“Saya kepikiran biaya kontrakan, bulan Desember harus bayar 700 ribu,” Bu Sum akhirnya bersuara tentang gundah yang Ia rasakan di suatu pagi. “Ibu ingat Allah yaa, tenangkan pikiran, perbanyak doa. InsyaAllah rezeki ibu sudah ada yg ngatur,” Saya berusaha menguatkan perempuan itu.
Sumiati adalah janda berusia 45 tahun yang hidup bersama anak satu-satunya bernama Zailani yang berusia 28 tahun. Ayah Zailani sudah lama meninggalkan Bu Sum. Bu Sum lah yang jadi tulang punggung keluarga kecil itu. Sehari-hari Bu Sum bekerja menjadi asisten di kantin kantor Gubernur. Tapi sudah dua bulan libur karena kantin sedang direnovasi. Akhirnya Bu Sum mengambil upah nyuci baju tetangga beliau. Namun, kondisinya yang sakit membuatnya kesulitan bekerja. Bu Sum adalah seorang penyintas kanker. Dan baru beberapa hari ini Ia mau memeriksakan diri ke Rumah Sakit.
“Tidak punya uang,” begitu Bu Sum beralasan. Alasan yang begitu sering Saya dengar di kalangan warga miskin yang enggan berobat. Meski ada BPJS, Bu Sum mengkhawatirkan gimana anaknya kalau Ia masuk RS. “Gimana nanti makan-nya?” Ah! Begitulah hati seorang ibu.
Zailani dulunya pernah bekerja di sebuah bengkel di Liang Anggang. Namun, karena ada pelebaran jalan, bengkel tersebut kena gusur dan akhirnya tutup. Ia tak bisa ikut kerja bangunan karena tak punya sepeda motor. “Kalau harus naik angkutan umum malah habis upahnya untuk ongkos transport,” keluhnya siang itu kepada Saya. Namun, belakangan Saya baru tau tabiat Zailani sesungguhnya, yang selalu ditutupi oleh Bu Sum. Ia suka mabuk.
Bu Sum baru cerita saat sepeda motor yang dipinjamkan oleh teman Saya untuk kerja, ternyata hilang akibat Zailani mabuk-mabukan. Dalam kondisi mabuk, Ia membuat rusuh di rumah warga. Sepeda motor yang teronggok dibawa kabur oleh maling. Dan Zailani masuk penjara. Betapa bertubi-tubi kemalangannya. Entah bagaimana nasibnya waktu itu, Saya hanya fokus pada pengobatan Bu Sum.
Bu Sum harus menjalani operasi. Berbagai alasan Ia sampaikan untuk menolak hal tersebut. Alasan uang tak bisa lagi Ia gunakan, karena ada beberapa donatur yang membantunya.
“Nanti di RS nggak ada yang nemenin”
“Gimana kalau operasinya gagal?”
Bu Sum kekeh tak mau berobat. Akhirnya Saya berikan waktu untuk Bu Sum berfikir. Mungkin Ia hanya perlu waktu.
Hingga pada suatu malam, tetangganya mengabarkan kalau Bu Sum mengalami sakit kepala yang luar biasa. Saya dan beberapa relawan bagi tugas. Ada yang jemput Bu Sum, ada yang langsung ke IGD Rumah Sakit.
Malam itu Bu Sum dirawat inap. Saya kebagian tugas menemani Bu Sum di Rumah Sakit. Kesempatan itu Saya manfaatkan untuk meyakinkan beliau untuk mau dioperasi. Alhamdulillah akhirnya beliau setuju. Meski operasi tidak menjamin penyakit Bu Sum bisa sembuh karena kankernya sudah menjalar ke beberapa organ tubuhnya. Namun, setidaknya ada harapan memperpanjang hidup Bu Sum lewat ikhtiar itu.
Pasca operasi, Saya tidak lagi intens mendampingi Bu Sum karena Saya pindah ke Kota lain untuk bekerja. Hingga sekitar dua tahun kemudian, Saya mendapat kabar bahwa Bu Sum meninggal dunia.
Saya mewakili keluarga mengucapkan banyak terima kasih telah membantu Bu Sum
Begitu pesan teks dari seseorang yang mengaku sebagai keponakan Bu Sum. Sebenarnya, bisa jadi kebaikan-kebaikan yang menyapa Bu Sum adalah hasil dari kesabaran Bu Sum atas ujian hidup yang diberikan Tuhan. Karena Saya yakin, apapun yang kita tuai merupakan hasil apa yang kita tanam. Bu Sum semasa hidup dan Saya temui, tak banyak mengeluh dan selalu diam atas beratnya ujian yang ia hadapi. Bagaimana pun Zailani berulah, Bu Sum hanya diam. Bahkan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya.
Saya berharap Zailani sempat mencium kaki ibunya dan meminta maaf sebelum sang ibu meninggal dunia. Meski tidak yakin, Saya cukup lega, setidaknya di akhir hidup seorang Bu Sum, Ia telah berkumpul dengan keluarga besarnya.
Kreator : Retno Sulisetiyani
Comment Closed: Ditolong Kesabaran
Sorry, comment are closed for this post.