Tidak semua luka menampakkan darah. Ada yang mengendap dalam diam, menetap di dada, lalu menjelma keteguhan yang tidak bisa dilihat siapa pun.
Aku pernah berada di titik itu; bekerja sepenuh hati, memberi lebih dari yang diminta, menambal celah di sana-sini agar segalanya tampak utuh. Bukan karena ingin dianggap luar biasa, tetapi karena aku percaya; jika sesuatu bisa diperbaiki, maka perbaikilah. Jika bisa disempurnakan, maka sempurnakanlah. Karena pekerjaan bukan hanya tentang hasil, tapi tentang rasa hormat pada proses.
Namun pada akhirnya, saat semuanya selesai, nama ini tidak pernah disebut. Tidak juga disinggung. Tidak pula diingat. Panggung diisi orang lain. Cerita disampaikan dari mulut yang tidak pernah menulisnya. Dan aku? Cukup duduk tenang di kursi paling belakang.
Aku tidak kecewa, tapi juga tidak bisa memungkiri; ada bagian dalam diri ini yang tergores. Perih rasanya, seperti menulis surat panjang, tapi tidak pernah sampai pada yang dituju.
Namun, justru di sanalah aku belajar. Bahwa ketulusan tidak selalu harus mendapat sorotan. Bahwa kerja keras yang lahir dari hati, tidak mesti mendapat tepuk tangan. Bahwa memberi, membantu, memperbaiki; itu bukan demi pengakuan, tapi karena kita tahu; itulah cara kita mencintai hidup dan menghormati tanggung jawab.
Dan pelan-pelan aku pun mengerti… bahwa diam bukan selalu tanda menyerah. Kadang, diam adalah bentuk kekuatan paling kokoh; tanpa perlu bersuara apapun.
Aku tidak mengeluh. Tidak pula menuntut. Aku memilih pulang membawa pelajaran. Bahwa harga diri tidak ditentukan oleh seberapa sering namamu disebut, tetapi oleh seberapa tenang kamu melangkah meski dirimu dilupakan.
Kini aku tahu, tidak semua penghargaan datang dalam bentuk sertifikat. Ada penghargaan yang hanya bisa diberikan oleh hati yang tahu betapa tangguh kamu berjuang; betapa kuat kamu menahan tangis, dan betapa tegar kamu berdiri meski nyaris roboh.
Aku merasa seolah sedang melangkah di lorong yang sunyi; tempat di mana keikhlasan dan cinta diuji hingga ke titik terdalam. Ideku dijadikan pijakan, tapi suara ini sengaja dibungkam. Tulisanku dibaca lantang oleh orang lain, tanpa sekalipun nama ini disebut. Dan aku memilih diam, menelan getir itu sendiri, sambil bertanya dalam hati, masih pantaskah ini semua diperjuangkan?
Namun, saat menatap cermin, aku temukan jawaban yang tidak pernah berubah; bahwa selama ada niat baik di hati, maka dunia tidak punya kuasa untuk memadamkannya. Dan itu… lebih dari cukup.
Tegar bukan berarti tidak pernah menangis. Justru lewat air mata yang jatuh diam-diam itulah, jiwa ini perlahan dikuatkan. Setiap tetesnya menumbuhkan pilar-pilar baru; pilar kesabaran, keikhlasan, dan kasih yang tidak pernah menuntut balas apapun.
Dan pada akhirnya, aku pun paham… dalam diam yang panjang, Tuhan tidak membiarkan diri ini sendiri. Ia sedang membentukku; menempa luka menjadi keteguhan, mengganti kecewa dengan kebijaksanaan. Perlahan tapi pasti, aku dilatih untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Refleksi Diri
Kadang, dunia tidak selalu adil. Tapi bukan berarti kita harus berhenti berbuat baik. Terkadang, kita diuji bukan karena salah, tapi karena sedang disiapkan untuk menjadi lebih kuat; lebih ikhlas, lebih dewasa, lebih berani menaruh harapan hanya kepada-Nya.
Dan aku belajar satu hal yang tidak diajarkan di kelas mana pun; bahwa menjadi tegar bukan tentang tidak pernah jatuh, tetapi tentang memilih bangkit; tanpa banyak bicara, tanpa perlu menjelaskan pada siapa-siapa.
Diam-diam, aku belajar.
Diam-diam, aku tumbuh.
Dan dalam diam itu pula… aku akhirnya benar-benar mengenal siapa diriku.
💝💞💕
Bogor, 24 Juni 2025
Kreator : Nurul Jannah
Comment Closed: Diam-Diam Aku Belajar Tegar
Sorry, comment are closed for this post.