Inilah siang terpanjang dalam hidup Haris. Sejak pulang dari rumah sakit, ia rindu akan keajaiban yang mustahil. Ia tahu sang pencipta tak pernah salah bertitah, mungkinkah masih ada jalan pulang untuknya.
Setiap kali melihat teman dan tetangga merasakan kehilangan yang mendalam, ia hanya bisa merasa iba. Namun, kini, ia menghadapi kenyataan yang jauh lebih menyakitkan.
Kehilangan itu menyakitkan apalagi kehilangan untuk selamanya. Keberanian untuk menerima kenyataan dan ketidakberdayaan berpadu dalam dirinya.
Tapi dalam sunyi ia harus melepaskannya yang telah pergi.
Tuhan lah pemilik jangka waktu. Ketika saat itu diambil Pemiliknya, hanya satu kata boleh terucap, “Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan.’’
Matanya masih tertutup seperti tadi malam sepulang dari rumah sakit. Haris sejak kemarin berharap ada yang luar biasa, walau dalam hukum normal itu mustahil.
Tentu saja ia berharap ada yang salah tempat. Memang tidak ada yang mustahil, tapi ia menjadi sadar Gusti Allah belum pernah, setidaknya dalam hidupnya, berbuat aneh-aneh dalam ukuran manusia. Semua makhluk yang hidup dan mati tunduk pada hukum alam.
Haris hanyalah sedang kalut. Ia pernah menyaksikan teman maupun tetangga yang anak satu-satunya harus meninggalkan selamanya. Pada saat seperti itu, ia merasa kasihan, tapi ia tak terlibat lebih dalam betapa seperti apa terkoyaknya hati ketika berhadapan dengan situasi seperti itu.
Tapi, yang ia hadapi sekarang bukanlah orang lain tapi darah dagingnya. Ia masih belum bisa menerima bahwa Valentina telah pergi untuk selamanya. Usianya terlalu muda untuk pergi. Dan lagipula, mengapa ia harus pergi secepat itu.
Valentina, bukanlah hasil dari perkawinan dia dan istrinya. Melainkan, anaknya hasil hubungan di luar perkawinan dengan wanita lain. Tapi, istrinya merestui, karena setelah lima tahun mereka menikah tak kunjung dikaruniai anak.
Haris telah melakukan perbuatan terlarang, karena dalam agama yang ia anut tidak ada aktivitas seksual kecuali dan hanya dalam perkawinan kudus. Ia telah melanggar hukum Tuhan. Ia menghamili, saudaranya. Dan, lahirlah Valentina ini.
Valentina terus tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Haris menjaga rahasia pada Valentina dan menutup rapat sampai ia besar, sehingga Valentina merasa Haris dan istrinya adalah Bapak dan Ibu biologisnya.
Valentina pun tumbuh dalam kasih sayang mereka. Kebetulan, Valentina anak yang cerdas. Mereka bertiga tumbuh sebagai keluarga yang bahagia. Karena tumbuh sebagai kelurga yang bahagia itulah, walau pada akhirnya Valentina tahu bahwa ia bukan anak kandung ibunya, kasihnya tak bergeser seinci pun.
Sehingga, sama seperti keluarga yang lain, Valentina pun melanjutkan studi setamat SMA, di sebuah Universitas ternama di Semarang. Setelah lulus, ia segera mencari kerja dan jadi guru di Yogyakarta
Haris dan istrinya bangga, tentu saja. Walau pada awalnya istri Haris tentu saja merasakan betapa getirnya diduakan.
Kebahagiaan mereka nyaris lengkap karena Valentina memutuskan untuk menikah tahun depan dengan rekan sekerjanya.
Tapi akhir-akhir ini, Valentina ternyata sering pergi ke rumah sakit. Valentina sempat khawatir dengan kesehatannya, tapi dokter meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja, asal memperhatikan pola makan dan disiplin minum obat.
Tapi, jarak Temanggung dan tempat kerjanya di Yogyakarta membuat terforsir fisiknya. Dan, ia pun sering lupa makan.
Sepuluh hari yang lalu, ia masuk rumah sakit lagi karena maag-nya kambuh.
Satu hari di rumah sakit ia pun diizinkan pulang.
Akan tetapi, seminggu kemudian ia masuk rumah sakit lagi. Dan, setelah tiga hari di rumah sakit nyawanya tak tertolong.
Bagi Haris dan istrinya, ini sungguh menghancurkan mimpi mereka satu-satunya.
Haris jadi kehilangan semangat. Tidak ada lagi masa depan. Walau secara ekonomi ia tak kekurangan. Penghasilan sebagai guru cukup untuk ia dan istrinya. Apalagi, istrinya punya bisnis kecil kecilan, jadi cukup untuk kebutuhan mereka, dan gaji gurunya ia tabung.
Tapi, hidup bukan soal materi belaka. Manusia butuh juga sisi kebahagiaan yang lain. Dan, Valentina adalah masa depan itu. Valentina adalah bagian dari kebahagiaan itu. Tapi, kini kebahagiaan itu sudah terampas maut.
“Ikut berduka cita, Pak. Yang sabar, ya.”
Entah berapa kali ucapan para sahabat dan handai taulan yang mencoba menghiburnya. Tapi, hiburan itu takkan mengembalikan yang telah pergi.
“Bapak makan dulu saja, nanti sakit.” Istrinya menyapa Haris karena sejak malam di rumah sakit, istrinya tak melihat suaminya makan. Haris murung tanpa berkesudahan.
Istrinya tak hendak menghiburnya. Ia dapat merasakan Valentina adalah darah dagingnya. Tapi bagi istri Haris, walau Valentina bukan darah dagingnya, ia memperlakukannya seperti anak yang ia lahirkan sendiri. Tentu Valentina sudah menempati salah satu ruang di hatinya, bahkan dalam hal tertentu melebihi kasihnya kepada suaminya.
Istri Haris juga merasa kehilangan karena ia anak yang menyenangkan hatinya dan suaminya. Ia juga kebanggaan keluarga ketika bertemu teman-teman yang jarang ketemu, sehingga mereka dapat bercerita bahwa Valentina adalah anak yang baik.
Kini, ia tidak akan dapat mengisahkan lagi seperti masa masa lalu.
Dan, rencana pernikahan yang sudah jadi tema pembicaraan mereka bertiga pada waktu-waktu senggang tidak akan pernah ada lagi. Ruang kesayangan Valentina yang setiap kali ia rubah suasananya, akan jadi ruang sunyi penuh kenangan bagi Haris dan istrinya, yang juga akan membuat luka di setiap mereka memasukinya. Valentina sudah tidak ada di sana lagi. Yang tertinggal hanya mimpi-mimpi mereka bertiga akan kemegahan pesta pernikahan. Tapi rupanya, Tuhan telah menyiapkan pesta yang lain.
Istri Haris lebih punya harapan. Tuhan yang belas kasih-Nya tak terbatas akan menyambut kepulangannya.
Valentina, selamat jalan, ya. Biarlah kami masih harus melewati jalan-jalan sunyi, melewati lorong waktu, tanpa hadirmu. Istri Haris jatuh dalam kesunyian yang sangat dalam, tapi ia yakin Tuhan tidak akan membiarkan dia berjalan sendirian.
Kreator : goris prasanto
Comment Closed: Dia Pergi Mengubur Mimpi Kami
Sorry, comment are closed for this post.