Alhamdulillah akhirnya berkesempatan mendaki Gunung Kinabalu 8-10 Desember 2016. Sebuah impian mencapai 4.095,2 m di atas permukaan laut (m dpl).
Aku menginap semalam di desa Kundasang untuk penyesuaian suhu. Berjarak 1½ jam dari Kota Kinabalu. Pukul 8 pagi aku mendaftar di kantor Heritage Park. Pukul 10 memulai pendakian dari Timpohon. Jarak lokasi pendaftaran ke Timpohon (1,866m), 10 menit berkendara. Aku sempat power nap di mobil pengantar. Menurut info untuk sampai ke Laban Rata, waktu tempuh minimum 6 jam. Sepanjang trek tersedia 6 pondok air minum dan jamban sangat bersih.
Tiba di Timpohon disodori pemandangan Carson Waterfall yang sungguh menyegarkan. Pondok Istirahat tersedia di antaranya di: Kandis (1,981m); Ubah (2,081m); Lowii (2,267m); Mempening (2,516m); Layang-layang (2,674m); Vilosa (2,961m); Paka (3,080m); Waras Hut (3,244m); Laban Rata (3,273m). Aku mendaki dengan tas berisi keperluan minimal, sehingga tidak memerlukan porter, juga tidak memakai jasa pemandu, meskipun merupakan persyaratan di gunung Kinabalu. Hal itu karena aku bergabung bersama pendaki lokal yang kebetulan mereka setuju aku diselipkan berada dalam kelompok mereka. Kenyataannya, aku tetap solo hiking.
Timpohon – Laban Rata kutempuh dalam waktu 8 jam. Hujan deras mengairi jalan bebatuan, menyungai. Tiba di Laban Rata seluruh tubuhku basah kuyup. Para pendaki lainnya sedang menikmati makan malamnya di hotel resto di ketinggian 3200 m. Aku segera mandi dengan air sedingin es karena pemanas air tidak bekerja. Pukul 8 malam restoran tutup dan semua pendaki disarankan tidur. Pukul 24.00 kami dibangunkan. Pukul 24.30 lanjut menikmati supper (makan larut malam). Pukul 1 dini hari kami semua berangkat dengan gairah luar biasa menuju puncak, walaupun masih terasa mengantuk.
Medan pendakian ke puncak cukup berat bagiku, berupa trek tangga-tangga kayu dan batu. Di titik 6,5 km aku terserang kantuk luar biasa. Untuk keamanan, sepanjang trek disarankan berpegangan tali. Dengan sisa tenaga, aku berhasil mencapai 7,5 km saat tiba di pos terakhir, 3,700 m dpl. Aku melapor saat menjelang waktu tenggat. Petugas menanyakan, “mengapa ibu tiba lambat?” Aku menjawab, “mengantuk pak, karena solo hiking”. “Ibu sebaiknya rehat sejenak di sebuah bilik di depan pos”.
Bilik itu sederhana, ukuran 2×3 meter. Petugas membuka pintu bilik dengan kunci. Bunyi kunci membuka: “Cekrek cekrek”. Aku dipersilakan masuk, sambil mengatakan, “kunci pintu dari dalam bu, karena angin di luar sangat kencang!”. Aku mengangguk, sambil masuk menuju ranjang susun yang terdiri 2 set. Bilik sungguh gelap dan aku mengantuk berat, kurebahkan tubuhku di ranjang tanpa membuka sepatu. Baru sebentar tertidur, terdengar teguran keras: “Mengapa kamu tidak pergi muncak?” Aku terkaget-kaget membuka mata. Dihadapanku berdiri 2 orang pria dewasa. Pria sebelah kiri bertubuh pendek, berwajah India dengan kulit gelap. Sementara yang di sebelah kanan, bertubuh tinggi kurus, berwajah Cina dengan kulit kuning pucat. Mereka berdua mengenakan lampu di dahi mereka, head-lamp. Aku melihat wajah mereka dalam bentuk agak siluet karena cahaya lampu datang dari kepala mereka. Namun aku mampu mengenali sosok mereka.
Mereka bertanya dengan suara keras pertanyaan yang sama sebanyak 2x lagi, “mengapa kamu tidak pergi muncak?”. Aku menjawab dengan kalimat yang sama: “Masih belum diijinkan petugas!”. Lalu aku jatuh tertidur kembali. Tidak lama kemudian pintu bilik digedor keras dari luar. Petugas memanggilku: “Ibu buka pintu, ada perempuan Korea terserang hipotermia”. Aku segera membuka pintu, “Cekrek cekrek”. Kemudian 2 orang masuk ke dalam bilik. Yang pertama pemandu, disusul perempuan Korea tersebut. Aku keluar dari bilik dan menunggu di luar pintu. Aku bertanya kepada pemandu: “Pak apakah tadi di dalam berjumpa 2 orang pria?”. Si pemandu menjawab: “Tidak ada orang lain bu, hanya ada ibu.” Aku menjelaskan kepadanya bahwa tadi ada 2 orang pria menegurku. Si pemandu mengatakan: “Tanyakan saja kepada petugas”. Aku bertanya, dan jawabannya sama, bahwa hanya aku seorang di dalam bilik. Lalu aku bertanya lagi, “jadi siapa yang menegurku di dalam tadi?”
Terlalu lama menanti jawaban mereka, aku lanjut mendaki, menyapa Selamat Datang ke puncak Tunku Abdur Rahman. Summit attacked. Saat kembali dari puncak, aku melihat si pemandu yang sama, masih di pos menunggu kelompok pendaki Korea turun puncak. Aku mengulang pertanyaan yang sama tentang 2 pria di dalam bilik kepada pemandu dan petugas pos. Mereka diam acuh tidak menjawab. Ketika aku sudah harus turun gunung, si pemandu mengejarku dan bertanya, “ibu penasaran ya ingin tahu?” Aku menjawab “ya”.
Lalu dia menjelaskan: “Ibu, kedua orang tersebut sudah tewas saat gempa bumi melanda gunung di tahun 2015.” “Mereka tewas di lokasi bilik ini!” Aku melongo, dan bingung. Dilanjutkannya, “silahkan ibu membuka website di kota Kinabalu, dan lihat wajah-wajah korban tewas yang mungkin ibu temui tadi di dalam bilik”.
Setiba di kota, aku mengunduh berita internet dan melihat potret puluhan wajah-wajah korban pendaki dan diantaranya dari sebuah sekolah di Singapura, menampilkan 2 wajah yang kukenal menegurku di bilik. Potret mereka cukup jelas dan aku merasa ditatap mereka untuk kedua kalinya.
Kreator : Mariza
Comment Closed: Disapa oleh hantu Gunung Kinabalu
Sorry, comment are closed for this post.