaku terpaut lima tahun dari obrolan yang pernah kita bahas. Sedangkan, aku masih harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu. Menempuh beberapa bulan ke depan jika Allah memberikan kemudahan. Bahkan bisa saja lebih dari itu. Aku bercita-cita menikah setelah kuliahku beres, wisuda dan tak ingin putus di tengah jalan.

    “Hmm.” Dia tersenyum lagi. Senyum itu terasa membawa luka.

     

    Benar saja, esok harinya Aku mendapati toko itu benar – benar  tutup. Tak ada senyum yang menyapaku lagi di sana. Tak ada penyambutan yang ramah  seperti biasanya. Tak ada aktivitas apapun.Hening, sunyi, meninggalkan sejuta makna dan cerita yang kurasa cukup dramatis.

    Ku pandang lekat rolling door itu tanpa kedip. Berdiri termangu beberapa saat. Memejamkan mata. Menarik napas lama dan menghembuskannya. Terasa ada  sesuatu yang hilang atau menyesalkan kepergiannya. Entahlah rasa apa ini namanya, Aku tak mengerti.

    Toko ini telah meninggalkan cerita penuh emosi duka dan dan bahagia.  Bahkan, telah ku goreskan juga luka di sana. Pertemuan terakhir yang kau ucapkan memang benar-benar benar dibuktikan. Aku kira hanya gertakan saja, atau paling tidak masih ada waktu dua tiga hari tokonya buka sebelum benar-benar tutup seperti ini.

    Ada kristal menggantung di ujung kelopak mataku. Seharusnya Aku senang ia pergi. Bukankah aku pernah menghindarinya, mencari cara agar tak melewati tokonya hanya agar tak bertemu dengannya. Bukannya aku pernah risih dan khawatir atas perlakuannya yang begitu perhatian dan memperlakukanku tak biasa. Itu kan yang selama ini aku inginkan. Agar aku tetap pada pendirian mempertahankan hubungan yang telah dibina selama bertahun – tahun dengan kekasihku. Aku serasa sedang diolok – olok oleh diriku sendiri.

    Allah telah memberikan jalan yang terbaik, Daniah. Membiarkan ia tetap di sini bisa – bisa kau berubah haluan. Kamu yakin kan condong keluhuran budinya. Kamu suka kan sebenarnya dengan sikap dan tabiatnya. Kriteria seperti itu kan  harapan untuk teman hidupmu. Kau banyak cocoknya sebenarnya dari segi apapun yang nampak secara lahiriyah dengan Dia.

    Tapi kamu terlalu baik dan jujur terhadap janjimu. Kau gadis yang setia. Gadis yang tidak tergiur dengan yang belum pasti. Yang selalu meyakini bahwa orang yang menyukaimu lebih dulu yang berhak mendapatkan tempat yang seharusnya dijaga. Karena ia sudah lebih mengenal dirimu. Mengenal keluargamu. Sudah maklum dari mana asalmu dan seperti apa keadaan keluargamu. Ia yang sudah menerimamu begini adanya pasti akan kamu pertahankan. Walaupun kamu mulai ragu kesetiaan kekasihmu bahkan.

    Aku masih menganggap ucapan terakhir A ijal adalah candaan. Dan tak ku anggap serius sekali. Bahkan aku tak mengungkapkan kata-kata perpisahan sama sekali kepadanya.

    Baru merasa yakin Dia akan benar – benar pergi setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa tokonya sungguh benar- benar  telah tutup. Sepi. Sunyi. Berada di depan tokonya kini.

    Aku belum menyampaikan apapun kepada orang yang hendak pergi. Tapi kita tak akan  bertemu kembali. Memang benar Ia memberiku Alamat tapi tak mungkin bisa  mengunjungi Rumahnya. Dengan alasan apapun.

    Tak ada salahnya jika aku membuat surat kembali. Untuk mengantar kepergian Dia. Surat yang juga mungkin untuk terakhir kalinya. 

     

    Campaka, 27 Maret  2003

    Assalamu’ Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Entah kenapa tiba – tiba Aku merasa begitu sedih. Sedih sekali. Engkau sahabat istimewa yang kukagumi tiba – tiba akan pergi meninggalkan Kota tercinta  kita ini. Bagaimanapun motivasi dan caranya  Aku tetap merasa kehilangan. Kehilangan Sahabat baik yang senyumnya  hampir ketemu tiap soreku. Senyum yang membasuh duka.  Sahabat yang memperlakukanku dengan lembut. 

    Kini hal itu tak akan lagi ada dalam hari – hariku dan akan menjadi kenangan manis  dari bagian hidupku. Bersahabat denganmu adalah Kebanggaanku tersendiri. Entah kenapa Aku merasa cocok sekali dengan sikap kebiasaanmu memperlakukanku. Kau kuanggap saudara dan menjadi bagian kebahagiaanku.

