Part 25 : Bahagia Berselimut Duka
Rama dengan sigap meminta bantuan temannya yang ada di daerah Bogor untuk mencarikan seorang penghulu yang bisa datang untuk menikahkannya di tempat yang tidak biasa.
Zidan sangat senang membantu Rama. Sebagai sahabat yang sangat dekat dan sudah dianggap sebagai saudara, ia dengan cepat melaksanakan tugas yang diberikan Rama kepadanya dan tidak ingin mengecewakannya.
Zidan juga menghubungi istrinya untuk mencarikan salon yang sederhana tetapi terkesan elegan agar riasan pengantin tidak berlebihan.
Lastri, istri Zidan, meski sempat bingung, akhirnya menyetujui permintaan tersebut dan segera menghubungi kenalannya yang sudah akrab dengannya untuk merias sekaligus mempersiapkan segala sesuatu terkait akad nikah.
Rama merasa lega dan segera bersiap mengabari sang ayah yang masih terbaring di ruang ICU.
Sementara itu, Rani yang sempat syok dengan permintaan ayahnya semakin bingung sekaligus sedih. Walaupun Rani sangat menyukai Rama, ia tidak menyangka harus menikah secara mendadak di usia muda.
Tantenya segera menenangkan Rani dengan mengusap pundaknya dan membujuknya agar menyetujui permintaan terakhir sang ayah.
Sebab, tantenya sudah berbicara dengan dokter yang menangani ayahnya dan mendapat kepastian bahwa kondisi ayahnya sudah sulit untuk disembuhkan.
Dengan perasaan campur aduk, Rani menyetujui permintaan ayahnya. Kini, ia hanya tinggal menunggu dan melihat bagaimana reaksi Bude terhadap permintaan ayahnya yang mendadak.
Rani melihat Bude sedang berbicara serius dengan Rama di luar ruangan. Dari raut wajahnya, Rani menebak bahwa Bude merasa kaget dengan permintaan ayahnya.
Percakapan antara Rani, Rama, dan Bude:
Rani: “Mas Rama, kalau sekiranya permintaan ayah sangat memberatkan, Mas boleh menolaknya. Karena bagi Rani, pernikahan adalah janji suci dan bukan main-main. Janji ini langsung dengan Allah SWT.”
Rama: “Mas sudah yakin sejak pertama kali kita bertemu. Mas justru ragu apakah Rani mau menikah dengan Mas, mengingat usia kita terpaut jauh, yaitu 10 tahun.”
Bude: “Rani, Rama, Bude hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Bude sangat senang melihat hubungan kalian yang semakin berkembang. Walaupun bukan karena kejadian ini, Bude dan keluarga Rani sebenarnya sudah berencana untuk mendekatkan kalian sampai ke jenjang pernikahan.”
Rama dan Rani memeluk Bude, kemudian mereka bertiga segera mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan permintaan ayahnya.
Meski di hatinya masih tersimpan duka, Rani sebenarnya sangat bahagia, begitu pula dengan Rama. Mereka tidak menyangka bahwa cinta mereka akan dipersatukan secepat ini. Namun, di satu sisi, Rani juga sangat berduka karena keadaan yang serba kacau.
Di momen bahagianya ini, ibunya sudah terlebih dahulu meninggalkannya, sementara kakaknya masih belum sadar.
Kini, ayahnya pun hanya memiliki waktu yang tidak bisa dipastikan, karena semua bergantung pada ketahanan tubuhnya untuk bertahan hidup.
Lastri tiba di rumah sakit bersama tim salon, lalu menghampiri Rama dan Rani.
Rani segera mengikuti penata rias yang akan mendandaninya, sementara Rama tetap menunggu di luar, menanti Zidan yang belum datang bersama penghulu.
Tantenya masih berada di ruang ICU, menemani ayahnya Rani yang sudah tidak sabar ingin segera menikahkan putrinya.
Sementara itu, Lastri menyiapkan meja untuk ijab kabul beserta aksesori sederhana.
Dengan tergesa-gesa, Zidan akhirnya tiba bersama penghulu, menghampiri Rama yang tampak sangat khawatir.
Saat hendak masuk ke ruang ICU, Zidan menarik Rama dan menyerahkan mas kawin yang sangat indah.
Rama terkejut karena ia sampai lupa menyiapkan mas kawin untuk Rani. Namun, Zidan memahami situasi, sebab ini bukanlah akad nikah yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya.
Dengan perasaan yang campur aduk, Rama mengucapkan Bismillah, berharap acara pernikahannya berjalan lancar, penuh berkah, dan dapat memenuhi keinginan terakhir ayah Rani.
Rama masuk ke ruang ICU, ditemani penghulu, Zidan, serta tante yang menjadi saksi.
Dengan lantang dan fasih, Rama mengucapkan ijab kabulnya, yang langsung dinyatakan sah.
Setelah sah, Rani yang didampingi Bude menghampiri Rama dan ayahnya. Mereka kemudian memeluk sang ayah setelah saling menyematkan cincin pernikahan.
Tangis haru menyelimuti seluruh ruangan. Namun, tiba-tiba, ayahnya memuntahkan banyak darah dari mulutnya dan langsung tidak sadarkan diri.
Rani panik, begitu pula dengan Rama. Mereka segera memanggil dokter. Dengan sigap, dokter memeriksa kondisi ayahnya, tetapi hanya bisa menggelengkan kepala dan meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa.
“Allah SWT lebih sayang kepada ayahnya,” ujar sang dokter dengan nada penuh simpati.
Rani langsung berteriak histeris, memeluk ayahnya, dan menangis meraung-raung.
Rama mencoba menenangkannya, meski hatinya sendiri terasa begitu berat.
Semua orang yang ada di ruangan itu ikut bersedih melihat Rani, yang benar-benar mengalami nasib malang.
Baru beberapa jam yang lalu, ia kehilangan ibunya, dan kini harus kembali menelan pil pahit karena kepergian ayahnya.
Rama tetap berusaha menguatkan Rani, sementara tantenya mengurus administrasi jenazah dan Bude membantu membopong Rani yang nyaris kehilangan tenaga.
Zidan dan istrinya ikut menyelesaikan dan merapikan bekas acara akad nikah yang baru saja berlangsung.
“Sungguh miris, ya. Kasihan Rani dan Rama. Hari bahagia mereka justru berselimutkan duka. Mudah-mudahan mereka diberikan kebahagiaan yang akan terus menyertai mereka di masa depan,” ucap Lastri dengan suara lirih.
“Aamiin,” sahut Zidan.
“Kita doakan saja mereka bersama-sama.”
Kreator : Rani.Ramayanti
Comment Closed: Djogjakarta I’M in love (Part XXV)
Sorry, comment are closed for this post.