    Perpisahan adalah bagian yang sangat kubenci sekaligus kutakuti. Tapi bagaimanapun harus tetap disadari bahwa pertemuan dan perpisahan bagi manusia  adalah soal perputaran waktu. Soal giliran. Dimana suka duka hanyalah persoalan batin yang yang selalu berubah – ubah. Ia Cuma permainan dan senda gurau dunia datang dan pergi begitu saja. Terkadang harus meninggalkan kenangan manis. Tapi kadang pula meninggalkan kekecewaan mendalam. Kita hanya bisa terpana dibuatnya.

    Suatu saat kita begitu merasa gagah melayang di angkasa raya. Tetapi pada saat lain kita terpuruk jatuh tiada berdaya.

    Dalam kenangan hidup dari seluruh rangkaian yang kita sukai pasti ada yang tidak tidak kita sukai. Setidaknya dalam waktu tertentu atau kondisi tertentu.

     

    Bagaimanapun Aku telah hadir dalam sebagian hidupmu. Bila ada salah sikap tingkah yang membuatmu terluka karena ketidak hati – hatianku. Maafkan Aku !. Mudah – mudahan masih lapang  hatimu menerima segala maafku !.

     

    Apapun yang kau putuskan adalah bagian dari konsekuensi hidup yang mesti kau jalani. Hanya saja hal yang tidak menguntungkan tentang dunia adalah bahwa kebiasaan baik jauh lebih bisa dilepas dari pada kebiasaan buruk. Berhati – hatilah !.  Masa muda adalah semangat hidup yang berani, berdaya cipta serta tampil secara terbuka dalam berhubungan dengan dunia.

    Kemarin adalah cek yang dibatalkan hari esok adalah surat kesanggupan dan hari ini adalah satu – satunya yang kamu miliki maka belanjakanlah dengan sangat bijaksana. Begitu orang – orang Arif berbicara. Raihlah citamu karena waktu tak mungkin kembali dan masa muda hanya datang  Satu kali. Semoga kau berhasil.

    Di ujung Suratku kupintakan doa kepada Allah ku.

    Ya Tuhanku

    Hanya Engkau yang tahu apa yang ada dihatiku. 

    Maka dimanapun sahabatku berada bimbinglah ia ke jalan-Mu yang lurus. Condongkan hatinya pada kebaikan. Tunjukan padanya jalan yang Engkau Ridhoi.

    Siramilah hatinya dengan Rahmat dan karunia mu. Berikanlah  kepadanya kekuatan untuk selalu bersyukur dengan apa yang ia miliki dan  tawakal Dengan apa yang tak mampu ia dapatkan. Dan anugrahkanlah kepadanya kesabaran yang mengesankan. Kesabaran yang membuat ia kuat, tegar, ikhlas, mandiri dan tanggung jawab. Juga kesabaran yang paling utama adalah kesabaran untuk selalu menerima ketetapan  takdir dari hasil usahanya.

    Ya Allah ampuni aku dari kesalahanku berbicara. Dan hanya Engkau satu – satunya pengampun. Maka kabulkanlah permohonanku. Aamiin.

    Wassalamu’ Alaikum Wr. WB

    Daniah Sahabatmu

     

    NB : Mungkin ini surat terakhir yang kukirim kepadamu

    Saya tak tahu harus apa yang mesti kutulis disini sebagai rasa terima kasih saya. Saya harap tidak menjadi dosa jika menganggapmu sebagai kakak. Saya harap tak menjadi beban jika saya tetap Ingin jadi sahabatmu walaupun jauh

     

    Selamat jalan kawan. Semoga kita tetap memegang prinsip kebenaran

    Selamat berjuang kawan. Semoga kita kuat menghadapi cobaan

    Semoga suatu saat kau bisa mendoakan ku dengan kebaikan

    Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi !

     

    Surat itu kukirimkan melalui Pos. Dan setelah itu kami tak pernah bertemu lagi. Last kontak begitu saja tanpa kabar apapun dan tanpa mencari informasi apapun. Nomor  handphon yang ia berikan tak pernah digunakan sama sekali.   Jika pun kadang terbesit di hati kangen dan teringat padanya . Aku akan menepis semua itu dengan melakukan hal – hal lain yang akan membuat aku melupakannya. Nomor itu   hanya kutulis di buku diaryku  bersama  tulisan besar RENDEZVOUS,  yang  bermakna pertemuan, tempat bertemu, saling bertemu. Mengutip dari judul  tulisannya maha karya Taufik Ismail. Salah satu sastrawan Indonesia  Angkatan tahun Enam Puluh Enam yang  begitu kukagumi.

    Bahkan sampai waktu wisuda pun tiba. Aku tak berusaha menghubunginya. Aku takut, mengganggu, menyakitinya bahkan  mengusik ketenangannya. Aku yakin kepergiannya ada  keterlibatanku  di sana. Soal patah hati seorang laki – laki yang  memilih pergi.

     

     

    Kreator : Daniah Rijal

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dia Pergi

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021